Dua Puluh Delapan

11K 1.9K 154
                                    

Giana tinggal cukup lama di rumahku. Kami menyelesaikan dua film lawas yang sebenarnya sudah pernah sama-sama kami tonton. Tapi seru. Aku belum pernah melakukan hal konyol seperti itu sebelumnya. Menonton dan membahas film yang alurnya sudah di luar kepala saking hafalnya adalah sesuatu yang baru.

Senyumku belum sepenuhnya hilang saat melambaikan tangan melepas Giana yang melaju dengan mobilnya. Jadi seperti ini rasanya punya teman dekat yang tidak hanya ngobrol ngalor-ngidur di kantor. Yang kalaupun membahas masalah serius, itu pasti berhubungan dengan pekerjaan. Tadi kami tidak membicarakan urusan kantor sama sekali.

Saat berbalik akan masuk rumah, aku baru melihat mobil Daneswara yang diparkir di perbatasan antara rumahku dan rumah tetangga. Apakah dia sudah menunggu sejak tadi? Kalau iya, dia benar-benar bertekad untuk bertemu denganku. Aku pikir dia sudah pulang saat sosoknya tidak tertangkap CCTV lagi.

Terlambat untuk menghindarinya karena dia sudah turun dari mobilnya dan berjalan tergesa menghampiriku. Aku tidak mungkin buru-buru masuk dan menutup pagar di depan hidungnya. Itu akan terlihat sangat kekanakan.

Seperti kata Giana, aku memang harus bicara dengan Daneswara. Kalau dia benar-benar merasa ada yang belum kelar, inilah saat untuk menyelesaikannya. Aku akan memberikan kesempatan kepadanya untuk mengeluarkan unek-unek seperti yang sudah kulakukan. Menurutku, Daneswara adalah pihak yang diuntungkan dengan perpisahan kami karena dia bisa sepenuhnya kembali pada pujaan hatinya setelah selingkuh fisik denganku. Kalau itu belum membuatnya puas, mari kita dengarkan apa lagi yang harus dikeluhkannya sampai bersedia menunggu begitu lama di depan rumahku.

"Aku mau bicara, Nit," kata Daneswara begitu tiba di depanku. Dia mengambil tempat di bagian dalam pagar seolah menegaskan jika kali ini aku tidak akan bisa mengusirnya pergi karena sudah berada di pekarangan rumah, bukan di bahu jalan lagi.

"Silakan masuk, Mas," sambutku sopan.

Daneswara mengikutiku masuk ke dalam rumah. Aku pikir dia akan duduk di kursi tamu seperti kebiasaannya saat datang ke sini sebelum kami menikah. Tapi dia ternyata langsung masuk ke ruang tengah yang masih berantakan dengan bekas cangkir, kaleng-kaleng soda, camilan, dan piring kue camilan yang tadi menemani aku dan Giana nonton.

"Sebentar, Mas, aku beresin ini dulu." Aku mengangkat cangkir dan piring lebih dulu. Mengulur waktu mungkin akan membuat aku lebih siap mental menghadapinya.

"Biar aku yang buang sampahnya." Tanpa menunggu persetujuanku, Daneswara meraup kemasan camilan dan kaleng-kaleng soda yang sudah kosong. Dia mengekoriku ke dapur dan memasukkan sampah ke tempatnya. Setelah itu dia langsung duduk di stool.

"Mas mau minum apa?" tawarku. Dia pasti kehausan kalau tidak membawa persedian air minum saat menunggu di depan rumah.

"Apa aja, Nit. Yang penting dingin. Air putih juga nggak apa-apa kok."

Air putih memang lebih praktis. Aku mengeluarkan botol air kemasan ukuran sedang dari kulkas, lalu mengambil gelas dan meletakkannya di depan Daneswara. Setelah itu aku ikut duduk di stool, sengaja menjaga jarak dengan menyisakan satu kursi kosong di antara kami. "Silakan diminum, Mas," lanjutku berbasa basi.

Daneswara langsung minum dari botolnya. Sepertinya dia memang sangat harus karena tiga perempat bagian botol nyaris kosong ketika dia akhirnya meletakkan botolnya kembali di atas meja.

Daneswara memakai kemeja biru tua lengan pendek sehingga bulu-bulu di lengan bawahnya tampak jelas. Jari-jarinya yang panjang memegang botol plastik dengan mantap. Aku buru-buru mengalihkan pandangan. Menatap tangan Daneswara hanya mengingatkan apa yang sudah dilakukannya pada tubuhku. Dan itu bukan kenangan yang menyenangkan untuk mampir di kepala di saat-saat seperti ini.

Melarung MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang