2

607 119 8
                                    

Bahagia itu sederhana.
Menikmati coklat misalnya.
Di sela rintik hujan, dan bersamamu, misalnya.

"Ada apa?"

"Maaf."

"Untuk?"

Vegya terdiam bimbang, Arach terlalu baik untuknya, tapi hatinya berkata lain. Masih ada cinta untuk mantannya. Arach yang sudah merasakan gelagat Vegya yang aneh pun paham. Apalagi akhir-akhir ini Vegya terus menghindarinya.

"Apa mantanmu datang lagi?"

"Aku minta maaf."

"Jangan begini." Arach mengangkat dagu Vegya hingga Vegya bisa melihat senyum Arach yang mengembang tapi tatapan matanya terlihat sendu. "Kembalilah padanya."

"Tapi...."

"Tapi apa? Mau tetap bersamaku? Yakin?"

"..."

"Sudahlah jangan menangis. Aku lebih suka kalau kamu bahagia daripada bersamaku tapi kamu tertekan."

"Apa kamu marah?"

"Nggak, hanya patah hati. Tapi bukan berarti aku harus marah. Aku sayang padamu."

"Maaf."

"Aku akan baik-baik saja. Aku laki-laki."

"Apa kamu akan menjauhiku?"

"Untuk itu aku minta maaf. Sepertinya iya."

"Berarti kamu marah."

"Bukan marah, aku hanya tak ingin merusak hubungan kalian nanti. Percayalah, aku hanya ingin yang terbaik untukmu dan menjaga hatiku saja."

***

Kenangan itu lagi.

Kenangan tentang kebodohannya meninggalkan Arach kembali mengusiknya. Masih ada perasaan takut di hatinya, Vegya takut kebahagiaannya ini hanya sesaaat.

Saat ini jadi hari bahagia Vegya di sepanjang tahun ini, yang biasanya terasa hambar baginya karena hanya berkutat dengan pekerjaan dan kepoin media sosial seseorang. Seseorang yang saat ini sedang duduk santai dengannya.

Sejak pertemuan di Cokelat Café waktu itu, bibirnya lupa yang namanya melengkung ke bawah. Senyum bahagia selalu terukir di bibirnya. Walau ini mengagetkan dan seakan mustahil, tapi ini nyata. Arach kini di sampingnya, memeluk bahunya posesif dan kepalanya menyandar di bahu Arach.

Arach tak pernah berubah, masih penuh perhatian dan tak pernah marah. Sudah tiga bulan sejak pertemuan waktu itu, kini Arach datang lagi menemuinya. Mungkin ini akan jadi rutinitas baru bagi mereka? Vegya yang menunggu kedatangan Arach dan Arach akan datang ke Jogja menemuinya setiap weekend di awal bulan.

Ini sangat menyenangkan bagi Vegya, walaupun mereka harus berjauhan. Dia berharap Arach pun bahagia sepertinya. Bukan sekadar kebahagiaan pelangi yang hanya sesaat lalu menghilang seiring waktu.

"Kamu nggak mau pergi ke mana gitu?" tanya Arach seraya mengelus kepala Vegya yang bersandar di bahunya.

Vegya menggeleng. "Nggak, kamu kan capek baru sampai pagi tadi. Di sini saja aku sudah seneng kok," jawab Vegya sambil mengulum senyum.

Yah, cukup berdua dengan Arach menikmati gerimis dan secangkir cokelat panas di teras belakang rumah, rasanya sudah bahagia. Vegya tahu Arach tersenyum, terlihat melalui sudut matanya yang melirik Arach diam-diam. Tak pernah bosan Vegya melihat wajah Arach yang tak pernah berubah, tipe wajah pria dewasa yang kalem, tenang, dan juga manis.

"Nggak usah ngelirik-lirik, nanti naksir."

Vegya menanggapi ucapan Arach dengan memukul lengannya. Rasanya antara senang akhirnya bisa punya kesempatan untuk bersama Arach lagi dan malu karena ketahuan nggak bisa move on dari Arach. Bertahun-tahun langkahnya hanya jalan di tempat, di mana dia melepaskan Arach lalu menyesal.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang