Welcome Back !!
Semoga masih ingat dengan cerita ini, kalau lupa boleh kita mengawali lagi hehehe ...----*----
Perjalanan itu menghabiskan waktu dua hari satu malam, aku benar-benar sudah menjadi akrab dengan sang sopir. Biasanya kita bergantian menunggu di depan masjid atau tempat istirahat yang menyediakan ruang ibadah, dia juga selalu menanyakan menu apa yang ingin kupesan. Seolah di mobil hanya ada kami berdua, dia benar-benar menikmati waktu sebelum katanya akan mengantar dua sejoli di belakang ke pemberhentian yang lebih jauh.
Setibanya di rumah, sopir itu juga berniat membawakan barang-barang yang lebih beranak dibanding saat pergi. Namun, kakak-kakak senior yang ternyata sudah standby segera menyambar barang-barangku untuk dibawanya ke dalam. Sang sopir seolah tidak heran kenapa banyak laki-laki di sana, bukan berpikir seperti kebanyakan karena aku sendiri paham beliau pasti membaca dengan akrab tatapan sayang dari para senior untuk adik kecilnya ini.
Masuk ke rumah setelah melepas perginya sopir dan dua penumpang yang masih saja diam seribu bahasa, aku merebahkan tubuh di sofa dan langsung disambut oleh beberapa senior perempuan yang ternyata ada di sana.
"Minum dulu biar seger, pasti capek nih dari perjalanan jauh."
Kak Risma menyodorkan segelas minuman dingin, manis dan segarnya menyapa tenggorokan dengan sempurna. Selepas itu, para senior sedang bercengkerama seru di depan, aku seolah dibiarkan dalam kotak yang masih belum bisa berpaling dari hari kemarin. Rasanya ada yang kosong, hampa di satu titik seakan menginginkan diri kembali memutar arah untuk bertemu kejadian yang telah lewat masanya.
Di depan ada kak Calvin dan kak Galih, tetapi rasanya aku belum siap bergabung dan mendengar celoteh mereka. Aneh saat kusadari ada sesuatu yang mendadak dingin, kehangatan yang sejak kemarin ingin kurengkuh seolah lenyap. Menatap gawai, aku memilih membuka pesan dari Syahib dan mengabarkan jika aku sudah sampai. Awalnya, dia ingin menelepon atau video call agar bisa melihat keadaanku bagaimana, tetapi banyaknya senior yang sedang berkumpul membuat enggan melakukannya.
Serasa didiamkan, aku memilih untuk membaca pesan-pesan yang belum pernah kubuka dan masih setia bertengger di arsip. Baru menyadari banyak nomer yang tidak kusimpan, padahal pemiliknya sudah sering mengirim dan berbalas pesan untukku. Kadang aku harus menanyakan kembali asal kota mereka, kode kontakku selalu berawalan dari tempat pertama kita bertemu, diikuti namanya lalu kota. Seperti salah satu kontak yang baru saja kusimpan, 'Munas Melda Jeneponto'. Salah satu perempuan keren yang mungkin akan menjadi role model untukku ke depan, dia tegas dan tidak takut menyuarakan pendapat selama didukung oleh fakta dan bukti yang sesuai dengan aturan administratif. Namun, dari semua yang ada mungkin hanya satu orang yang tidak kutandai seperti yang lain, siapa lagi kalau bukan sosok yang saat ini masih terus meramaikan obrolan online di aplikasi hijauku.
"Seru banget, dapat pacar nggak di sana?"
Suara kak Galih mendadak membuatku menutup layar gawai, pesan yang kusampaikan pada Syahib tentu saja tidak boleh sampai terbaca oleh senior di sini. Menatap wajah cerah sosok di sampingku, dia menaik turunkan alis seolah tengah menunggu jawaban dari celotehnya barusan.
"Apa, Kak?" tanyaku berusaha melepas perasaan yang beberapa waktu terus bergelayut, asing.
"Cabang mana yang nyangkut di hati?"
Kali ini bukan kak Galih, melainkan kak Calvin yang sama rese'nya kalau sudah membahas tentang romantisme. Senior perempuan tampaknya tengah berada di dunia mereka sendiri, entah apa yang sedang mereka tertawakan yang jelas hal itu sejak tadi membuatku ingin kembali bertemu Syahib atau paling tidak kak Jasmine.
"Hei! Kalian seru sendiri, ini adiknya baru pulang kok malah dicuekin."
Seolah mengerti apa yang sejak tadi membuatku bungkam, kak Calvin menegur beberapa perempuan di sana yang masih tertawa seolah dunia ini isinya hanya mereka dan segala lelucon yang tidak nyambung denganku. Baru kali ini aku menemukan keadaan yang membuat canggung, mungkin karena lingkungan kemarin terlalu nyaman hingga setelah kembali pun rasanya seperti ingin mengulang.
"Sudah pulang, waktunya kembali mengabarkan bahwa kamu di sini. Masih ingat habis masa habis rasa, 'kan?"
Kak Risma yang beberapa waktu memang selalu menjadi tempat bertanya, datang dengan senyum teduh setelah mengatakan kalimat yang memang harusnya aku ingat. Habis masa habis rasa adalah senjata yang kugenggam kuat, tapi Syahib sepertinya masuk dalam pengecualian karena komunikasi yang terjalin tidak usai setelah semua kembali ke cabang masing-masing.
"Jadi, ada berapa cabang?"
Pertanyaan itu membuatku meledakkan tawa, aku yang paham dengan tatapan kak Risma menangkap apa yang ingin ia ketahui sebenarnya.
"Tidak banyak yang istimewa, tapi aku bisa hidup berkat mereka."
"Katanya ada yang sempat kamu tolak, bener?" tanya kak Galih dengan penasaran.
"Hah? Nggak ada tuh, lagian aku nggak nolak dan nggak nerima apapun."
"Oh jadi sistemnya HTS?" Kak Calvin mengeluarkan senyum manisnya, aku pun hanya menggeleng kecil.
"Udah nggak usah didengerin, mereka emang kayak gitu. Kalau capek, kamu bisa tidur gapapa nanti biar kita bantu beresin barangnya."
"Nggak usah, Kak. Biarin aja di situ, nanti aku beresin kalau sudah mood."
Kak Risma mengangguk, aku memilih untuk masuk kamar dan menutupnya sampai suara di luar berubah lirih. Mereka sebenarnya masih sama, hanya saja aku yang tidak mudah kembali ke lingkungan awal setelah dihadapkan dengan kondisi yang berbeda. Seperti ditarik dari satu tempat yang sudah membuat nyaman, lalu dihempas ke tempat asing tanpa satupun petunjuk atau pelindung keamanan.
Di dalam, tentu saja aku tidak akan tidur dan lebih memilih menatap gawai sembari melihat beberapa pesan yang mungkin terlewatkan. Sebuah panggilan masuk, aku berharap suaraku tidak terdengar sampai ke luar karena ada perasaan yang mendorong untuk tidak mengabaikannya kali ini. Rindu.
"Hallo, Lita. Di mana ki?"
Belum apa-apa, aku sudah dibuat melayang dengan intonasi menyenangkan yang dia miliki saat menyebut namaku. Ada penekanan tersendiri yang membuat panggilan darinya terasa unik, dia masih dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah kujawab di chat tadi.
"Sudah di rumah, ini baru sampai tadi," jawabku dengan suara yang berusaha ditekan, aku tidak ingin ada telinga dari luar kamar yang berhasil menangkap obrolan ini.
"Aman ji? Tidak ada barang yang ketinggalan?"
"Alhamdulillah aman, nggak tau sih kalau barang atau apa. Belum beresin soalnya masih butuh istirahat dan diam sebentar."
"Alhamdulillah. Sepertinya ada yang ketinggalan mi ini."
"Apa tuh?" Spontan keningku mengernyit, berusaha mengingat barang apa yang sempat terlupa di sana.
"Yakin ki tidak ingat?"
Aku menggeleng, sedetik kemudian sadar bahwa ini panggilan suara bukan video dan yang jelas Syahib tidak akan melihatnya.
"Apa memang yang ketinggalan, ada sama Syahib?"
"Iye, ada ji ini sama saya sekarang."
"Hah?"
"Mau tau?"
"Iya."
"Hati ta."
Sepertinya laki-laki ini punya cara yang tidak pasaran meski jurusnya sudah sering kutemukan, gombalan yang biasanya akan kutanggapi dengan merotasikan bola mata. Kini justru berhasil membuatku tersenyum, bukan karena kata yang dia pilih melainkan siapa yang mengatakannya.
"Ah, aku takut jatuh cinta," gumamku.
***||***
November/28
![](https://img.wattpad.com/cover/301142822-288-k223070.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa
JugendliteraturBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...