pain
Panik, mama meminta tolong satpam untuk mengangkut Gyuvin ke dalam rumah. Begitu berdiri, kakinya melangkah mengikuti satpam yang membawa putranya dengan degup jantung yang berdetak cepat- seolah dia akan kehilangan sesuatu.
Pintu ditutup, dan satu langkah saat ingin menghampiri Gyuvin yang sudah dibaringkan di sofa, mama berdiam sebentar sebelum akhirnya kembali membuka pintu dan berlari kencang di bawah deras hujan untuk menarik tangan si bungsu masuk ke dalam.
****
"Hachi!"
Mama kembali membantu si sulung untuk membersihkan cipratan bersinnya tanpa rasa jijik. Justru raut wajah mama terlihat khawatir, punggung tangannya kembali mengecek di dahi sebelum akhirnya menghela napas.
Walaupun sangat berat membuka mata, Gyuvin tetap bisa samar-samar melihat raut mama. "Maaf Gyuvin buat mama khawatir dan susah...." lirih laki-laki itu meneteskan air matanya. Mungkin karena sakit dan suhu tubuhnya panas, dia jadi emosional.
Mama menggeleng pelan, mengusap poni rambut sulung. "Mama yang minta maaf karena telat bangun buat jemput adek. Tapi kak, lain kali bangunin mama saja ya? Biar mama jemput adek pake mobil, jadi kakak ngga perlu naik motor." terang mama pelan-pelan.
Si sulung mengangguk mengerti. Mama akhirnya mengulas senyum kecil, meraih bubur di nakas. "Makan dulu, kak."
"Adek... udah makan ma?" tanya Gyuvin, bersandar.
Mama tersenyum, "Sudah, kok."
Gyuvin akhirnya membuka mulutnya dan suapan mama masuk. Hanya 12 menit saja, Mama sudah selesai menyuapi putra sulungnya. "Kakak istirahat aja, tapi minum obat dulu nanti. Bisa, kan?"
"Bisa, ma."
Sebelum meninggalkan Gyuvin untuk istirahat, mama mengusap rambut kakak sebelum akhirnya keluar dari kamar sambil menutup pintunya. Mama menaruh piring di dapur, mencucinya dengan pikiran kosong.
Setelah selesai, mama sedikit melirik kamar si bungsu. Dengan hati berat, mama berjalan kesana dan membuka pintunya perlahan. Dia bisa melihat si bungsu masih dalam keadaan terkulai di kasur- belum sadarkan diri sejak semalam.
Genggaman tangannya mengerat, dan lagi dengan berat hati kakinya melangkah masuk ke dalam. Suara tapakan kaki terakhirnya di dekat ranjang, membangunkan si bungsu. Matanya bergerak gelisah, sebelum akhirnya membuka matanya dan melihat mama- bukan dengan pandangan yang dia lihat semalam. Bukan pandangan khawatir.
"Ma...."
Mama memalingkan wajah, hendak pergi namun tangan Yujin lebih dulu menahan satu tangan mama. Genggamannya begitu hangat, dan berkeringat. "Maafin, Yujin, ma... Yujin nggak akan lagi bahas soal itu...." mohonnya dengan mata berlinang.
Mama tetap tidak mau membalikkan wajahnya, justru menghentak sekali tangan Yujin yang menggenggamnya hingga terlepas.
"Yujin janji nggak akan lagi dekat sama orang itu sesuai yang mama mau." lirih Yujin, menelan salivanya. Matanya masih menatap mama yang sudah di ambang pintu namun berhenti, mungkin karena kalimat putus asanya. "Jadi jangan semakin benci Yujin lagi, ma... Yujin bakalan jadi anak penurut."
Mama menghela nafasnya sekali, punggungnya yang lelah tertangkap oleh mata Yujin meski samar. Pandangan remaja itu semakin memburam, rasanya berat dan sesuatu hendak mengambil kesadarannya.
Dan yang terakhir dia lihat hanyalah, mama yang menutup pintu tanpa menoleh.
****
05 AM
KAMU SEDANG MEMBACA
O'CLOCK | KIM GYUVIN & HAN YUJIN
Fiksi PenggemarKalau bisa mengubah takdir, Yujin ingin jadi anak tunggal atau sulung. Kalau bisa memilih, Yujin tidak ingin punya kakak. Dan kalau Yujin bisa memilih hidup atau mati, Yujin lebih memilih tidak pernah dilahirkan. CERITA INI UNTUK MENDUKUNG KIM GYUV...