Sudahlah.

47 2 1
                                    

1 Januari, 2020. Hujan deras terjadi di seluruh negeri, diikuti oleh banjir yang menghambat semua aktivitas. Semua orang berlindung di rumah masing – masing, ada yang tak bisa pulang akibat badai yang menerpa. Ketika semua orang memiliki tempat untuk berteduh, aku tak memiliki tempat untuk kembali. Hujan masih menderu, dan diriku sudah kehilangan tempat untuk dirindu. Dengan tubuh yang tak kunjung hangat, Bumi terus menangis, seakan bersimpati denganku. Ketika diriku merenung, bahwa mungkin saatnya diriku kembali ke pelukan Bumi, aku menemukan diriku mengenang kenangan pahit. Bagaimana aku bisa sampai di tempat ini?

Setahun yang lalu, diriku hanyalah seorang siswi SMA biasa bernama Kuna. Umurku 15 tahun, lahir di tanggal 5 Mei 2005. Aku merupakan anak dari seorang pengusaha kaya. Tapi, aku tidak pernah mengenal kasih sayang dari siapapun, dan itu karena aku adalah seorang anak yang tak diinginkan. Kelahiranku terjadi tanpa disengaja, dan orangtuaku hanya memperbolehkanku hidup karena kewajiban hukum. Orangtuaku sudah seperti itu, orang disekitarku pun juga tidak mau berhubungan denganku. Rumor yang beredar bahwa aku adalah anak haram, pembullyan akibat iri, dan prasangka buruk dari orang lain dilakukan secara publik, dan tidak ada yang berpikir untuk membantuku, termasuk orangtuaku. Jelas, aku anak buangan. Aku tidak pernah komplain tentang semua hal ini. Toh, aku tidak pernah diperlakukan secara berbeda semenjak aku kecil. Namun, semua itu berubah ketika dia datang. "Dia", yang namanya menjadi tabu untuk aku ucapkan. Dia menolongku sekali, memujiku atas kecantikkanku, dan menjadi teman dekatku. Bodohnya aku, aku percaya akan semua hal itu. Bahwa dengan "dia", semuanya akan berubah.

Ketika seseorang memperlakukanmu dengan beda, secara spesial, serta membuatmu merasa kehangatan yang belum pernah kau rasakan dalam hidupmu, siapa yang tidak akan jatuh cinta? Namun, itulah awal dari kejatuhanku. Aku yang memulai semua ini. Aku yang mengajak dia untuk berpacaran, dan waktu itu hatiku begitu girang bahwa ia mau denganku, seorang anak buangan. Aku merasa bahagia, bahwa waktu itu ada orang yang dapat kuandalkan, ada satu orang yang akhirnya bisa menjadi tempat aku menyandarkan bahuku. Aku pun bisa merasakan kesenangan yang memancar dari "dia", tapi waktu itu aku belum menyadari bahwa rasa senang yang ia alami berbeda dengan milikku. Setiap bulan aku menerima uang jajan dalam jumlah besar dari ayahku, aku selalu gunakan untuk keluar bersamanya. Dana tidak menjadi masalah bagi kami, dan aku bahagia selama dia bahagia. Untuk beberapa bulan pertama, memang kami merupakan pasangan yang diidolakan satu sekolah.

Suatu hari, aku merasakan bahwa kondisi "dia" sedang tidak baik. Dengan harapan menjadi pacar yang baik, tentu saja aku menanyakan keadaannya. Namun, dia menghiraukan diriku. Pagi itu, perasaanku menjadi buruk akibat dirinya. Aku merasa bahwa dia sedikit berubah. Seharian, kami tidak berbicara sama sekali. Ketika aku mau kembali ke kediamanku, barulah ia mencegatku. Aku masih kesal dengan dirinya, namun "dia" membujukku dengan mudah. Ia "berjanji" bahwa itu tidak akan terulang lagi. Bodohnya aku. "Dia" memang meminta maaf, namun tidak seharusnya aku dibuai semudah itu. Aku pulang dengan hati yang gembira, dan kembali ke sekolah esok harinya dengan harapan untuk bertemu dan berbincang dengannya. Ketika kami bertemu kembali, aku dengan refleknya loncat dan memeluknya dengan erat. Namun, pelukanku tidak ia kembalikan. Malah, ia mendorong diriku dengan tujuan untuk melepaskan diri dari pelukanku. Aku memutuskan untuk tidak memikirkannya waktu itu, karena dia sudah berjanji kepadaku. Kami berbincang sebentar, dalam perjalanan menuju kelas. Topik perbincangan kami biasa saja, kondisi kami masing – masing, makan apa pagi ini, tentang PR yang ditugaskan, dan berbagai obrolan kecil lainnya. Tapi, hari ini ada yang beda. "Dia", mengejutkanku dengan meminta sejumlah uang. "Dia", yang selalu mandiri dengan pengeluarannya, secara tiba – tiba meminta uang dariku. Pasti karena ia berpikir bahwa aku dari keluarga kaya, aku dapat memberi uang secara cuma – cuma. Ia benar untuk berpikir begitu, karena saat itu aku memang bisa. Sebagai bentuk kasih sayangku, aku memberinya uang yang diinginkannya, dan mukanya bersinar terang. Akhirnya, aku berpikir saat itu, bahwa ia akan kembali seperti sebelumnya, dan untuk kesekian kalinya, aku terbukti salah. Ia makin sering meminta uang dariku, dan aku makin senang hati untuk memberinya uang. Dengan banyaknya uang jajan yang diberikan ayahku, aku merasa bahwa tidak apa – apa untuk memberinya kepada "dia" sedikit, apalagi hanya "dia" yang menyayangiku.

Selama berbulan – bulan, setiap akhir Minggu aku selalu memberinya uang, dan aku tidak memiliki kecurigaan apapun. Aku percaya 100% terhadap "dia". Sayangnya, kepercayaan itu ikut hancur ketika semua hal disekitarku hancur. Suatu hari, tak ada angin tak ada hujan, aku mendengar bahwa keluargaku bangkrut. Pengumuman itu bertepatan dengan hari aku lulus, dan aku mengetahui bahwa aku tidak akan lanjut sekolah lagi. Mendengar hal itu, aku sedih, karena aku tak dapat bertemu "dia" sehari – hari lagi. Karena waktu itu hari terakhir sekolah, aku memutuskan untuk memberitahunya ketika kami bertemu lagi di akhir Minggu. Di saat libur pun, dia masih meminta uang dariku. Namun, Minggu ini aku berencana untuk memberitahunya bahwa aku tak dapat memberinya uang lagi. Ketika aku pulang dari sekolah, aku menemui "keluargaku" di depan gerbang. Sebagai bentuk kesopanan, aku memutuskan untuk mendekati mereka dan menyapa mereka. Bukan hanya mereka tidak menjawab, mereka pun melarangku untuk mendekat. Di mataku, aku melihat barang – barangku sudah ditaruh dalam koper, dan dibawa keluar dari kediaman. Aku bertanya dan protes terhadap "orangtuaku", tetapi mereka tidak peduli dan pergi masuk, meninggalkan aku sendiri bersama barang – barangku. Aku telah diusir dari rumah. Akhirnya resmi aku jadi anak buangan. Kupikir waktu itu semuanya akan baik – baik saja karena ada "dia", namun ternyata itu pun hanya sebuah fiksi. Percakapan kita di hari itu masih kuingat dengan baik.

"Hey ------! Aku kangen banget tau sama kamu!"

Akhir Minggu. Walaupun aku telah hidup di berbagai tempat yang murah dengan menjual beberapa kepemilikanku, aku masih ingin tampil sebagai wanita yang berwibawa di hadapannya. Ketika diriku sungguh antusias bertemu dengan dia, dia malah menjawab dengan ketus.

"Hm, iya, iya. Oiya, gue boleh minta duit lagi ga, sebelum kita jalan – jalan hari ini?"

Anehnya, jawaban itu sudah menjadi normal bagiku. Aku tidak mengerti diriku di masa lampau.

"Umm, soal itu, aku udah ga bisa ngasih kamu uang lagi..."

Tak kusangka, jawaban lirih itu dapat membangkitkan amarah "dia" yang selama ini tertidur akibat asupan uangku.

"Hah? Maksud lo apa?"

"Ya, begitu. Gue dah gabisa kasih lo duit lagi," jawabku.

"Lah, kenapa?"

Nadanya mulai menyelekit, dia memegang pundakku dengan keras, dan aku akui aku sedikit takut saat itu.

"Keluargaku bangkrut dan aku diusir dari rumah. Tapi aku gapapa, selama ada kamu pasti aku bisa bangkit lagi!" Senyumku terbuka lebar, sedang dia mengerutkan dahinya.

"Bodoh, bodoh, BODOH KALIAN SEMUA!!!"

"Dia" teriak begitu keras, sampai seluruh mata tertuju padanya.

"-----, kamu, kenapa...?" Terkejut, suaraku tak keluar dengan benar.

"APA MAKSUDMU KENAPA? KALIAN SEMUA BODOH! KITA PUTUS SEKARANG JUGA!"

Takut, bingung, dan sedih bercampur aduk seketika, sampai aku tidak tahu reaksi apa yang harus kukeluarkan. Aku mencoba menangkap tangannya, namun ia mendorong diriku sampai terjatuh dan berjalan pergi meninggalkanku. Tanpa tahu apa yang harus kupikirkan, air mata hanya mengucur di wajahku. Orang – orang berlalu-lalang dihadapanku yang masih bertelut, hanya menatap tanpa sedikit pun rasa simpati. Aku berada di posisi itu selama 2 jam, sampai sekuriti setempat mengusirku. Seperti itulah, ceritaku yang kehilangan segalanya di hari yang sama.

Di bawah hujan deras di awal tahun, aku melihat ke awan hujan yang tak kunjung reda, dan memutuskan untuk kembali menangisi keputusan yang kuambil sewaktu aku masih lugu. Aku masih belum mengampuni siapa pun sejak hari itu, termasuk diriku sendiri. Mungkin memang takdirku adalah untuk masuk ke neraka. Kalau kata orang ada 5 tahap dukacita, maka sepertinya saat ini aku sudah di tahap terakhir, yaitu Penerimaan. Aku sudah tidak peduli lagi. Jika ada kehidupan selanjutnya, akan kupastikan kesalahan yang sama tidak akan terjadi. Kalau tidak, baiklah aku tidur saja selamanya. Selamat tinggal, dunia yang kejam. 

Piak AntuWhere stories live. Discover now