BAGIAN 3

0 0 0
                                    

Happy reading

______________________________

"Tuhan tahu mana yang terbaik untuk hambanya"
______________________________

Setelah Mayra mengantar Eca diapun pulang ke rumahnya. Biasanya jika memiliki waktu kosong mereka sering singgah di cafe untuk saling berbagi cerita. Lebih tepatnya bergosip.

"May!" Baru saja Mayra membuka pintu rumah Alan sudah memanggilnya dengan suara lantang, tidak seperti biasanya. Mayra pun kaget melihat Papanya seperti itu.

Walaupun Mayra takut dia perlahan mendekat. Laki-laki parah baya itu berdiri dengan wajah yang terlihat marah.

"Jam segini baru pulang. Kamu pergi lagi? Sama laki-laki yang bikin kamu nangis itu." Ucap Alan penuh penekanan. Dia menatap anaknya yang diam menunduk.

"Maksud papa?" Mayra memberanikan diri menatap sang papa karena dia memang tidak tahu arah pembicaraan papanya.

"Kamu gak bisa bohong lagi May. Papa sudah tahu kalau selama ini kamu pacaran kan?"

"Kemarin papa lihat kamu di cafe sama laki-laki. Habis itu kamu nangis lalu pulang. Kalau papa tidak meeting ditempat itu, mungkin papa gak tahu semuanya." Mayra menelan salivanya susah payah. Sekarang dia mengerti kalau yang papanya maksud itu adalah Dika.

"Papa gak tahu lagi harus didik kamu kayak gimana May. Sangat banyak peraturan yang kamu langgar. Kamu itu seorang muslimah May, kamu harus menutup aurat, gak boleh lakuin ini itu semaumu."

"Kamu ini sudah dewasa May. Bukan lagi anak kecil yang harus dikasi tahu berulang kali." Keduanya terdiam sejenak lalu terdengar helaan napas Alan.

"Sekarang jalan satu-satunya hanya masukin kamu ke pesantren." Ucap Alan membuat wajah Mayra tegang. Mayra sangat menolak masuk mondok, dulu saja waktu awal masuk SMA dia sampai menangis-nangis sangking tidak maunya.

"Tapi kan pah-"

"Papa gak terima alasan kamu lagi."

"Tapi beberapa bulan lagi Mayra udah tamat SMA pah."

"Gak apa-apa, papa gak mau menyesal dikemudian hari karena tidak melakukan ini."

"Pah, Mayra gak mau pisah sama temen-temen Mayra. Mayra juga bakalan berubah kok pah, tapi Mayra perlu waktu." Mohon Mayra menatap sang Papa dengan penuh harap.

"Kamu itu selalu bilang begitu, tapi sama sekali gak ada usaha."

"Semakin kesini kamu itu semakin menjadi-jadi. Sering keluar malam, bergaul dengan laki-laki, pulang sekolah gak langsung ke rumah. Mau jadi apa kamu ini May?" Alan mengatur nafasnya yang memburu, sebenarnya dia juga tidak tega tapi ini semua kebaikan Mayra.

"Sudah. Besok sore sepulang kamu sekolah, kita berangkat ke pesantren yang mau kamu tempati." Ucapnya sebelum berlalu pergi.

"Papa gak sayang Mayra, ya?"

"Papa mau buang Mayra?" Tangis dan suara Mayra menggemah di ruangan itu. Mamanya yang sedang di dapur pun berlari kearahnya dengan wajah cemas.

"May? Tenang dulu nak." Delfia merangkul Mayra agar duduk kembali, mengelus bahunya, berusaha menenangkan anaknya.

Kekasih Impian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang