SDLV 3

1 0 0
                                    

Raymond membulatkan mata, kaget mendengar pernyataan yang diberikan oleh Deon, “Lu yakin kalau nama anak gue ada di daftar itu?”

Deon menganggukkan kepala, “Iya.”

“Selain nama Grover, Devan dan Keenan juga masuk ke dalam list yang ikut balapan,” tambah Deon lahi sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

“Devan?” tanya Raymond memastikan pendengarannya.

“Gue engga nyangka kalau anak gue juga ada di daftar itu, Ray. Tapi, saat balapan itu terjadi, engga ada Devan. Soalnya, dia lagi sama ibunya di rumah sakit,” jelas Deon yang sangat terlihat wajah lelahnya.

Raymond menatap Deon dengan dahi mengkerut, “Dina kenapa?”

“Seperti biasa, dia melukai tangannya lagi waktu bikin kue. Makanya, Devan langsung bawa Dina ke rumah sakit. Kau kan tahu sendiri kalau Devan sangat protektif banget ke ibunya,” jelas Deon sambil memijat pangkal hidungnya yang terasa sakit.

“Lagi?” tanya Reymond dengan menggeleng-gelengkan kepala.

Deon mengangkat bahu sambil tertawa kecil. Tak lama, ia berdiri dari duduknya yang hanya ditatap oleh Reymond.

“Sepertinya, Grover sudah selesai di introgasi. Sebaiknya, kita pergi menemuinya,” ujar Deon yang melihat jam tangannya.

Reymond mengikuti Deon kembali dari belakang menuju sebuah ruangan lain yang dapat diyakini kalau putra sulungnya itu ada di balik ruangan tersebut.

Deon membuka pintu, dan yang menggeser tubuhnya agar Reymond dapat masuk tanpa terhalangi oleh tubuh besar Deon.

“Abang….” panggil Raymond menginterupsi Grover yang sedang menundukkan kepalanya dengan tangan diatas meja.

Grover yang mendengar suara Daddy nya itu, langsung mengangkat kepalanya dan menatap Raymond dengan wajah bersalah.

“Dad….” panggilnya dengan pelan sambil berdiri.

Raymond langsung berjalan dengan langkah lebar, dan menarik tubuh Grover untuk masuk kedalam pelukannya, “Kamu baik-baik saja kan, Bang? Tidak ada yang luka?”

Tidak ada jawaban yang diberikan oleh Grover, membuat Raymond menjauhkan tubuhnya, dan melihat ke seluruh tubuh dan wajah anak sulungnya dengan seksama, “Ada yang luka engga, Bang? Apa kita perlu ke rumah sakit?”

Grover menggelengkan kepala, “Tidak perlu, Dad. Aku baik-baik saja.”

Raymond yang mendengar jawaban dari putra sulungnya itu langsung bernafas dengan lega, “Syukurlah kalau begitu, Bang.”

Deon menghampiri Raymond, dan menepuk pundak temannya itu, “Lu bisa bawa Grover pulang, Ray.”

“Thank’s, Deon. Gue pastikan ini yang terakhir dia ikut balapan liar,” ucap Raymond yang dibalas anggukkan kepala oleh Deon.

“Ayo kita pulang, Bang,” ajak Raymond yang berjalan lebih dulu dan diikuti oleh Grover dari belakang.

“Dad, kunci mobil aku masih ditahan sama om Deon,” ujar Grover yang menghentikan langkah Raymond.

Raymond berbalik dan menatap Grover dengan wajah lelahnya, “Asisten Daddy yang akan mengambilnya besok. Kamu akan pulang sama Daddy naik mobil Daddy.”

“Besok aku kerja naik apa, Dad. Sekarang aja aku bawa pulang,” ujar Grover yang akan berbalik untuk menemui Deon.

“Om Deon tidak akan memberikan kunci mobilnya malam ini. Lusa, kamu baru akan mendapatkan mobilmu kembali,” jelas Reymond dengan tegas.

“Tapi, Dad–”

Reymond menatap tajam Grover, “Pulang sama Daddy!”

Grover yang tahu kalau Daddynya marah besar terhadap diri nya, hanya dapat menghembuskan napas berat, dan mengikuti kembali langkah kaki Reymond yang sudah ada beberapa langkah kaki di depannya.

Raymond yang melihat putra sulungnya berjalan mendekati dirinya, langsung kembali melangkahkan kaki agar keluar dari kantor polisi menuju mobilnya yang terparkir.

Tanpa banyak bicara, Raymond masuk ke dalam mobil lebih dulu yang diikuti oleh Grover. Selama perjalanan tidak ada yang memulai pembicaraan. Raymond yang fokus menyetir dan mleihat ke depan, Grover juga hanya melihat ke samping jendelanya.

“Abang…, buankah Daddy sudah ngasih tahu kalau Daddy tidak menyukai tentang balap liar?” tanya Reymond yang memecahkan keheningan diantara mereka berdua.

“Tahu,” jawab Grover dengan pelan.

“Kamu tahu, tapi kamu melakukannya?” tanya Raymond dengan penekanan di akhir kalimatnya.

“Maaf, Dad,” ucap Grover yang kali ini menundukkan kepalanya.

Raymond menatap anak sulungnya dengan tajam, dan kembali melihat ke arah depan, “Daddy tidak butuh permintaan maaf dari kamu. Tapi, Daddy butuh penjelasan, Grover Orval Marcellino!”

“Abang…, Daddy tidak pernah melarang kamu melakukan kegiatan ekstrim lainnya, karena Daddy pikir itu termasuk olahraga dan dapat menghilangkan emosi kamu. Tapi, hanya satu yang Daddy minta dari kamu. Tidak ada yang lain, Bang. Hanya satu. Apa itu sangat sulit kamu jalankan, Bang?” 

“Maaf, Dad,” ucap Grover dengan pelan.

Reymond meminggirkan mobilnya tepat saat ia sudah masuk ke dalam komplek perumahan, “Bang…, angkat kepala kamu! Dan, lihat Daddy.”

Grover mengikuti perintah yang diberikan oleh Daddynya itu.

“Daddy tahu, kamu sangat sulit menerima adik kamu dan juga kematian Mommy. Tapi, bukan berarti kamu harus menyakiti diri kamu sendiri, Bang,” ucap Raymond dengan lembut.

“Daddy selalu mendukung keputusan yang kamu ambil, tapi kamu juga harus memikirkan konsekuensi yang akan kamu terima baik sekarang maupun kedepannya. Kamu tahu itu kan?” 

Grover menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh Reymond.

“Bang…, bukan hanya kamu yang merasakan kehilangan. Tapi kita semua juga merasakan kehilangan karena kepergian Mommy. Apalagi, adik kamu tidak pernah merasakan akan kehadiran sosok seorang Mommy. Dan, asal kamu tahu, Bang. Flo selalu menyalahkan dirinya sendiri atas meninggalnya Mommy,” jelas Reymond dengan suara serak yang menandakan kalau Sang Daddy sedang menahan emosi yang bercampur saat ini.

“Bukan Flo yang meminta untuk dipertahankan. Bukan Flo yang meminta untuk dilahirkan. Bukan juga Flo yang meminta untuk ada di keluarga kita. Ini semua sudah menjadi kehendak Tuhan, dan permintaan terakhir Mommy. Wanita yang sangat Daddy cintai, wanita yang sangat kita semua cintai, Bang. Tapi, apa perlu Flo yang menanggung ketidakadilan ini semua?”

Setiap ucapan yang keluar dari mulut Reymond memang benar, dan itu adalah fakta yang sangat menyakitkan untuk semua termasuk untuk mereka berdua. 

Grover mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat. Dia tidak dapat menjawab dan membantah ucapan yang diberikan oleh Sang Daddy. Karena hal inilah yang membuat Grover tidak dapat berlaku lembut terhadap adik perempuan satu-satunya.

“Abang, kamu anak pertama dan juga kakak tertua di keluarga kita. Tolong, Bang. Tolong bantu Daddy. Daddy mohon,” ujar Reymond yang menutup wajahnya dengan stir mobil.

“Jika kamu tidak dapat melihat adikmu. Lihat saja Daddy, Bang. Tidak bisakah kamu melakukan itu?”

Grover yang semula menahan semuanya, tanpa terasa air mata turun membasahi pipinya. Untuk kedua kalinya, Reymond melihat betapa hancur mental anak sulungnya itu. Saat ibunya menghembuskan nafas terakhir, dan sekarang. Sejak Bianca di kuburkan, Grover tidak pernah lagi memperlihatkan air mata atau wajah sedihnya. Dia terus memasang wajah dingin dan juga tatapan tajam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Single Daddy Like a VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang