01.00
Seseorang pernah mengatakan, menjadi nomor dua adalah hal yang memuakkan. Menjadi nomor dua adalah sesuatu yang tidak pernah diinginkan. Menjadi nomor dua, sama saja menjadi nomor terakhir. Dan menjadi nomor dua, akan selalu dinomorduakan.
Lalu, bagaimana cara nomor dua bertahan di rumahnya, di sekolahnya dan di kehidupannya? Yang pasti mereka bertahan bukan karena ingin.
"Berapa kali mama bilang! Tugas kamu jaga kakak! Jangan buat mama menyesal melahirkan kamu, mengandung kamu 9 bulan!"
Tapi mereka bertahan karena dipaksa keadaan.
Wanita paruh baya yang mengenakan baju dinas itu runtuh sambil memegangi kedua bahu putra bungsunya. Dia menangis terisak, "Mama cuma minta kamu jaga kakak selama mama kerja.. kenapa kamu selalu tidak bisa diandalkan.." wanita itu makin terisak, menyadari betapa bodohnya dia selalu menitipkan putra sulungnya pada putra bungsunya meskipun berkali-kali putra bungsunya lalai dari tugasnya.
"Kamu mau kakak mati? Mau?!"
Pertanyaan itu, berhasil membuat putra kedua menggeleng keras. "Maaf, ma.."
"Kamu selalu bilang begitu! Maaf, maaf, maaf! Tapi tidak pernah belajar dari kesalahan!" bentak mamanya memukul putranya yang berumur 15 tahun, mengeluarkan emosinya mentah-mentah. "Kamu bersikap seperti mengabaikan kakak kamu! Kamu membantah mama?!"
Kedua tangan putra keduanya bergetar. Bibirnya dia gigit sampai membekas. Rasa takutnya jauh membuatnya sakit. Dia bahkan tidak berani menyuarakan deru nafasnya. Juga tidak berani memperlihatkan darah yang mengalir di telapak tangan kanannya— karena itu dia menyembunyikannya baik-baik.
"Jawab mama Yujin! Kamu membantah mama?! Ingin kakak mati karena ketidakbecusan kamu?!"
Sekali itu, terlintas ingin mengangguk. Namun sesuatu menahan dirinya, hingga dia hanya menggeleng pelan. "Ngga ma.. Yujin ngga membantah mama.. dan—" jeda, dia berusaha untuk mengeluarkan kata-kata yang berbalik dari pikirannya, "Ngga mau kakak mati.."
Kepalan tangan wanita itu menguat, seiring emosinya yang mulai membaik. "Kalau kamu memang tidak mau kakak mati, jaga kakak walaupun nyawa kamu gantinya." tekan wanita itu terlampau emosi.
Untuk satu kalimat yang terlalu sering dia dengar, Yujin hampir tidak merasakan emosi apa-apa ketika mendengar kalimat itu keluar dari wanita yang melahirkannya. Untuk satu hal yang terlalu sering dia rasakan, hatinya tidak berdetak sakit mendengarnya. Karena itu, Yujin mengangguk untuk yang kesekian kalinya— mematuhi kata-kata mamanya.
"Yujin ngerti.." dia menelan salivanya, "Maaf karena bukan Yujin yang terluka.."
Wanita itu mendengus kasar, tidak memperdulikan. Dia berjalan membuka pintu, keluar dari gudang kemudian menutup pintu kencang-kencang membuat Yujin sedikit berjengit kaget. Kedua mata anak kedua itu terpejam rapat, mencoba bertahan dari Isaknya.
Dia berhasil.
Berhasil menjaga air matanya tidak jatuh untuk yang kesekian kalinya.
***
Gyuvin membuka matanya. Menoleh ke samping melihat mamanya tertidur dengan posisi duduk sambil menggenggam tangannya. Lalu laki-laki itu menghela nafasnya sekali dan mencoba mengingat apa yang terjadi tadi sore.
"Yujin, biar Hyung saja yang memotong dagingnya." tawar Gyuvin melihat Yujin kesusahan memotong daging yang sudah membeku.
Yujin menggeleng, mengingat mama menyuruhnya agar kakaknya tidak memegang benda-benda tajam. "Tidak perlu, Hyung. Biar—"
KAMU SEDANG MEMBACA
O'CLOCK | KIM GYUVIN & HAN YUJIN
FanficKalau bisa mengubah takdir, Yujin ingin jadi anak tunggal atau sulung. Kalau bisa memilih, Yujin tidak ingin punya kakak. Dan kalau Yujin bisa memilih hidup atau mati, Yujin lebih memilih tidak pernah dilahirkan. CERITA INI UNTUK MENDUKUNG KIM GYUV...