BAB 27

26 6 23
                                    

Nadin sibuk memeriksa kelengkapan berkas yang hendak dibawa Deryl. Perempuan itu tidak suka ada kesalahan, meski bukan hal fatal. Baginya bisnis ini adalah nyawa. Pembuktian untuk kedua orang tuanya bahwa ia sudah siap memegang kuasa sendiri. Tentu menggunakan caranya sendiri. Dengan membagi tugas bersama Deryl, ia merasa lebih dari mampu bertahan untuk pabriknya sampai sepuluh tahun ke depan bahkan lebih.

Jemari dengan cat kuku berwarna biru terang itu membolak-balikan lembaran kertas berisi tulisan rumit di hadapannya.

“Kamu meragukan ketelitianku, Nad?” tanya Deryl dengan nada tersinggung. Masalahnya sudah dua kali perempuan itu memeriksanya.

Nope. Sama sekali nggak ragu. Tapi aku juga harus andil, apa pun yang bersangkutan dengan usaha kita. Karena kamu udah nyiapin semua, jadi tugasku ya memeriksanya.”

“Udah sini, aku mau berangkat sekarang.” Beberapa kali Deryl melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan. Seperti buru- ingin menyelesaikan tugasnya.

“Waktu adalah uang. Ok sana pergi. Nanti makan siang di kantin pabrik ya.”

“No, no.” Jari telunjuk Deryl terayun tidak jauh dari hidung Nadin. “Aku ada janji. Kamu nggak tahu gimana gugupnya aku sekarang. Mana gara-gara kamu jadi nggak sempat pamit sama Dera. Gara-gara kamu juga aku jadi sibuk banget padahal lagi cuti. Pokoknya kamu harus tanggung jawab kalau Dera nggak maafin aku.” Deryl mengucapkan seluruh kalimatnya dalam satu tarikan napas.

“Padahal Cuma pura-pura pacaran. Serius banget, Ryl?” Nadin tertawa. Tahu betul sahabatnya itu cinta setengah mati pada Dera. Pertemanan yang terjalin dari masa kuliah itu bertahan sampai sekarang juga karena loyalitas laki-laki itu padanya. Deryl memang tipe setia yang tidak main-main. Tapi yang Nadin sedikit tidak suka dari Deryl adalah pribadi yang seolah kuat padahal rapuh pada kenyataannya. Demi orang lain, ia mampu mempertaruhkan nyawa sekali pun.

Andai laki-laki itu mau sedikit saja terbuka, maka hubungannya dengan Dera pasti berjalan baik. Nadin juga tahu bagaimana Dera, ia bukan perempuan yang egois. Jadi keduanya hanya saling membohongi diri sendiri.

“Udah sana pergi. Salam buat Dera, ya.” Ucap Nadin sedikit berteriak karena Deryl sudah keluar ruangan dengan cepat. Nadin menggelengkan kepala sembari tersenyum.

Urung kembali fokus pada pekerjaan, ponsel Nadin berbunyi. Atensinya beralih, melihat layar ponsel tanpa berniat mengangkat benda itu. Ibu Negara, nama yang terpampang pada layar panggilan. Nadin masih enggan berbicara pada ibunya lagi. Ia pusing tiap kali wanita itu memintanya membawa Deryl pulang. Ibunya menyukai Deryl hingga ingin menjadikan laki-laki itu menantu. Meski Nadin sudah menjelaskan bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi, wanita itu tidak peduli.

***

Deryl mempercepat langkah menuju parkiran setelah bertemu dengan investor. Setelah mendaftarkan produknya ke BPOM, semakin banyak calon investor yang tertarik untuk menanam investasi di start up miliknya.

Deryl benar-benar rindu pada Dera, hingga tidak sabar bertemu lagi dengan perempuan itu. Urung sampai di barisan mobil yang terparkir rapi, sebuah motor dengan laju kencang hampir menabraknya. Setelah terserempet, Deryl terguling dua kali di tanah. Ia meringis, merasakan ada yang tidak beres pada pergelangan kaki kirinya.

“Bapak baik-baik saja? Maafkan saya, Pak. Saya sungguh tidak sengaja.” Seorang laki-laki dengan seragam sebuah restoran cepat saji, masih mengenakan helmnya berusaha membatu membangunkan Deryl. Tidak habis pikir, bagaimana orang itu melajukan motor dengan kencang padahal ini area parkir.

“Kaki saya keseleo sepertinya.” Mata Deryl menatap nanar ke arah pergelangan kaki kirinya. “Tapi, nggak apa. Bisa tolong bantu saya berdiri?”

Wajah laki-laki berseragam itu diliputi rasa bersalah. Benar-benar menyesal. Membantu Deryl berdiri dengan susah payah. Memapahnya kembali masuk ke dalam restoran.

“Lain kali hati-hati ya, Mas. Bahaya banget ngebut kayak tadi di area parkir pula. Kalau ada anak kecil yang lewat, gimana?” tegur Deryl setelah berhasil duduk pada salah satu bangku resto.

“Lho, Pak Deryl kenapa?” tanya seorang pria bertubuh subur dengan setelan jas hitam rapi. Sebuah jam tangan berwarna emas melingkar pada pergelangan tangan kanan. Menghampiri Deryl yang terlihat tidak baik-baik saja.

“Saya keserempet Mas ini tadi di parkiran. Tapi tidak apa-apa Pak Rendra. Cuma sedikit keseleo.”

“Mas hati-hati dong. Masa di parkiran bisa sampai nyerempet orang? Kalau lelah, istirahat dulu. Kejar target nggak masalah. Tapi jangan sampai membahayakan orang lain seperti ini.” Panjang lebar Rendra pada laki-laki yang hampir menabrak Deryl itu.

“Masnya sudah minta maaf, Pak. Saya tidak apa-apa. Sungguh.” Deryl menahan nyeri yang semakin terasa. Dengan sedikit meringis, ia meminta Rendra untuk membiarkan laki-laki berseragam itu pergi.

Pikirannya melayang, bagaimana bisa mengendarai mobil dengan kakinya yang seperti sekarang. Dera pasti kecewa lagi.

Rendra adalah investor yang baru saja ditemui oleh Deryl beberapa saat lalu. Pria itu meminta supirnya mengantar Deryl ke rumah sakit. Meski beberapa kali Deryl menolaknya, Rendra tahu laki-laki itu tidak baik-baik saja.

“Pak Deryl nggak usah sungkan. Kita sekarang ini kan sudah menjadi rekan bisnis. Biar supir saya antar ke rumah sakit atau klinik terdekat.” Deryl pasrah. Merasa ada yang salah pada kakinya. Berharap hanya keseleo sedikit saja.

***

“Gibran mana? Kok kamu sendirian?” tanya Mama setelah Dera masuk rumah seorang diri. Dengan wajah ditekuk total, ia mengangkat kedua bahu.

Setelah menunggu sampai waktu makan siang habis, Deryl tidak juga datang ke tempat yang mereka sepakati untuk bertemu. Membuat Dera kesal setengah mati. Laki-laki yang tidak pernah terlambat itu sudah pasti tidak datang. Tidak hanya sampai di situ, ponsel Deryl yanh tiba-tiba tidak aktif membuatnya uring-uringan. Padahal masih bisa membalas chat beberapa waktu menit sebelumnya.

“Dera mau mandi dulu, Ma. Mama nggak perlu khawatir, aku akan makan semua yang Mama udah masak.” Tidak menunggu tanggapan dari Mama, Dera melangkah ke dalam kamar. Dengan cepat keluar lagi dengan menyampirkan handuk di bahu. Mama menggeleng heran melihatnya.

Datang bulannya belum selesai juga?

Mama kembali duduk di sofa ruang televisi. Hari ini memang sengaja masak lebih banyak, karena mendengar pacar Dera mau mampir. Padahal wanita itu juga rindu pada calon menantunya itu, tapi kalau tidak jadi radang, apa boleh buat. Sesederhana itu memang pemikiran Mama. Di usianya yang tak lagi muda, Mama menghindari berlebihan memikirkan sesuatu. Menurutnya, itu tidak bagus untuk kesehatan.

Setelah keluar dari kamar mandi, Dera ganti baju lalu menggandeng Mama menuju meja makan. Benda persegi itu penuh dengan hidangan menggugah selera. Tidak menunggu lama, Dera duduk lalu menyendok nasi ke dalam piringnya. Mengambil beberapa lauk sekaligus. Hingga piringnya hampir tidak muat.

Mama menahan tawa melihat tingkah putrinya. Pemandangan yang tidak asing, setiap kali bad mood, Dera melampiaskannya dengan makan banyak, dan rakus.

“Kalian berantem? Pelan-pelan makannya. Awas keselek.” Mama khawatir saat Dera memasukkan suapan super besar ke dalam mulut kecilnya.

Alih-alih menjawab, Dera hanya terus fokus pada piringnya yang penuh. Hatinya kesal setengah mati. Apa nggak bisa dihubungi itu hobi barunya? Nyebelin banget. Aku makan kamu sekarang, rasain nih. Dera menggigit paha ayam goreng dengan brutal.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Falling for You, Again (Tamat Di KaryaKarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang