...
..
.“Fang, kau dipanggil untuk melayani meja nomor delapan.”
Suara itu diucapkan dari dekat, jika tidak, pastinya akan terhalang oleh suara berbincang-bincang dan tawa-tawa lantang. Suara keping-keping domino yang beradu saat diacak di permukaan meja juga tak kalah bisingnya.
Fang yang sedang membagikan minuman pada pelanggan yang baru saja meminta minumannya diisi ulang langsung berbalik. Ia menoleh pada rekan sekerjanya yang tengah menunjuk meja yang dimaksud.
Ruangan memang tak sepenuhnya bercahaya terang, tetapi kepulan asap rokok lah yang paling menghalangi pandangan. Membuat Fang harus agak menyipitkan matanya. Pemuda itu melihat sosok yang duduk dengan nyaman di sofa dan Fang kemudian mengulas senyum.
“Oke, aku kesana,” jawab Fang, meletakkan nampannya ke konter bar. Mengambil satu botol vodka yang ia tahu selalu dipesan oleh figur yang sudah menunggu di ujung ruangan, tak lupa dua gelas shot.
Fang mengelus bagian depan dress khas china yang dikenal juga dengan nama cheoungsam. Gaun yang ia kenakan bermodel terusan berwarna lavender dengan lengan pendek, ketat dan panjangnya jatuh beberapa senti di atas mata kaki Fang. Garis guntingan di bagian sampingnya membuat kaki Fang mulai dari pahanya mengintip setiap kali melangkah.
“Kau beruntung sekali,” komentar temannya tersebut dengan bibir mengerucut saat Fang melewatinya. Pandangan matanya iri mengarah ke meja nomor delapan.Fang hanya tertawa, mengedipkan mata pada temannya tersebut.
Ia tidak membuang waktu dan berjalan melewati meja-meja lebar tempat berbagai bentuk permainan perjudian tengah berlangsung. Salah satu pelanggan yang dilewatinya menyapanya.
“Fang, temani aku main disini,” ujar pria yang jauh lebih tua dari Fang, mengenakan jaket kulit, tersenyum lebar dan menatap lekat figur tubuh Fang. Tangannya menepuk kursi kosong di sebelahnya, sisinya yang lain terdapat pelayan yang ia peluk bahunya sehingga bersandar padanya. Di tangannya terdapat beberapa lembar kartu.
Fang menyunggingkan senyum. “Aduh maaf sekali, aku sedang ada perintah lain, jadi harus langsung mengerjakannya…” sahut Fang dengan nada seolah ia benar-benar menyesal.
Pria itu tampak kecewa sejenak. “Baiklah kalau memang begitu… tapi kau menemuiku lagi kalau sudah selesai, oke?”
Fang mengangguk, masih menampilkan senyum basa-basinya. Kembali pemuda itu melanjutkan langkahnya. Satu dua kali masih ada pelanggan yang memintanya untuk duduk dengan mereka, Fang jawab dengan cara yang sama.
Dalam waktu beberapa menit ia sudah sampai di meja yang ditujunya.
Mungkin ini adalah hal yang kelihatan sepele sekali, tapi Fang cukup bangga dengan kelihaiannya berjalan di atas sepatu kitty heels itu. Kalian tidak dapat membayangkan berapa waktu dan usaha yang Fang kerahkan hanya untuk bisa berdiri di atas sepatu yang haknya—walaupun tidak terlalu tinggi—begitu tipis dan runcing.
“Ooh, cepat sekali datangnya, kau pasti sangat menunggu kehadiranku.” Sebuah seringai dengan pandangan mata jenaka menyambut Fang.
Fang memutar bola mata dengan sikap pura-pura jengah, lalu senyum lebar terkembang di bibirnya. Dengan gerakan mulus, Fang duduk di sofa, begitu dekat dengan sosok yang menyandarkan diri dengan sikap begitu santainya di sofa.
“Siapa memangnya yang akan kesal dan ngambek kalau aku tidak melayaninya sebentar saja?” balas Fang dengan nada menyindir. “Dan kau yang kesal pasti akan mengancam boss dan aku tidak akan mendapatkan tipku.”
Lawan bicaranya tertawa. “Oh, jadi hanya itu artinya aku bagimu Fang? Sumber tip?” sahutnya dengan bibir bawah sedikit maju untuk ekspresi tersinggung yang kekanakan dan juga pura-pura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Admist the Unpleasant || BoiFang
FanficTerlepas dari segala hal tak menyenangkan dalam pekerjaannya, Fang masih bisa memiliki sesuatu yang bagus. BoiFang. Under cover au. smut.