SDLV 1

4 0 0
                                    

Seorang lelaki sedang berjongkok di depan batu nisan. Lelaki itu juga mengusap-ngusap batu nisan tersebut, sambil menatap dengan pedih. 

"Sudah 14 tahun kamu ninggalin aku loh, Sayang. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Aku sudah janji untuk menjaga dan merawat anak-anak kita sampai mereka dapat hidup bahagia, dan memiliki kehidupan masing-masing," ucap lelaki tersebut dengan kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya. 

Lelaki itu menghembuskan napas berat, "Walaupun sudah lama kamu tidak ada di sisiku, aku masih belum terbiasa. Aku masih merindukan kehadiran kamu, Sayang. Maafkan aku yang selalu teringat dan menyalahkan diriku sendiri. Aku masih belum bisa berjanji untuk mengikhlaskan kamu pergi, Yang."

Semakin lama, semakin berat dan susah untuk lelaki itu ucapkan. Rasa sesak dapat didengar dari suaranya yang semakin serak terdengar. 

"A-Aku …, maafkan aku, Bianca. Maafkan aku. A-Aku masih belum terbiasa," lirih lelaki tersebut sambil memegang batu nisan dengan sangat kuat. Terlihat urat-urat di tangannya semakin menonjol. 

“Aku akan tetap berusaha untuk mendekatkan diri dengannya. Maafkan aku, Sayang. Aku memang berat untuk berada dalam satu ruangan yang sama dengan putri kecil kita. Wajahnya terlalu mirip denganmu. Maafkan aku. Maafkan aku, Sayang.”

Tanpa terasa, air mata jatuh mengenai pipinya. TIdak akan ada yang menyadari lelaki itu menangis, karena kacamata hitamnya lah yang dapat menghalangi itu semua.

“Flourence. Putri kita yang sangat cantik. Semakin besar pertumbuhannya, semakin mirip denganmu, Sayang. Mata, alis, hidung. hampir semuanya mirip denganmu. Tapi–” Lelaki itu mengusap air matanya yang kembali turun, “Bibirnya, tentu saja mirip denganku. Untungnya sifat putri kita sangat mirip denganmu. Sangat ceria dan selalu membawa kehangatan di dalam rumah.”

Baru saja lelaki itu akan kembali membuka mulutnya untuk bersuara, langkah kaki yang mendekati lelaki tersebut membuatnya mengurungkan niat. 

“Anak-anak datang. Aku sengaja datang lebih dulu agar dapat mengobrol denganmu,” ujarnya dengan pelan sambil memberikan senyum cerah dari sang lelaki.

“Dad….”  panggil suara lembut dari arah belakang tubuh lelaki yang sedang berjongkok.

Lelaki tersebut berdiri, lalu berbalik untuk menyambut anak-anaknya.

“Daddy kenapa selalu pergi duluan, sih? Kan, biar kompak, kita bisa datang barengan. Kita juga bisa pakai 1 mobil saja,” gerutu wanita kecil dengan wajah cemberutnya.

“Ini bocil, memang engga paham juga. peka dong, peka, Cil,” ujar lelaki muda yang menjitak kepala wanita kecil itu.

“Edgard!!” tegur lelaki yang dianggap Daddy oleh wanita kecil tadi.

Sorry, Dad. Habis, Flou berisik banget dari rumah sampai kita sudah tiba disini. Jadi, sakit telinga Ed, Dad,” adu Edgard dengan wajah kesalnya.

“Salahin Daddy dong, jangan salahin Flou. Daddy selalu saja pergi duluan,” gerutu Flourence masih dengan bibir yang dimajukan.

Lelaki yang sudah berumur tetapi masih terlihat gagah itu, mengusap kepala Flou dengan sayang, “Flou, Sayang. Kamu kan tahu, kalau Daddy harus merapikan makam Mommy sebelum kalian datang. Jadi, kita bisa berdoa dan bercerita lebih lama, dan juga lebih nyaman dong.”

“Selalu dengan alasan yang sama,” ejek Flourence sambil pergi berlalu begitu saja dari hadapan Daddynya itu.

“Hai, Dad. Sudah selesai berceritanya?” tanya lelaki muda lainnya yang sangat mirip sekali dengan Edgard

“Sudah, Kak. Makasih ya, Kak Elmant,” ucap lelaki tersebut.

Elmant dan Edgard, anak kembar yang tidak identik memiliki sifat berbeda. Tanpa banyak basa basi lagi, ia berjalan mendekati kembarannya dan juga satu-satunya adik perempuan yang sudah lebih dulu sampai.

“Bang Grover….” panggil lelaki tersebut yang melihat lelaki muda lainnya yang sangat mirip sekali dengan dia hanya berlalu begitu saja dari hadapannya.

Grover dan lelaki tersebut sangatlah mirip, baik dari wajah, postur tubuh, hingga sifatnya juga sangat mirip sekali saat lelaki itu masih muda.

Grover yang merasa dirinya dipanggil langsung menghentikan langkahnya, dan berbalik melihat ke arah Sang Daddy. grover hanya menatap tanpa mengeluarkan suaranya.

“Makasih, Bang,” ucap lelaki tersebut sambil tersenyum.

Grover hanya menganggukkan kepala, dan kembali berbalik untuk melangkah mendekati batu nisan ibunya yang sudah di kelilingi oleh ketiga adiknya itu.

Melihat reaksi yang diberikan oleh anak sulung dari lelaki itu, hanya mampu membuatnya menghembuskan napas berat. Setelah kematian ibunya, sifat Grover semakin tertutup dan dingin. Grover juga tidak pernah lagi menunjukkan senyumnya, baik dirumah maupun di kantor.

Grover, hanya satu-satunya di keluarga itu yang menjauhkan diri dari Sang adik perempuan dengan sangat jelas. Walaupun, Grover sudah pernah diajak bicara dan ditegur oleh lelaki itu, tetap saja tidak membuatnya mengubah sikap dingin Grover terhadap Flourence.

“Daddy lagi ngapain? Ayo, sini,” ujar Flourence yang menyadarkan lamunannya.

 Lelaki tersebut langsung berjalan menghampiri mereka dengan senyum yang kembali terpasang di wajahnya.

Raymond VIto Marcellino adalah lelaki sukses di usianya yang sudah menginjakkan 48 tahun, harus hidup hanya dengan keempat anak-anaknya. Saat lelaki itu berusia 36 tahun, ia harus kehilangan wanita yang sangat ia cintai. Bianca Orvala Azri yang hanya berbeda satu tahun dari Raymond harus menghembuskan napas terakhir saat proses persalinan anak perempuannya. 

Bianca memaksa Raymond untuk mempertahankan bayinya, walaupun Bianca tahu kalau nyawanya lah sebagai taruhan akan keselamatan anak perempuannya itu. Permintaan terakhir Bianca inilah yang membuat Grover bersikap dingin terhadap semua orang.

“Ayo, kita sama-sama berdoa dulu. Setelah itu, baru kita bercerita,” ucap Raymond yang mengajak mereka untuk berdoa.

“Bang Grover yang kali ini memimpin doa,” tambah Raymond sambil menepuk pundak anak sulungnya.

Tanpa banyak menunggu lagi, Grover memimpin doa yang membuat semuanya menutup mata dan ikut berdoa dari dalam hati. 

“Amin,” ucap Grover menutup doanya.

“Amin,” jawab mereka semua serempak setelah Grover lebih dulu berucap.

“Mom, adek mau ngasih tahu kalau kak Elmant sekarang udah punya pacar,” adu Flourence yang membuat Elmant membulatkan kedua matanya.

“Beneran, Cil?” tanya Edgard yang juga kaget mendengar ucapan Flourence.

Flourence menganggukkan kepala dengan kuat, “Iya, kak Ed. Kak, Elmant punya pacar. Kalau engga salah namanya itu, Kak Tiffany.”

“Jangan percaya ucapan Adek ya, Dad,” ujar Elmant yang malah fokus menatap Reymond.

Reymond menaikkan sebelah alisnya, dan juga tidak lupa dengan senyum miring, “Benarkah itu, Kak?”

“Dad….” rengek Elmant yang merasa dirinya sedang digoda oleh Raymond.

“Waaahhh, El. Lu beneran jadian sama Tiffany?” tanya Edgard dengan wajah yang masih kaget.

Elmant hanya memutar bola matanya, “Lu percaya sama ucapan Adek?”

Edgard dengan cepat menganggukkan kepala, “Tentu saja. Bocil gue engga akan bohong. Jadi, gimana? Lu beneran jadian sama TIffany?”

“Engga usah percaya sama Adek. Adek bohong itu,” bantah Elmant dengan cepat.

Edgard masih menatap kembarannya itu dengan wajah curiga. Elmant yang ditatap intens oleh kembarannya itu hanya terdiam kaku dengan telinga yang sudah memerah.

“Tuh, Kak Elmant bohong! Lihat saja telinganya merah gitu,” seru Flourence sambil menunjuk-nunjuk telinga Elmant.

Edgard langsung mencecar berbagai pertanyaan tentang hubungan yang dijalani oleh Edgard. Yang pada akhirnya membuat suasana heboh di depan makam ibunya. 

Berbeda dengan Grover yang menatap dingin mereka semua, lalu terakhir menatap tajam Flourence. Menghembuskan napas berat, dan kembali fokus menatap batu nisan yang terdapat nama ibunya.

“I miss you, Mom,” lirih Grover dengan suara pelan.

Single Daddy Like a VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang