Bab 1
Harus kembali ke Jakarta dengan pemberitahuan mendadak tanpa boleh menolak, menimbulkan kegelisahan berkepanjangan. Tara berusaha kuat memejamkan mata, mempersiapkan jiwa dan raga untuk sebuah kejutan yang bisa saja berpengaruh banyak kepada masa depan. Perjalanan selama hampir 17 jam dengan sekali transit, tak sekejap pun berhasil membuat terlelap.
Meskipun mama tidak menjelaskan alasan menyuruh pulang, Tara paham seberapa serius masalah yang sedang dihadapi keluarga saat ini. Sebenarnya indikasi ketidakberesan sudah tercium sejak setengah tahun lalu. Papa mulai sering telat mengirimkan uang, memangkas hampir tiga perempat uang jajan. Ia yang seharusnya hanya perlu memikirkan bagaimana bisa meraih nilai terbaik, terpaksa bekerja paruh waktu dan melakukan penghematan ketat.
Suasana mencekam tampak jelas di luar rumah. Pos Satpam kosong dengan lampu padam, sementara rumput-rumput liar mendominasi taman indah yang saat ia pergi dulu, terawat rapi dengan beberapa orang yang ditugaskan khusus mengurusi itu. Lampu-lampu di dalam rumah tidak terang benderang seperti seharusnya, penghematan besar-besaran jelas sedang dilakukan.
Tara berjalan pelan dengan ransel di bahu, membuka pintu pagar dalam suasana remang membuatnya bergidik. Jarak 45 meter menuju ke teras, rasa-rasanya seperti sedang bertualang di hutan rimba. Pohon bambu tinggi menjulang di kiri kanan jalan saling bergesekan tertiup angin, menghasilkan suara yang cukup menyeramkan. Memutuskan untuk berlari, tidak sanggup lagi berdamai dengan ketakutan. Jalan menuju ke rumah pernah menjadi tempat favoritnya. Memberikan kedamaian di siang hari, menghadirkan suasana romantis di malam hari dengan lampu-lampu besar menyinari.
Pintu terbuka hanya dengan sekali menekan bel. Wajah mama terlihat letih, tersenyum, tapi Tara tahu ada beban berat di balik senyum itu.
“Mama ….”
“Maaf membuatmu harus pulang mendadak, Nak.” Pratiwi membalas pelukan dengan tangan mengelus punggung sang putri bungsu. Berusaha kuat untuk tidak mengeluarkan air mata. Memintanya pulang adalah hal terberat yang pernah mereka putuskan.
“Papa di mana?” Rumah terlalu sepi padahal baru pukul delapan malam.
“Papa sudah tidur, lagi kurang sehat. Besok saja ketemu Papa ya? Kamu juga pasti capek, kan?”
Bukan kebiasaan papa tidur cepat, Beliau adalah tipe pekerja keras, menghabiskan waktu sampai larut malam di ruang kerja. Ingin sekali langsung bertanya, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat.
“Kalau begitu, aku ke kamar.”
“Tidak makan malam, dulu?”
“Sudah tadi di airport. Tolong bangunkan aku besok Subuh, Ma.”
Pratiwi tersenyum sambil mengangguk, menatapnya melangkah pergi. Setahun lebih tidak bertemu, Tara berubah banyak. Sosok manja yang tampak mulai mandiri dan bisa meredam rasa. Waktu sungguh cepat berlalu, masih teringat jelas kesedihan saat melepasnya pergi sendirian ke negeri asing untuk mewujudkan mimpi yang mungkin saja tidak akan terwujud. Mereka sudah tidak berdaya menanggung biaya kuliah yang termasuk salah satu pengeluaran terbesar untuk disingkirkan.
“Tara!” Pratiwi tak kuasa menahan rasa bersalah.
Panggilan tiba-tiba menghentikan langkah Tara yang hendak menaiki tangga. “Iya, Ma ….”
“Good night and sweet dream, Baby.”
“Makasih, Ma.” Mata mama yang berkaca-kaca jelas terlihat. Kalau ia kembali kepadanya untuk memeluk, tangisan pasti akan pecah.
Tara segera berbalik. Lebih baik tidak membicarakan apa pun malam ini, mama tidak terlihat siap untuk itu, ia juga sangat letih. Melewati kamar Puspa-Kakak ketiga, ia menghentikan langkah. Ragu sejenak apakah perlu mengetuk untuk mencari tahu, tapi pada akhirnya memutuskan berlalu saja. Ini juga bukan waktu yang tepat untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI SATU MALAM
ChickLitMimpi buruk menyeret Tara ke dalam ikatan suci yang ia tahu dari awal, hanyalah sebuah permainan. Janji yang tak ditepati, menghadirkan kebencian mendalam kepada sang pengucap kabul. Saat kembali untuk menuntut perpisahan, akankah semudah yang ia pi...