Gemericik air terdengar dari satu-satunya sungai yang ada di tempat itu. Tak jauh dari sana, berdirilah seorang gadis berambut coklat kemerahan—rambut panjangnya menjuntai melewati bahu. Gadis itu bernama Bianca, seorang gadis tanpa pekerjaan yang terlahir dari keluarga yang paling dihormati di Katharos—setelah keluarga kerajaan. Jadi meski dia hidup luntang-lantung, tak ada satu pun penduduk Katharos yang berani mengejeknya, kecuali Chloe, seorang sahabat yang nasibnya jauh berbeda dari Bianca. Mengingat betapa mudahnya Chloe mendapat pekerjaan, membuat Bianca semakin sering mengutuk nasibnya sendiri.
"Tak banyak yang menginginkan pekerjaan itu. Ya, pasti peluangnya juga lebih besar," ucapnya berusaha menghibur diri.
Sudah hampir setengah jam Bianca hanya termenung, sambil sesekali membalas sapaan segerombol anak-anak sekolah yang silih berganti menyapanya. Walaupun tengah terburu-buru, tetap saja mereka tidak bisa mengabaikan keberadaan Bianca di sana. Bagaimana pun juga, anak-anak Katharos memang sangat sopan dan ramah. Tak terkecuali Pangeran Ethan—putra ketiga Ratu Metisia—yang bahkan berhenti untuk berbincang sebentar dengan Bianca.
Tak banyak penduduk yang terlihat lalu-lalang malam itu. Biasanya akan ada beberapa orang yang bergerombol untuk saling berbagi gosip terbaru, entah yang ada di Katharos ataupun di kota lain. Pemandangan semacam itu tidak Bianca temui malam ini. Katharos terasa lebih sepi karena sebentar lagi bulan purnama. Semua manusia serigala di Katharos telah dipindahkan sejak beberapa hari yang lalu, kecuali...
"Kei?" Bianca terlonjak melihat seorang pemuda jangkung yang berjalan ke arahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Kenapa?"
"Bulannya..." Bianca menunjuk ke arah bulan dengan raut wajah ketakutan.
"Aku sudah minum ramuan," jawab Kei dengan santai sambil tersenyum tipis. Senyuman yang justru tampak seperti seringaian serigala, cukup untuk membuat Bianca bergidik ngeri.
"Bukankah ramuan itu ada efek sampingnya?"
"Apa boleh buat. Aku tidak bisa terus menghindari teman-temanku." Kei melirik jam tangannya.
"Kau mau keluar?" pertanyaan itu hanya dijawab anggukan singkat. Tak banyak yang mereka bicarakan, karena Kei pun melangkah pergi setelah menepuk pelan bahu Bianca.
"Semua orang punya sesuatu untuk dikerjakan," gumam Bianca setelah Kei hilang dari pandangan.
"Nasibmu tidak akan seperti ini kalau kau mau memanfaatkan peluang." Bianca kembali terlonjak. Kali ini karena ulah Chloe yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Kalimat andalannya itulah yang selalu muncul tiap kali keduanya bertemu. Sebuah ejekan halus karena Bianca tak kunjung mendapatkan pekerjaan padahal sudah hampir empat tahun lulus dari sekolah sihir dengan nilai sempurna di semua mata pelajaran. "Kau tahu sendiri kan posisi yang kau incar itu sudah..."
"Tidak menerima pegawai baru." Bianca menatapnya kesal. "Kau tahu sudah berapa kali aku mendengar kalimat yang sama darimu?"
"325 kali, kurasa." Jawaban yang Chloe lontarkan justru membuat Bianca semakin kesal.
Tanpa mendengar ocehan dari gadis itu lagi, Bianca pun memilih untuk melenggang pergi. Sesekali dia berbalik untuk melempar tatapan kesal padanya. Namun ketika berbalik untuk yang ketujuh kalinya, Bianca terdiam. Saat itu lah dia menyadari ada yang aneh. Mantra yang melindungi pintu gerbang Katharos perlahan memudar. Cahaya keperakan itu memudar sampai akhirnya benar-benar tak terlihat. Tak lama setelahnya, beberapa orang melangkah masuk. Mereka tampak mengarahkan tongkat sihir ke tubuh seorang pemuda yang melayang di udara, seakan pemuda itu tengah terbaring di atas tandu tak kasat mata.
"Nona Scorpus," sapa salah seorang dari mereka. Pria itu bertubuh paling tinggi di antara tujuh pria lainnya.
"Siapa dia?"
Pria itu menggeleng. "Kami menemukannya di dekat pintu gerbang. Sepertinya dia pingsan."
"Kalau begitu cepat bawa dia ke rumah sakit. Beritahu aku kalau dia sudah sadar."
"Kenapa harus memberitahumu? Lagipula kau bukan pegawai pemerintahan." Ucap Chloe yang lagi-lagi kedatangannya membuat Bianca terlonjak.
"Kurasa aku tidak perlu mengingatkanmu kalau semua orang asing yang datang ke Katharos harus mendapat izin berkunjung atau menetap. Kau tidak ingat siapa yang berhak memberi izin?" Bianca masih menatapnya tajam. "Keluarga Scorpus."
"Dan kau harus ingat anggota keluarga Scorpus itu tidak hanya dirimu."
"Wewenang perizinan diberikan kepada anak tertua keluarga Scorpus. Paman Tony sudah meninggal, Fate tidak di sini, jadi Ayahku yang harus melakukannya." Tatapan tajam itu belum mengendur. Bianca semakin terlihat mengangkat dagunya. "Dan Ayahku sudah memberikan wewenang itu padaku jauh hari sebelum kau kembali ke sini."
Chloe tidak lagi bersuara, dia hanya mendengus melihat Bianca menyeringai tepat di depannya. Rombongan pria itu masih berdiri dengan canggung menyaksikan dua sahabat yang saling melempar tatapan mematikan. Bahkan beberapa dari mereka mungkin mulai bertanya-tanya apakah keduanya masih bersahabat atau telah mengubah status mereka menjadi musuh.
"Ehm... Anda tidak ingin memeriksanya?" si pria bertubuh jangkung akhirnya kembali membuka suara.
"Ah..." Bianca masih menatap Chloe. "Kurasa seseorang akan protes karena aku tidak memiliki izin untuk menangani pasien." Akhirnya para pria itu membungkuk memberi hormat singkat, kemudian pergi ketika Bianca mengisyaratkan agar segera membawa pemuda itu ke Rumah Sakit.
Chloe melenggang pergi begitu rombongan itu telah menghilang dan Bianca pun kembali termenung sendiri. Isi pikirannya saling tumpang tindih tak karuan. Rasa penasaran akan keberadaan Fate dan Ibunya tiba-tiba tergusur keluar dari pikirannya, digantikan oleh bayangan wajah adiknya, kemudian kembali tergusur dan pada akhirnya ingatan tentang hari kematian Paman Tony pun muncul.
Di tengah bisingnya isi kepala Bianca, tiba-tiba dia dikagetkan seekor burung yang meluncur di atas kepalanya dan menjatuhkan gulungan kertas dengan pita berwarna biru. Dibukanya gulungan kertas itu dan senyum tipis pun terlukis di wajahnya.
"Fate?" gumamnya. Ya, dia bisa mengenali tulisan itu. Tidak banyak yang Fate katakan dalam suratnya, hanya membagikan kabar baik tentang dirinya dan Ibunya, serta memperingatkan Bianca untuk tidak menghubungi nomor ponselnya. Fate merasa seseorang tengah mengawasi mereka. "Baiklah, untung aku masih punya Hermes."
Hermes adalah burung hantu yang dimiliki keluarga Bianca. Si kecil itu sudah menjadi bagian dari keluarganya sejak Bianca baru lahir—tak ada yang menduga Hermes berumur panjang. Namun sepertinya kali ini Bianca tidak bisa menggunakan jasa si kecil itu karena di akhir surat, Fate mengatakan kalau Hermes terlalu mudah dikenali.
"Apa kau tidak tahu kalau Hermes terlalu sensitif? Dia bisa marah kalau sampai tahu aku punya burung hantu lain," ucapnya jengkel.
Tiba-tiba Bianca menoleh pada burung putih di sampingnya. dia menunduk dan menyapa burung itu dengan suara yang dia buat seramah mungkin. "Kau burung bebas kan? Mau jadi bagian dari keluargaku?" alih-alih menjawab—yang tentu saja tidak mungkin dilakukannya—justru burung itu berbalik dan merentangkan sayap kirinya. Bianca mengintip dan mendapati ada tinta membentuk angka 9 di sana, yang berarti burung itu sudah dipekerjakan oleh kantor pos.
Gadis itu kembali mendengus menyadari burung kecil di sampingnya sudah mendapat pekerjaan, sementara dirinya masih berkeliaran di Katharos tanpa tahu apa yang harus dia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE GUARDLACE: Fam or Foe
Fantasy"The Guardlace", liontin yang selama ratusan tahun telah menjadi simbol perlindungan dan keselamatan, kini berbalik menjadi ancaman bagi para penduduk Katharos. Pasalnya ada beberapa larutan abu Guardlace yang justru membunuh pemiliknya. Kekacauan y...