Setelah berdebat panjang antara hati dan pikirannya, akhirnya Hasna memutuskan menerima ajakan Vico. Dengan sangat terpaksa ia melakukannya. Terlebih lagi saat jam-jam segini jalanan macet begitu padat. Jika saja Hasna bersikeras menunggu taksi dan terjebak macet, kapan dia sampai di kampus? Yang ada mungkin acaranya sudah selesai.
Untung Hasna membawa ransel yang cukup besar yang berguna untuk membatasi jarak antara dirinya dan Vico saat berboncengan naik motor. Biasanya Hasna membawa totebag saat ke kampus. Mungkin ini memang bagian dari skenario-Nya yang sudah diatur sedemikian rupa.
Berkali-kali Hasna beristighfar dalam hati, memohon ampun kepada Allah karena dia terpaksa menerima ajakan Vico. Hasna berharap tidak ada lagi kejadian seperti ini.
***
Acara pun sudah selesai. Hasna bernapas lega karena dia tidak terlambat datang ke acara. Ajakan Vico sangat membantunya. Dia berutang Budi pada Vico.
"Na?" Suara berat seseorang menghampiri Hasna yang tengah membereskan dekorasi bekas acara tadi.
Hasna menoleh. "Mmm, iya," sahut Hasna.
"Mau aku antar pulang?" tawarnya.
Hasna tertegun. Dia terkejut. Vico menawarinya untuk diantarnya pulang.
"Mmm ... Vico. Sebelumnya aku berterima kasih banget karena bantuan kamu, aku nggak terlambat datang ke acara. Makasih juga buat tawaran ini, tapi maaf ... aku nggak bisa. Aku harap kamu paham, ya," ucap Hasna menolak tawaran Vico dengan baik-baik, meskipun sebenarnya dia merasa tidak enak hati pada Vico. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia tidak mau melanggar lagi perintah Allah.
Vico menyunggingkan senyum. Tampaknya, dia tidak keberatan dengan penolakan Hasna atas tawarannya. "Oh oke, nggak papa, Na. Jadi, kamu pulang naik taksi?" tanya Vico.
Hasna menganggukkan kepalanya. "Iya. Sekali lagi makasih banyak, ya," ucap Hasna.
Vico kembali menyunggingkan senyum, kemudian menganggukkan kepalanya. "Iya, sama-sama, Na."
Vico berpamitan pada Hasna. Dia hendak membalikkan badannya, namun ia urungkan. Dahi Hasna mengernyit.
"Na?" panggilnya.
"Iya? Apa ada yang mau dibicarakan lagi?" tanya Hasna.
Vico menggelengkan kepalanya. "Nanti, hati-hati di jalan, ya."
Hasna tersenyum tipis, kemudian langsung menunduk dan menganggukkan kepalanya.
Setelah itu Vico melenggang dari hadapan Hasna. Sepeninggal Vico, Hasna menatap punggung Vico yang berjalan menjauhinya. Hasna geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Kemudian, dia kembali berkutat menyelesaikan pekerjaannya sebagai panitia acara.
Setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya Hasna dan teman-teman organisasinya selesai membersihkan ruangan bekas acara tadi. Hasna langsung berpamitan karena hari sudah mulai sore menjelang maghrib. Hasna buru-buru menunggu taksi di depan gerbang kampus. Saat menunggu taksi, ponselnya yang ada di genggaman tangannya berdering. Ada panggilan telepon masuk.
"Bunda telepon," ucapnya saat menatap layar ponselnya ternyata bundanya yang menelepon. Mungkin bundanya khawatir karena sudah menjelang maghrib namun Hasna tak kunjung pulang.
"Assalamu'alaikum, Bunda," salam Hasna setelah mengangkat telepon dari bundanya.
"Wa'alaikumussalam. Kapan pulang, Sayang? Ini sudah mau maghrib, lho. Bunda khawatir sama kamu," sahut Maemunah dari seberang telepon.
"Hasna lagi nunggu taksi, Bunda. Baru aja panitia selesai beres-beres," jawab Hasna.
"Bunda jangan khawatir, ya. Ini taksinya juga udah datang. Bye, Bunda. Assalamu'alaikum," salam Hasna dan buru-buru mematikan teleponnya ketika taksi yang ditunggunya sudah datang.
***
Selesai mengaji setelah sholat maghrib, Hasna menyambar ponselnya setelah beberapa menit yang lalu ponselnya memekik. Pasti ada pesan singkat yang masuk. Setelah menyambar ponselnya yang ada di atas nakas, kemudian Hasna duduk di tepi ranjang dalam keadaan masih mengenakan mukena.
Dahi Hasna mengernyit ketika nama yang tak pernah dia duga ternyata mengirim pesan singkat padanya. Dia penasaran apa isi pesan singkat itu. Tanpa berpikir panjang Hasna membukanya dan membacanya.
Assalamu'alaikum, Hasna. Minggu ini ada di rumah? Boleh kalau aku silaturahmi ke rumah kamu?
Hasna terbelalak. Terkejut bukan main saat mendapat pesan singkat itu. Tahu siapa yang mengirim pesan singkat itu? Ya, Vico. Hasna terheran-heran kenapa tiba-tiba Vico mengiriminya pesan singkat seperti itu. Silaturahmi seperti apa yang Vico maksud?
Hasna bingung membalas pesan singkat dari Vico itu bagaimana. Tapi, Hasna berpikir bahwa tidak ada salahnya dia membalas pesan singkat dari Vico untuk meminta kejelasan maksud dari apa yang Vico utarakan barusan lewat pesan singkat itu.
Wa'alaikumussalam. Maaf sebelumnya, Vico. Silaturahmi seperti apa yang kamu maksud?
Klik. Balasan baru saja terkirim. Hasna mengerutkan keningnya semakin tajam.
"Apa silaturahmi yang Vico maksud itu ...."
Tiba-tiba kedua bola mata Hasna membulat sempurna. "Hah!" Mulutnya pun terbuka lebar.
"Nggak mungkin, ini nggak mungkin," ucap Hasna sambil geleng-geleng kepala.
Tak lama kemudian, ponsel Hasna memekik lagi. Vico sudah membalas lagi balasan pesan singkat dari Hasna.
Kamu pasti tau maksudku, Na. Bilang ke bundamu, aku mau silaturahmi ke rumah minggu ini.
Begitulah balasan pesan dari Vico. Dari kalimatnya, Hasna tahu maksud Vico. Hasna geleng-geleng kepala. Dia tampak risih. Akhirnya, Hasna hanya membacanya tanpa membalasnya lagi. Dia meletakkan ponselnya kembali di atas nakas dalam kondisi raut wajah yang tampak kesal.
***
"Hei, anak bunda kenapa? Kok mukanya ditekuk begitu? Pagi-pagi udah lusuh banget mukanya," ucap Maemunah terheran-heran saat melihat Hasna dengan raut wajah yang tampak masam dan hanya mengacak-acak makanan ketika sarapan pagi sebelum berangkat ke kampus.
Hanya terdengar helaan napas panjang. Kemudian, Hasna menghentikan aktivitasnya. Hasna menatap dalam ke arah bundanya.
Hening. Tak ada obrolan di antara mereka. Ibu dan anak itu hanya saling bertatapan. Maemunah menunggu Hasna bercerita padanya, apa yang terjadi sebenarnya sampai-sampai pagi-pagi begini raut wajah Hasna tampak masam dan tak bersemangat. Sementara, Hasna bangkit berdiri dan menyambar totebag nya yang ada di atas meja makan.
"Sayang, kamu mau berangkat sekarang?" tanya Maemunah dengan raut wajah cukup cemas melihat sang anak yang minim bicara pagi ini.
Hasna menganggukkan kepalanya. "Iya, Bunda. Hasna nggak nafsu makan pagi ini. Hasna makan di kantin kampus aja nanti," jawab Hasna.
Maemunah menggelengkan kepalanya. "Astaghfirullahal 'adzim ... berarti Hasna nggak menghargai bunda, dong. Bunda udah capek-capek buatin sarapan buat Hasna, tapi Hasna malah bilang nggak nafsu makan dan lebih memilih makan di kantin kampus," ucap Maemunah yang tampak kecewa karena dia menilai Hasna tidak menghargainya yang sudah sepenuh hati memasak sarapan untuknya, namun Hasna justru memilih untuk makan di kantin kampus.
Hasna tertegun mendengar bundanya berkata seperti itu. Hasna mendekat ke arah bundanya. Dia menggelengkan kepalanya. "Hasna nggak bermaksud seperti itu, Bunda. Maafin Hasna, Bunda. Nggak tau kenapa pagi ini Hasna emang nggak nafsu makan," ucap Hasna yang tampak sedih setelah mendengar ucapan bundanya yang menilainya tidak menghargai bundanya.
"Hasna ada masalah apa?" tanya Maemunah. Dia paham betul, melihat raut wajah masam Hasna membuatnya berpikir bahwa Hasna tengah memikirkan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Mengikhlaskan
Spiritual"Seni melukai diri sendiri adalah jatuh cinta sedalam-dalamnya kepada seseorang yang hatinya untuk orang lain." Adalah Hasna Azkadina Khanza, seorang mahasiswi semester akhir yang jatuh cinta begitu dalam kepada sosok Althaf Sadiq Kafeel, kakak tin...