1. Bad News

1.2K 37 0
                                    


Teman-teman, kelengkapan cerita ini ada di Karyakarsa: Kalpikarupa
Terima kasih untuk dukungannya:)

____

"Gimana soal perasaan lo sama Kak Nares sekarang, Ra?" tanya Jena, sahabatnya.

Mereka berdua tengah menikmati makan malam untuk merayakan ulang tahun Jena di sebuah kafe. Perempuan itu walau seorang influencer yang sudah terbiasa dengan keramaian, tapi lebih senang menyendiri. Temannya bahkan bisa dihitung jari, dan Nara termasuk di dalamnya. Dia bahkan tidak ingin meniup lilin, dia hanya ingin ditemani makan.

Nara menelan lamat-lamat kentang gorengnya. "Udah selesai, Jen. Dia udah ketemu teman hidupnya, jadi gue harus berhenti." tangannya menggantung, senyumnya mengembang tipis. "Enaknya suka sama orang secara diem-diem tuh gini, Jen. Kita nggak kelihatan patah hati, nggak malu pas dia menemukan tambatan hatinya."

Jena menyangga dagu. "Gue nggak suka. Gue lebih suka terang-terangan, jadi gue bisa jelas tahu gimana perasaan dia ke gue. Kalau ditolak, ya udah selesai, gue nyari lagi."

Nara terkekeh. "Emang lo banget."

Jena menatap perempuan di depannya dengan pandangan meneliti. "Kok lo sesantai ini sih, Ra?"

"Terus gue harus gimana?" Nara menyeka mulutnya.

"Marah, kek, nangis, kek. Pas tahu Nares jadian dulu, lo harusnya ngamuk sama kakak lo, anjir! She even knows that you like Nares, better than anyone else." Jena menatap Nara dengan gemas.

Ingatan Nara terdampar kembali pada kejadian beberapa tahun lalu saat Tita, kakaknya, membawa Nares ke hadapan keluarga dan mengatakan jika pria itu kekasihnya. Saat itu Nara cuma bisa menangis, tanpa bisa ngamuk-ngamuk. Pada akhirnya dia mengabaikan Tita atas patah hati yang ia rasakan. Hubungan mereka renggang sampai waktu bisa membantu Nara untuk merelakan apa yang sudah terjadi. Ia sadar karena ia terlalu pengecut untuk memberanikan diri menyatakan perasaan pada lelaki itu sehingga pantas saja kalau keburu disambar orang lain.

Dalam diamnya mengabaikan Tita, sesekali ia menyalahkan perempuan itu lewat sebuah tulisan di sosial media walau Tita tak pernah sekali pun membacanya.

"Gue nangis, kok, Jen." Nara memonyongkan bibirnya. "Gue ngemusuhin dia sampai orang tua kita bingung. Lama-lama gue cape juga, tahu. Ditambah bikin khawatir Mama dan Papa, nggak enak rasanya."

Jena memeluk sahabatnya itu dari samping. "Kok lo bisa act fine selama bertahun-tahun, Ra? but I'm so proud of you, Bu Guru!"

Nara terkekeh. Dia menepuk-nepuk tangan Jena. "Berkat lo juga, dong. The one and only yang suka ajakin nongkrong di warung dekat rumah buat makan mie doang."

Jena tertawa mengingat memori mereka dulu. "Waktu gue bucin banget tuh sama Ramon," ia menutup mulutnya. "Lo bilang Xavier deketin lo kan, Ra? gimana kalau pedekate aja sama dia? dia kan deket banget sama Ramon, siapa tahu gue bisa balikan ama doi."

Nara melempar tisu ke wajah Jena. "Lo masih belum move on sama Ramon? lagian Xavier lebih muda dari gue, ogah."

Jena mencebik. "Beda dua tahun doang, kali."

"Ya udah lo aja, sana," ucap Nara dengan nada malas.

"Gue mah mau-mau aja, tapi kan dia naksirnya sama lo, Iboooook!"

Nara memutar bola matanya.

_

Nara turun dari ojek online yang ditumpanginya dan masuk ke dalam rumah yang tampak lengang dan terdengar hening. Kebetulan orang tuanya sedang pergi ke Bandung untuk menemui saudara yang lain. Karena hari pernikahan Tita dan Nares akan segera dilaksanakan, mereka merasa perlu membicarakannya dengan saudara-saudaranya.

Dia segera membersihkan diri dan berniat menyimpan pakaian sebelumnya di tempat cucian. Akan tetapi sebuah kue tart yang teronggok di meja menarik perhatiannya.

I'm sorry, Ta.

Nara memanjangkan lehernya. "Kak?" panggilnya. Namun, ia tak mendapat jawaban.

Sembari mencari di mana keberadaan Tita, Nara menyimpan lebih dulu cuciannya. Keningnya mengernyit ketika mendapati pintu belakang yang menuju tempat menjemur pakaian terbuka begitu saja. Biasanya pintu itu selalu dikunci oleh ibunya. Kakinya bergerak perlahan keresahannya makin menjadi saat melihat kepulan asap tipis yang membungbung. Takut-takut, Nara mengintipinya.

"What are you doing?" Nara menatap bingung kakaknya yang tengah duduk melamun seraya mengisap sebatang rokok.

Tita segera mengipas-ngipas asap yang melingkupi dirinya. Dia juga sama terkejutnya dengan sang adik. "Nggak ngapa-ngapain," diinjaknya rokok yang semula bertengger di antara dua celah bibirnya.

Nara tidak tahu bagaimana pergaulan kakaknya di luar sana, tapi ini pertama kalinya ia melihat perempuan itu merokok. Dengan kemeja putih ketat dan celana kulot hitam yang mana adalah outfit kerjanya hari ini, Tita terlihat berantakan. Wajahnya digelayuti mendung dan rambutnya yang dicepol jepit juga terlihat kusut. Yang ia tahu kakaknya selalu terlihat stunning dan cantik, tapi kali ini penampilannya sungguh jauh berbeda.

Pertama-tama lirikan mata Nara mengarah pada dua puntung rokok yang tergeletak di asbak. Mungkinkah Tita sedang mengalami pressure menjelang pernikahan sampai-sampai mengisap rokok menjadi pelariannya? lalu, atensinya berpindah ke wajah Tita, menilik ekspresi perempuan itu.

"Are you okay?" tanyanya seraya mengalihkan wajah.

"Hm," Tita menaikan kakinya sehingga dia bisa memeluk lututnya.

"Mungkin kamu bisa cerita ke aku buat ngurangin beban kamu, Kak." Nara menatap langit malam yang hitam pekat.

Bangku di sebelahnya berderit, Tita berdiri dan menatapnya sejenak. "Nothing, cuma stres mikirin kerjaan." ia memberinya senyum singkat sebelum akhirnya pergi ke dalam rumah.

Nara mengekorinya. "Btw, kamu nggak berantem sama Kak Nares, kan?" tanyanya pelan.

Tita sempat menoleh pada kue di atas meja yang bertuliskan kata maaf. "Nggak, kok."

Nara berhenti mengekori kakaknya dan berhenti di dapur. Ia mengambil beberapa makanan ringan dan sekotak es krim, membawanya ke dalam kamar. Meskipun ibunya berulang kali menegur jika makanan tak boleh dibawa ke kamar. Sembari mengecap rasa manis dari coklat, tangannya membuka gambar-gambar hasil karya anak-anak didiknya.

Ia meletakan stiker-stiker bintang pada karya mereka untuk mengapresiasinya. Hal-hal seperti itu kerap membuatnya lupa waktu hingga ia berakhir tidur pada jam sebelas malam.

Ketika pagi menyambut, tidurnya terusik dengan dering telepon yang berisik.

Masih dengan setengah kesadarannya, Nara menjawab panggilan yang berasal dari ayahnya.

"Ra, kamu di mana?" suara ayahnya terdengar panik.

Nara melirik jam di nakas dan angka masih menunjukan pukul lima pagi. "Di rumah lah, Pa. Kenapa? aku baru bangun tidur," ia menguap setelahnya.

"Coba periksa kamar Kakak kamu!"

Walau bertanya-tanya, tapi Nara tetap berjalan menuju kamar Tita di sisi lain. "Kenapa emangnya? palingan dia masih tidur, Pa."

Wisnu mengembuskan napas yang terdengar gusar dan gugup. "Dia kirim pesan ke Papa, katanya dia nggak bisa melanjutkan pernikahan,"

Nara terhenyak di depan pintu kamar kakaknya. "Bercanda kali, Pa. Semalam dia ada kok-" ucapannya terhenti saat ingatannya kembali memutar keadaan semalam.

Pertama kalinya Nara melihat Tita merokok dan penampilan wanita itu berantakan, wajahnya kusut dan sebuah kue bertulisan kalimat minta maaf. Kesadarannya membawa Nara membuka pintu kamar Tita dengan tangan yang berkeringat.

Benar saja firasat papanya, kamar Tita kosong, pemiliknya sudah pergi. Ia membawa serta beberapa pakaian dan perlengkapan kecantikannya dan dia tidak meninggalkan surat apapun untuk menjelaskan semua maksudnya.

"Ra," sang ayah menyadarkannya yang terdiam membisu.

Nara tercekat. "Kak Tita nggak ada di kamarnya, Pa."

___

Mendadak NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang