Good Night
🌃🌌
Pagi sekali, aku baru saja selesai menata rapi barang-barangku ditemani kak Jasmine. Sebuah panggilan menghampiri aplikasi WhatsApp, aku menggeser ikon hijau untuk menerimanya. Di seberang, ada hembusan napas sebelum sebuah suara berat dan serak hadir seperti orang bingung yang nyawanya belum menyatu.
"Lita ... Halo."
Aku tersenyum, entah mengapa setelah semalaman berpikir mencari tahu kekurangannya yang ternyata tidak berhasil kutebak. Pagi ini rasa yang asing itu semakin terpupuk subur, seolah segala hal tentangnya mampu menjadi jawaban serta solusi dari setiap masalah. Syahib meminta untuk mengubah panggilan suara menjadi video, aku menahan tawa saat melihat muka bantal yang sangat berantakan. Namun, tidak membuat ilfeel seperti kebanyakan, wajah itu justru menghadirkan gejolak ketika ia benar-benar tersenyum.
"Cantiknya mi, sudah wangi juga pasti ini."
Suara itu menggelitik, aku paham terlalu banyak dosa yang kubiarkan berkembang. Syahib meninggalkan layar setelah berpamit membasuh muka dan menekankan bahwa aku harus menunggu, katanya ia minder melapor saat keadaanku sudah sangat rapi bertolak belakang dengan rupa dirinya.
"Kabari ka nanti nah, kirim lokasi di perjalanan biar bisa kupantau ki."
Aku hanya mengangguk dengan sedikit bergumam karena dia seperti membesarkan suara tanpa presensi di depan kamera, membiarkanku melihat sisi lemari yang dipenuhi buku-buku tebal. Entah ke mana perginya lelaki yang masih bersenandung kecil, katanya ia hanya membasuh muka tapi ini terlalu lama. Lima belas menit setelahnya, ia muncul kembali dengan tampilan rapi berkemeja hitam yang lengannya digulung.
"Sudah ganteng, PeDe ma bicara dengan Lita kalau begini." Syahib menaik-turunka alisnya, aku hanya memberinya smirk tidak terkejut dengan tingkat percaya diri lelaki ini.
"Aish!" Aku menggeleng, tidak mengerti arah pikirannya yang bisa tiba-tiba menghadirkan senyum.
Syahib menemaniku yang kini tengah duduk di ruang tamu, berdiam diri menunggu siang sekaligus menjemput waktu sholat. Syahib selalu memiliki cara untuk membuatku salah tingkah, padahal kita hanya bertemu via online dan dia tidak mungkin bisa membaca pikiran.
"Mau ka juga pergi sebentar, nanti saya kirim foto ke Lita di setiap tempat yang kutuju hari ini."
"Syahib, mau ke mana?"
"Ada urusan sedikit, tapi nanti pi saya ceritakan lebih lengkapnya."
"Dih! Dikira penasaran gitu kali, ya?"
"Memang tidak?" Syahib mengangkat alisnya sebelah, mencoba mencari sisi keraguan dari kalimatku.
Tak berselang lama, Syahib pamit lebih dulu karena ada panggilan dari seniornya. Katanya, ia hanya akan menjadi sopir hari ini, cuaca sedang terik dan ia memintaku untuk banyak minum air.
"Biar tidak dehidrasi?" tanyaku yang dijawab Syahib dengan gelengan ringan.
"Biar fokus, soalnya saya tidak ada di sana. Nanti kalau Lita tidak fokus, saya yang jauh tidak bisa sentil kening lebarnya."
Syahib masih sempat melambaikan tangan, interaksi singkat yang bisa dengan mudah menimbulkan banyak kecurigaan. Sialnya, aku tidak bisa menjelaskan keadaan ini pada kak Jasmine, sebab aku sendiri juga belum yakin atas apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Syahib.
"Jam berapa mobilnya datang?" tanya kak Jasmine.
"Selepas sholat Dhuhur, Insya Allah."
"Syukur urusanku sudah selesai, takut tadi nggak bisa lihat kamu berangkat."
Kak Jasmine dan pemilik rumah menemaniku setelah kusimpan gawai yang ter-charger, aku menyimpan kontak gadis pemilik rumah saat ia mengatakan senang jika suatu saat bisa bertemu lagi. Dia juga menawarkan agar ketika datang ke area sini, aku mencarinya sembari menjaga silaturahmi antara kita.
Sholat Dhuhur terasa istimewa, pasalnya aku tengah berada di bawah langit yang entah kapan akan kutemui lagi. Menetap pada tempat asing yang menghadirkan kenyamanan, kadang aku harus melawan keinginan untuk tinggal lebih lama. Selain karena tidak mungkin tiba-tiba melakukannya tanpa alasan, aku juga memikirkan ongkos yang akan orang tuaku tanggung jika mengabulkan keinginanku.
"Dek, ada tuh mobilnya dateng."
Aku menatap kak Jasmine, melangkah ke luar menyapa sopir yang ternyata sudah melakukan panggilan ke nomorku. Pria berbadan kekar dengan aura Bapak yang menguar dengan damai itu membantu mengangkat barangku, koper dan beberapa tas serta tambahan bingkisan dari kak Jasmine.
"Banyak penumpangnya, Om?" tanyaku ketika baru mendekati mobil.
"Bertiga aja, jok belakang dilipat karena bawa barang banyak."
Setelah mengangguk, aku berpamitan ke kak Jasmine dan gadis yang baru menyebut namanya. Tari. Dia seolah tidak ingin melepas, kata kak Jasmine selama ini dia tidak pernah bisa dekat dengan tamu yang ke rumah karena mungkin mereka enggan mengajaknya bicara.
Duduk di kursi depan, bersebelahan dengan sopir yang sangat ramah memang menjadi permintaanku. Nantinya, aku harus banyak berterima kasih kepada para senior yang sudah rela merogoh kocek untuk patungan membayar uang transportku. Sepanjang jalan, aku lebih sering manatap sekitar melalui jendela samping atau lurus ke depan. Tidak menyentuh gawai, aku takut mabuk karena pancaran layar yang memiliki radiasi.
Sopir mengatakan perjalanan ini akan melipir setiap adzan, jika bukan di masjid maka ia akan mencari rumah makan yang bisa ditempati untuk ibadah. Aku bersyukur, segala hal dimudahkan bahkan sebelum sempat kuminta. Biasanya, perjalanan jauh seperti ini tidak akan peduli waktu ibadah, untungnya sopir yang membawaku adalah sosok yang taat sekali akan perintah sholat.
Waktu Ashar, kami singgah di sebuah mushola dengan gaya minimalis yang cantik. Aku mencoba mengajak penumpang perempuan yang duduk di belakang untuk sholat, tetapi sayangnya ia sedang dalam keadaan tidak bisa menjalankan ibadah. Akhirnya aku membawa turun tas kecil untuk mengikuti sopir masuk ke mushola, menyentuh air yang seketika menghilangkan gerah dan panasnya perjalanan.
"Mereka suami istri, Om?" tanyaku sembari memasang tali sepatu, sang sopir ternyata baru turun juga.
"Gak tau, Mbak. Dari awal masuk gak ada ngobrol sama aku."
Aku hanya mengangguk, melangkah sembari mengecek gawai yang ternyata jaringan internetnya sedang aktif. Ada beberapa pesan masuk, chat paling banyak berasal dari Syahib yang saat kubuka ternyata banyak gambar dirinya yang sedang dalam perjalanan. Dia juga mengirim spam,menanyakan lokasi keberadaanku dan menekankan untuk berkabar sesegera mungkin. Aku hanya memotret mushola sebentar untuk dikirim padanya, tanpa mengatakan apa pun atau merespon tentang foto papnya yang random.
Kembali melanjutkan perjalanan, aku berbagi lagu kesukaan dengan sang sopir yang ternyata juga menggemari musik pop. Kukira awalnya dia akan memutar lagu dangdut koplo seperti kebanyakan, tetapi alunan suara khas Rossa semakin membuatku tersenyum dalam diam.
Karna malam ini
Saat terindah bagi hidupku
Oh Tuhan jangan hilangkan dia
Dari hidupku selamanya ....Mindaku mengarung kembali ke malam kemarin, waktu di mana aku berharap bisa membeku untuk mengabadikan keindahan ciptaan Tuhan yang kutemui. Malam berikutnya mungkin akan menghadirkan perasaan kosong, aku berharap komunikasi Syahib tidak menghilang begitu saja. Perlahan, aku mengingat kalimat yang diucapkan salah satu senior tentang keadaan ini.
'habis masa ... habis rasa'
---- •° ----

KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa
Teen FictionBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...