BAB 35

26 2 1
                                    

Dera masih belum bisa menepis kesal pada suami Dini. Ia menceritakan pada Dini berulang kali tentang keinginannya mengajar laki-laki itu. Dini tertawa mendengarnya. Sedikit kasihan juga, tapi sakit di hati masih belum mengering. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan kedua putranya pada suami dan ibu mertua. Tapi, setelah mendengar nasihat Mama Dera, ia berusaha meyakinkan diri untuk sedikit memberi pelajaran dua orang itu.

Dini sudah mandi, kini ia mengenakan kaos Dera yang paling besar, tapi terlihat pas di badannya. Dera memang perawakannya kecil, sedangkan ia lebih tinggi dari pemilik kamar kuning itu. Mereka mengobrol banyak, Dini berbagi tentang kehidupan rumah tangganya dengan jujur. Dera mendengarkan dengan saksama. Sebagai pelajaran, bahwa menikah bukan tentang kamu dan pasanganmu saja. Namun, ada dua keluarga dengan kebiasaan dan tabiat yanh mungkin sangat berbeda. Menjadikan keduanya bersatu belum tentu dapat dilakukan.

Belum lagi tentang perbedaan pendapat, atau bahkan sifat pasangan yang ternyata berubah setelah pernikahan. Benar sekali sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa menikah itu ketika sudah siap, bukan karena iri melihat teman sebaya telah menikah semua. Juga menikah bukan halnya lomba lari. Bukan soal menikah cepat, tapi juga harus menikah tepat.

Muncul perasaan takut dalam diri Dera. Takut menikah, ya tentu saja ada perasaan seperti itu setelah mendengar cerita Dini. Meski kenal betul dengan orang yang akan menikahinya, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa keadaan setelah menikah justru mengubah sifat pasangan. Ah Dera sadar. Belum ada rencana juga, jadi untuk apa memikirkan hal itu sekarang?

“Tadi bukannya Deryl yang anter kamu, Der?” tanya Dini setelah puas menumpahkan keluh kesah yang selama ini ia pendam seorang diri. Dera mengangguk. Percuma mengelak, Dini tahu dan kenal siapa Deryl.

“Kalian?” Pertanyaan Dini belum selesai. Dera dengan cepat mengangguk. Agar obrolan mereka cepat selesai, khawatir Mama mendengar. Dini tersenyum lembut. “Ke mana dia selama bertahun-tahun? Kok baru kelihatan lagi?”

***

Dera kesiangan. Dengan terburu, ia menyisir asal rambut tanpa catok. Menghiraukan Mama yang berkali-kali mengingatkan untuk sarapan dulu. Setelah yakin dengan penampilannya, segera meraih tangan kanan Mama lalu pamit. Mama hanya menggeleng, sangat maklum. Menebak bahwa Dera begadang ngobrol dengan sepupunya, hingga bangun kesiangan. Baru akan melangkah, terdengar suara klakson motor dari depan rumah. Gegas ia melihat siapa gerangan yang membunyikan klakson itu.

“Kamu?” Dera terkejut melihat Deryl sudah stand by di atas motor gede. Mama keluar dengan senyum mencurigakan.

“Kalau naik motor, nggak harus buru-buru kan?” seloroh Mama bangga melihat Deryl yang terlihat sangat gagah dan berkali lipat lebih tampan dari biasanya. Dera bingung, melihat ke arah Deryl, lalu melihat Mama dengan kepala penuh tanda tanya. “Udah sana berangkat. Kasian Gibran nunggu dari tadi.”

Tanpa bertanya lagi, Dera gegas melangkah ke arah Deryl, menerima helm yang diulurkan padanya, kemudian memakainya asal. Deryl menggeleng pelan melihatnya. Turun dari motor, melepas helm dari kepala Dera, memasangnya kembali dengan benar, lalu ia sendiri mengenakan helmnya. Lalu kembali naik ke atas motor, memegang kendali dengan sangat tampan, Dera hampir mimisan mendapat perlakuan seperti barusan. Terpaku sejenak sebelum akhirnya naik di belakang Deryl.

“Pegangan dong, By.” Spontan tangan Dera melingkar, memeluk pinggang Deryl. Di balik helm, sang empunya pinggang tersenyum. Tidak dapat menyembunyikan perasaan gemasnya. Membunyikan klakson, dibalas lambaian tangan oleh Mama, lantas motor pun melaju meninggalkan komplek rumah Dera.

Di jalanan macet, mereka meliuk lincah di antara antrean mobil yang berlomba menyalakan Klakson. Dera mempererat pelukannya pada perut Deryl. Sedikit takut karena lama sekali tidak naik motor lagi sejak terakhir Papa yang memboncengnya dulu.

Benar saja, mereka sampai di pelataran gedung tanpa terlambat. Dera melepas pelukannya, turun dari motor dengan sedikit effort lebih karena bodi motor yang tinggi an besar. Setelah berhasil turun, ia berusaha melepas helm yang dipakainya. Urung berhasil, tangan besar Deryl mengambil alih. Hingga tangan dera mengambang di udara, menyerahkan kendali pada Deryl untuk membantu melepaskan helmnya.

Deryl tersenyum di balik helm, tidak terlihat. Karena helm yang dipakainya menutup sampai bagian mulut, hanya menampakkan mata dan sedikit bagian atas hidung mancungnya. Setelah melepas helm Dera, tangannya mengelus pelan puncak kepala perempuan itu, lalu memberinya kode agar lekas masuk ke dalam gedung.

“Thanks, ya. Nanti makan siang aku traktir.” Tanpa menunggu respon Deryl, Dera berjalan cepat masuk gedung. Sedangkan Deryl menyimpan helm di bagian jok belakang motor dengan jaring. Lalu melajukan motornya kembali membelah macet Ibu Kota.

***

Deryl menimang kotak beludru berwarna biru tua di tangannya. Senyum tak lepas dari wajahnya sejak beberapa waktu lalu. Nadin jengah melihatnya. Memberi kode untuk kembali fokus pada pekerjaannya dengan berdehem keras. Namun, Deryl sama sekali tidak menanggapinya. Nadin yang geram akhirnya berdiri. Menghampiri meja Deryl, lalu duduk di atas meja dengan menyilangkan kaki.

“Ini meja, Nad. Bukan tempat duduk,” tegurnya pada sahabatnya itu.

“Ini tempat untuk bekerja, bukan ngelamun sambil berkhayal ngelamar anak orang,” balas Nadin tidak mau kalah. Deryl terkekeh mendengar omelan Nadin. Menyimpan kotak beludru ke dalam kantong dalam jas. Lalu menumpukan kedua sikunya di atas meja.

“Makanya, punya pacar. Biar tahu rasanya kasmaran.”

Nadin mendelik. Deryl berdiri menjauh, menghindari serangan tiba-tiba dari perempuan itu. Nadin kesal, Mamanya yang setiap hari mendesaknya dengan pertanyaan kapan membawa laki-laki ke rumah sudah membuatnya pening akhir-akhir ini.

“Kamu ada temen yang bisa aku jadiin pacar pura-pura nggak, Ryl? Nyokap udah mulai nyebelin akhir-akhir ini. Aku bilang kalau kamu udah punya pacar. Malah sekarang terus nanyain kapan aku bawa pacar pulang.” Nadin turun dari meja, lalu duduk di kursi Deryl. Menyandarkan kepala yang benar-benar pening. Matanya terpejam dengan kedua alis bertaut.

“Udah pada punya istri semua temen yang masih berkabar sama aku, Nad. Coba aplikasi dating aja,” usul Deryl tanpa berpikir. Lantas melihat Nadin bergegas kembali ke mejanya sendiri, mengambil ponsel dan munggulirnya dengan cepat. “Eh, aku nggak serius, Nad. Kamu nggak beneran mau pakai aplikasi dating, kan?”

“Udah terinstal. Thanks idenya, Ryl.” Deryl melongo melihat layar ponsel Nadin yang diarahkan padanya.

“Please, Nad. Aplikasi kayak gitu banyak nggak baiknya. Kamu nggak mungkin percaya sama profil yang mereka masukin di sana, kan?”

“Nggak salah kan kalau aku coba?” Nadin mulai mengunggah foto terbaiknya pada aplikasi yang baru saja ia download itu. Sedangkan Deryl menggeleng tidak habis pikir. Nadin bukan perempuan yang percaya dengan aplikasi semacam itu. Tapi semua orang akan melakukan hal tak terduga saat berada di posisi terpojok, bukan?

Nadin mulai sibuk dengan gawainya. Sedangkan Deryl memilih keluar dari ruangan. Mengingat tadi pagi Dera bilang mau mentraktirnya makan siang, ia segera menuju mobilnya di parkiran. Motor yang ia gunakan untuk mengantar Dera tadi pagi bukan miliknya. Ia meminjam motor Doni, bawahannya. Itu pun dengan sedikit memaksa karena Doni tidak yakin bosnya bisa mengendarai motor.

“Kasih kapan ya?” monolog Deryl setelah duduk di bangku kemudi. Tangannya meraba kantong kemeja dengan perasaan menggebu yang sulit dijelaskan. Tanpa tahu kalau Dera kini takut dan ragu dengan sebuah komitmen serius bernama pernikahan itu.

***
Selamat hari Minggu.
Mau baca tanpa terganggu iklan? Cerita ini udah tamat loh di karyakarsa. Dijamin bacanya lebih nyaman. Cuss aku tunggu di sana ya 😉

Falling for You, Again (Tamat Di KaryaKarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang