3. Win-Win Solution

576 23 0
                                    


Dalam waktu tiga hari, rangkaian cerita pernikahan Tita tetap tak menemukan solusinya. Kedua belah pihak masih sama-sama bungkam, sibuk mencari solusi. Sementara ajakannya untuk menikah kepada Nares hanya jadi pertanyaan sepihak karena lelaki itu tidak menanggapi apapun setelah mengantarkan Nilam ke rumah sakit. Agak menyesal juga Nara sudah jujur perihal isi hatinya pada lelaki cuek itu.

Nara memasuki rumah pukul satu siang setelah beres mengajar murid-muridnya. Ibunya tampak duduk di kamar seraya menonton televisi. Tapi Nara yakin sekali kalau ibunya sedang melamun seperti hari-hari biasanya. Tiap harinya, ia tak melewatkan satu kalipun untuk melongok kamar orang tuanya untuk melihat sang ibu, mengecek keadaannya.

"Ma, udah makan?" Nara meraih tangan ibunya dan menciumnya.

"Udah," Ratna tersenyum walau tak sampai ke matanya. "Kamu?"

"Udah, Ma. Nara ke kamar dulu, ya," ia berpamitan dan kembali menutup pintu kamar orang tuanya.

"Permisi?"

Kakinya berputar haluan. Seraya bertanya-tanya, Nara berjalan menuju pintu utama dan ketika dia mengintip siapa gerangan yang mengetuk pintu, matanya sedikit membulat.

"Kak Nares?" tanyanya terkejut.

Nares berdiri di hadapannya dengan mengenakan koko putih dan sarung. Sepertinya lelaki itu sehabis pulang jumat'an, namun bukan itu yang aneh, melainkan kenapa sehabis jumat'an dia kemari? apa dia tahu keberadaan Tita?

"Boleh aku minta waktu kamu, Ra?"

Nara mengangguk. "Duduk dulu, Kak. Kamu suka teh, nggak?"

"Boleh."

Teh telah tersaji di atas meja, namun keduanya sama sekali belum berniat menyentuhnya. Nara yang tidak tahan lagi dengan situasi canggung ini lantas bertanya. "Ada yang mau Kak Nares sampein?"

Nares mengembuskan napas. "Tawaran yang kamu ajukan, apa masih berlaku?"

Nara tertegun beberapa detik. "Soal menikah?"

"Iya,"

Saat mengatakannya tempo hari, tak ada keraguan sama sekali. Tapi ketika sekarang lelaki itu bertanya, perutnya mendadak mulas. Apalagi tatapan Nares sepenuhnya mengarah pada dirinya. Tak ada raut canda pada wajah pemilik nama Nares Dewantara itu.

Ketika teringat sosok mamanya yang beberapa hari ke belakang jadi sakit-sakitan dan sering melamun membuat Nara merasa bersalah karena tak bisa membantunya melakukan apapun.

Bukankah Nares pernah jadi sosok yang istimewa untuknya? jadi, seharusnya tak akan sulit untuk jatuh hati lagi padanya, bukan?

"Maaf jadi seperti ini," Nares membuka suara setelah cukup jeda mereka duduk di luar dengan dua cangkir teh yang mulai dingin. "Kamu seharusnya nggak terlibat dalam hubungan rumit ini."

"Mungkin Kak Nares pernah dengar ceritanya dari Kak Tita. Keluarga kami pernah mendapatkan masalah yang sama, dulu sekali." kedua tangan Nara saling terjalin. "Kejadian itu terulang sekarang dan kayak pukulan telak buat Mama, dia benar-benar terpukul sampai mempengaruhi kesehatannya. Apa yang bisa aku lakuin buat memperbaiki salahsatu dari masalah, aku mutusin buat ambil keputusan ini."

Nares mengangguk. "Kamu siap untuk ke depannya? saya nggak berniat menjadikan pernikahan ini sebagai kontrak semata," tatapannya lekat, mengunci.

"Kalau memang serius, harusnya nggak masalah. Kita bakal hadapin sama-sama, kan? aku juga nggak berniat main-main, Kak."

Ini bukan lagi tentang dirinya, bukan pula tentang Nares, tapi keluarga mereka.

"Karena waktunya udah mepet, saya nggak bisa melakukan pendekatan dulu sama kamu, saya minta maaf soal itu." Nares membetulkan kaca matanya. "Pertama-tama, saya harus bawa orang tua saya ke sini, mungkin nanti sore?"

Mendadak NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang