Bab 4

169 17 5
                                    

Biasanya, Shanum akan membela diri jika merasa memang tidak bersalah. Meski akan berakhir percuma, Shanum akan tetap mencoba menjelaskan duduk masalah sebenarnya pada Reksa.

Tetapi kali ini berbeda. Mendengar tuduhan Reksa yang seenaknya. Shanum memilih diam dan memalingkan wajah ke arah lain. Seolah memang sudah tak sudi melihat wajah suaminya lagi.

"Sikap macam apa ini, Shanum? Jawab aku!" Reksa pun semakin marah, lalu mencengkram dagu Shanum lumayan keras, dan memutarnya agar menatap Reksa.

Sakit sebenarnya. Namun, Shanum tetap memilih diam. Hanya membalas  tatapan tajam Reksa dengan dingin. Memang ada bedanya jika Shanum jelaskan?

"Shanum? Jangan diam saja. Katakan sesuatu. Kenapa kamu suka sekali mengadu?" cecar Reksa lagi. Seraya menguatkan cengkramannya pada dagu Shanum.

Shanum pun menghela tangan itu kasar hingga terlempar lumayan kuat. Namun, tetap mempertahankan tatapan dinginnya pada Reksa.

"Kalau aku bilang, aku tidak melakukannya, kamu percaya?"

"Tidak!" jawab Reksa cepat. Lebih cepat dari yang Shanum pikirkan.

"Ya sudah kalau begitu. Untuk apa bertanya lagi. Bukankah hanya buang-buang napasku saja," tukas Shanum datar.

"Shanum, kamu--"

Ddrrrtt .... dddrrtt ... dddrrrtt ...

Hardikan Reksa pun seketika menggantung di udara, saat tiba-tiba getar panjang terasa dari balik saku celananya. Tanda bahwa ada yang sedang menghubunginya.

Reksa pun segera meraih gawai pintarnya. Lalu terdiam saat melihat nama si pemanggil yang tertera di layar depan. Pria itu kemudian bergegas pergi dari ruang rawat Shanum.

Kiranya, yang menelepon Reksa adalah Ayu, seperti biasanya. Tetapi sepertinya kali ini bukan. Karena dari tempatnya, samar Shanum mendengar pria itu menyebut-nyebut nama bunda.

Mungkinkah yang sedang menelepon Reska adalah Bunda Karina? Bundanya yang lama tak jumpa dan sangat dia rindukan.

Tak lama, Reksa kembali lagi. Sambil menutup bagian bawah ponselnya dengan wajah yang nampak resah. Pria itu lalu berdesis di hadapan Shanum.

"Bunda Karin mau bicara denganmu. Awas saja kalau kamu berani mengadu!" Pria itu mencoba mengancam Shanum.

Setelah itu, Reksa menyerahkan ponselnya pada Shanum. Namun, tak berniat meninggalkan wanita itu sedikit pun. Pria itu bahkan sengaja membuat mode speaker pada panggilan tersebut, dan terus menatap Shanum tajam, seakan ingin memastikan jika Shanum melaksanakan titahnya.

Shanum membalas tatapan itu tak gentar. Lalu mulai mengubah nada suara seperti biasanya untuk menjawab telepon bundanya.

"Asalamualaikum, Bunda."

"Waalaikumsalam, Shanum. Alhamdulilah ya Allah, akhirnya bunda bisa juga denger suara kamu," jawab Bunda Karin antusias. "Ya ampun Shanum. Kamu kemana aja, sih? Dari kemarin loh Bunda teleponin. Tapi nggak pernah diangkat. Buat Bunda jadi khawatir saja," lanjut Bunda. Diam-diam membuat Shanum ingin menangis di tempatnya.

Padahal Shanum hanyalah anak angkat. Tetapi sikap Bundanya selalu sangat perhatian padanya. Tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang dan selalu memberikan cinta yang setara dengan anak kandungnya.

Tak perduli apa kata orang tentang Shanum. Bunda tidak pernah berubah dalam menyayangi Shanum. Meski tidak terlahir dari rahim yang sama. Shanum selalu mendapatkan apa pun yang kedua adiknya juga dapatkan. Kecuali nama belakang keluarga Setiawan.

Tetapi, Shanum tidak pernah perduli akan hal itu. Dia sadar diri dan tidak pernah berharap lebih. Toh, baginya, itu hanya sekedar deretan huruf saja, tidak ada yang spesial. Penting buat Shanum adalah, ada atau tidak nama itu di belakang namanya, dia tidak pernah kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk mertuanya. Terutama Mama Rima. Baginya, karena Shanum hanya anak angkat di keluarga Setiawan. Shanum laksana air yang sudah dibuang setelah keluar dari sana. Tidak akan mendapatkan apa-apa.

"Maaf, maaf, Bunda. Shanum tidak bermaksud buat Bunda Khawatir. Tapi .... " Shanum melirik Reksa lagi. "Shanum memang sedang sibuk sekali saat ini. Ada banyak naskah yang harus Shanum sortir di penerbitan."

Mimik wajah Reksa yang tadinya keruh perlahan memudar mendengar alasan Shanum. Syukurlah istrinya masih bisa dia kendalikan.

"Beneran kamu, Shanum?" Namun, entah memang feelling seorang ibu atau bagaimana, Bunda Karin ternyata tak begitu saja percaya.

"Kok Bunda nanyanya begitu? Tumben gak percaya sama Shanum?" tanya balik Shanum.

"Bukan begitu Shanum. Tapi ...." Bunda terdengar ragu melanjutkan kalimatnya.

"Nina, sudahlah." Tiba-tiba suara Daddy Arjuna ikut terdengar. "Kamu kan sudah dengar suara Shanum, dan dia juga sudah bilang tidak apa-apa. Jadi, berhenti khawatir," tegur Daddy-nya lagi.

"Tapi, Jun--"

"Sini, biar aku yang bicara dengan Shanum." Daddy sepertinya mengambil alih ponsel tersebut dari Bunda Karin. "Hallo, Princess? Do you miss me?"

Ya, Tuhan. Shanum benar-benar merindukan kedua orang tuanya. Khususnya Daddy Arjuna, yang selalu menjadi tempat bermanjanya selama ini.

"Of course, Dad. I miss u so much." Shanum berusaha sekuat tenaga mempertahankan suaranya seriang mungkin. Menyembunyikan hasrat hatinya yang sangat ingin meronta, mengadukan semua laranya pada orang terkasih.

"Aku senang sekali mendengar suaramu, Shanum. Kamu baik-baik saja kan di sana? Reska memperlakukan kamu dengan baik, kan?"

Ekhem! Tiba-tiba Reska meminta atensi. Seakan sengaja mengingatkan ancaman yang tadi sempat dia ucapkan.

"Baik, kok, Dad. Tidak usah khawatir," jawab Shanum dengan berat hati. "Ah, iya. Bunda bagaimana? Beliau tidak apa-apa, kan?" Shanum sengaja mengalihkan obrolan segera.

"Baik, tentu saja baik. Dia hanya ... sedang merindukanmu saja. Jadinya sering bermimpi buruk dan mulai berpikir yang tidak-tidak."

Tuhan, seandainya Shanum boleh jujur.

"Tapi kamu tidak usah khawatir, Shanum. Dia kan memang selalu seperti itu kalau lama tak jumpa anak-anaknya." Daddy bersuara lagi. Berusaha menenangkan Shanum. "Jangankan kamu di luar kota. Kairo dan Ken saja, yang satu kota. Jika dua atau tiga hari tidak mampir, dia akan uring-uringan. Begitulah bunda, iya kan?"

"Ya, Daddy benar. Begitulah bunda." Shanum memaksakan tawa kecil demi menyempurnakan ektingnya. Padahal aslinya, matanya sudah memanas. Siap menangis kapan saja.

"Tolong sampaikan pada Bunda, tidak usah khawatir lagi sama Shanum. Aku di sini baik-baik saja, kok (Setidaknya untuk saat ini). Nanti kalau ada waktu, Shanum akan main ke rumah nemuin Bunda.

"Nah, kau dengar sendiri kan, Nina?" Daddy berucap pada Bunda.

"Bener ya, Shanum? Janji!" Bunda berseru di samping Daddy.

"Iyaaa!" Shanum sengaja ikut berseru.  Meski sebenarnya, dia tidak tahu bisa menepati janjinya itu atau tidak.

Setelahnya, panggilan telepon tersebut di matikan. Reksa segera merebut ponselnya dari Shanum, dan memasukannya kembali pada saku celana. Pria itu lalu tersenyum miring pada Shanum. Menyentuh dagu istrinya dengan jari telunjuk, kemudian mengangkatnya perlahan hingga wajah mereka sejajar.

"Sungguh pintar sekali berpura-pura," desisnya dengan nada yang menyebalkan.

Dasar tidak tahu terima kasih!

Shanum (Aku Yang Kalian Sebut Menantu Tak Berguna) (On Going Di Kbm Dan GN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang