"Ayah?" Ayah tersenyum lalu mengusap kepala Nadha. "Bukan saatnya nak, pulang lah" titah ayah, Nadha kebingungan dengan perkataan ayah barusan. "Maksud ayah?" Ayah kembali tersenyum dan perlahan menghilang tanpa menjawab pertanyaan dari Nadha, ayah hilang seperti ditelan oleh cahaya yang sangat terang, Nadha menyipitkan matanya karena terasa sangat silau.
"Ayah!" Dia kemudian terbangun dari tidurnya, dia lalu berdiri dari ranjangnya, lalu duduk di kursinya dan merebahkan kepalanya di meja belajarnya sambil menatap pigura foto ayah. "Ayah ngomong apa Nadha gak ngerti" katanya. Tak lama dia mendengar isakan tangis Dikta, dia langsung menegakkan posisinya bersamaan dengan itu, setetes darah segar menetes diatas mejanya.
Nadha lalu mengambil tisu sambil mendongakkan kepalanya keatas dan langsung menyumbat kan tisu itu ke lubang hidungnya, ini bukan kali pertamanya, ini sudah kesekian kalinya Nadha mimisan tiba-tiba, namun dia tidak pernah menghiraukannya, dia menganggap kalau ini efek dia sering kelelahan, Jarang beristirahat dan selalu begadang.
Setelah selesai menyumbat hidungnya, buru-buru dia keluar menyusul Dikta, saat membuka pintu, Andra dan Zean kompak menoleh kearahnya, dari sini Nadha sudah bisa menebak penyebab Dikta menagis pasti ulah mereka. "Kak!, Ini Dikta kenapa di bikin nangis sih?" Tuduh Nadha dia langsung bergegas menghampiri Dikta yang masih terisak.
Andra dan Zean kebingungan melihat Tisu yang tersumbat di lubang hidung Nadha. "Itu hidung lo kenapa dek?" Tanya Zean sedikit cemas, "cosplay jadi pocong dia Bang" sela Andra yang mengundang gelak tawa Zean. "Udah ini gak penting, yang penting sekarang Siapa yang bikin Dikta nangis kek gini?" Nadha lalu mengusap kepala sang adik berusaha menenangkannya.
"Lo nanya ke orang yang salah dek" kata Zean, Nadha mengerutkan dahinya, "maksudnya?" Tanyanya bingung, "kita aja gak tau Nad dia nangis karena apa, pas Dikta keluar dari kamarnya langsung mewek kek gitu" sambung Andra.
Nadha beralih menatap Dikta yang masih terisak, khawatir? Tentu saja, pasalnya ini kali pertamanya Dikta menangis saat bangun tidur, "Ta?, kenapa nangis?" Dikta semakin terisak, dan berhasil membuat Nadha panik.
"Hey, kenapa?, Coba kasih tau Mbak" bujuknya, Dikta lalu menatap Nadha, "maafin Dikta mbak" katanya, ketiga kakaknya heran, "Dikta ngompol di kasur" sambungnya, Zean dan Andra saling melempar pandangan kemudian tertawa terbahak-bahak, sementara Nadha hanya bisa menghela nafas kasar, kemudian menepuk jidatnya, Dikta menundukkan kepalanya karena merasa malu ditertawakan oleh kedua Abang-abangnya.
"Hahaha gue kira apaan dah" kata Andra, "tau ah Dikta bikin piknik orang aja" sambung Zean, "panik" sahut Andra membenarkan, "iya itu maksudnya".
"Udah gede lho padahal, kok masih ngompol di kasur sih Ta?" Dikta mengangkat kepalanya lalu menatap Zean, "maafin Dikta bang" jawabnya, dia lalu beralih menatap Nadha yang sepertinya sedang merenung memikirkan waktu liburannya besok akan di penuhi dengan cuci kasur, seprai dan bantal yang terkontaminasi dengan urine Dikta, yaampun, padahal Dia rencana Akan menamatkan Drakor nya besok.
"Mbak" Nadha masih tidak menggubris, "Mbak!", Dikta meninggikan suaranya, Lamunan Nadha seketika Runyam dibuatnya, "apa!" Serunya sedikit nge gas, "maafin Dikta" suara lembut Sang Adik melewati telinganya dan membangkitkan rasa Iba di hatinya, Nadha tersenyum Lalu kembali mengusap kepala Dikta, "gak apa-apa itu hal yang wajar kok, lain kali sebelum tidur jangan lupa buang Air kecil dulu" nasihatnya dan langsung di balas Anggukan kepala dari Dikta.
"Kasian Mbak Nadha besok gak jalan-jalan padahal Libur" Ledek Andra, Nadha langsung menoleh dan menatap Sinis Andra, "gue doain besok lo ada kelas pagi" tangkisnya tak mau kalah, "aamiin!" Seru Zean penuh Harap, Andra langsung memasang wajah memalas, "jangan gitu dong" rengeknya, Nadha tak menghiraukannya, dia langsung berdiri dan menuntun Dikta masuk kembali ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Waktu
Teen Fiction"tidak ada perpisahan tanpa pertemuan Rey, begitupun dengan pertemuan dan perpisahan, keduanya saling berkaitan, jika kamu kehilangan seseorang, ikhlaskan, karena itu sudah menjadi kuadrat kehidupan, tidak apa-apa kamu menangis, menangislah seperlun...