Ketika masih kanak-kanak selalu saja terpikir betapa menyenangkannya menjadi orang dewasa, tidak ada yang mengatur mereka, semacam waktu tidur siang, waktu bermain, harus melakukan apa, dan pergi ke mana. Mereka bebas melakukan hal-hal yang mereka inginkan.
Aku berpikir kalau orang-orang dewasa itu selalu saja mengatur semua pergerakanku dan mengawasiku dengan mengatakan "jangan pergi ke sana!" atau "Kau tidak boleh melakukan itu!" atau ibuku yang selalu memanggilku ketika aku sedang bermain bersama teman-temanku untuk tidur siang dan itu sangatlah menyebalkan. Menjadi anak kecil sangat membosankan pikirku.
Namun seorang bocah berumur 6 tahun dengan gigi ompongnya akibat permen yang sering dimakannya itu, akan menarik kata-katanya saat ini juga. Ide seorang bocah ingusan 'menjadi orang dewasa sangat menyenangkan' pemikiran macam apa itu?
"Menyenangkan kepalamu!"
Aku menghela napasku menatap tumpukan naskah yang teronggok tidak berguna di atas meja kerjaku, masih banyak yang perlu aku revisi dan kuserahkan ke Pak tua siang nanti. Andai saja ada mesin waktu, aku akan mencurinya dan mengembalikan waktu di mana ibuku memanggilku untuk tidur siang, aku akan dengan senang hati dan tidak ada bantahan yang keluar dari mulutku.
Aku beranjak dari kursiku, mengambil beberapa naskah yang sudah aku sunting semalam suntuk. Sudah berapa kali aku menyerahkan naskah-naskah ini ke beberapa penerbit yang berada di luar distrik tempat aku tinggal dan mereka semua menolaknya dengan mengatakan "Akhir ceritamu tidak dapat diterima oleh pasar." oh ayolah akhir seperti apa yang mereka inginkan?
Beberapa kali aku mengecek hasil revisi kemarin memastikan tidak ada yang salah ataupun terdapat kata-kata yang kurang di sana, kalau tidak aku akan bergelut dengan mesin ketik butut itu lagi. Ada pemikiran gilaku di mana aku ingin melihat masa depan saat mesin ketik buruk rupa ini menjadi mesin yang canggih, betapa menyenangkannya hidupku jika seperti itu.
"Sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari tulisan ini, berdoa saja Dewi Fortuna berpihak padamu hari ini." Gumamku. Aku memasukkan naskah itu ke dalam tas milikku dan bersiap untuk ke pusat kota.
***
Suara coretan pulpen mengalun sangat menyayat hati di atas kertas itu. Aku hanya bisa pasrah melihat Pak tua itu menyoret naskahku dengan tanda silang yang sangat besar dibuatnya, hampir semua ia coret kecuali bagian pengantar.
"Ada yang ingin kusampaikan padamu," katanya sambil menghisap rokok cerutu yang sudah hampir habis di tangannya. "Sudah berapa kali kukatakan padamu. Jika ingin bukumu itu laku keras, buatlah tokoh utamamu itu memiliki akhir bahagia. Jika dia wanita, maka buatlah dia menikah dengan pasangannya, semudah itu." Lanjutnya.
"Tony, akhir cerita yang kau katakan tadi bukankah sudah terlalu klise? tidak semua cerita harus berakhir sesuai ekspektasi pembaca, kan?"
"Para pembaca ingin merasa bahagia ketika membaca bukumu, mereka membaca untuk menghibur diri, bukan untuk diceramahi." Tony menyodorkan kembali naskah itu kepadaku, "perbaiki kembali naskahmu, pembaca tidak ingin waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menyaksikan tokoh favoritnya itu mati." Lanjutnya. Membuatku mengerutkan dahiku mendengar kalimat terakhir Tony.
"Maaf?"
"Terima atau tidak sama sekali?" Katanya, "aku masih berbaik hati kepadamu, melihat ceritamu itu sudah terdapat sedikit perubahan setidaknya setengah dari cerita itu, namun aku minta kau untuk merevisi kembali naskah itu seperti yang sudah kukatakan tadi," dia terdiam sejenak untuk kembali menghisap rokoknya, "terutama akhir ceritamu yang tragis itu. Jika sudah, kembalilah ke sini aku akan mempertimbangkan sisanya." Lanjutnya.
Aku mendengus kasar mengambil naskah itu lalu bangkit dari tempat dudukku, "terimakasih." Ucapku sebelum keluar dari ruangan Pak tua itu.
Sudah kuhitung beberapa kali naskahku ini ditolak oleh mereka, dan ini sudak ke empat belas kalinya mereka menolak naskahku, karena endingnya tidak sesuai dengan keinginan pembaca, aku sebenarnya sudah sedikit muak dengan semuai ini, namun harus bagaimana lagi? Aku tidak akan menyerah semudah itu, ayolah.
Gagasan yang dikatakan Tony, aku tidak mengerti selera dan paradigma para pembaca jaman sekarang. Seakan pesan moral yang disuguhkan tidak lagi laku dan diabaikan begitu saja, tetapi mau sebanyak apapun aku protes tetap saja aku harus mengikuti selera pasar. Bila diukur dengan logika matematika 7 dibandingkan dengan 3, maka 7 yang akan mengubah 3 begitulah kira-kira.
***
Dengan lesu aku masuk ke dalam rumahku, energiku habis terkuras hari ini. Lagi dan lagi naskahku tertolak dan aku harus merevisi kembali dari awal, aku berpikir haruskah aku mengalah dengan pemikiranku sendiri dengan mengikuti perkataan Tony? Entahlah.
Aku berjalan menuju teras rumahku tempat di mana aku biasa menyendiri dan tempat di mana aku mendapatkan ide untuk menulis.
"Dewi Fortuna sedang tidak berpihak padamu hari ini teman, kau harus mencoba lagi yang sudah kau mulai dari awal." Seperti orang hilang akal aku berbicara kepada diriku sendiri.
Di saat seperti ini aku lebih memilih untuk menyendiri di teras ini sembari menyirami tanaman-tanaman yang ada di sana. Tetapi saat aku ingin mengambil penyiram tanaman, mataku tertuju pada kaktus yang mati di sudut ruangan, dengan segera aku mengambil kaktus yang sudah kering itu dari sana.
"Astaga! maafkan aku tidak memperhatikanmu." Aku merutukki kebodohanku sendiri karena lupa menyiram kaktus ini sehingga mati kekeringan. Bayangkan sudah berapa lama kaktus ini tidak kusirami dengan air sehingga kering dan mati seperti ini.
"Kaktus yang malang." Aku hendak membuang kaktus tersebut tetapi aku melihat terdapat sebagian kecil dari kaktus itu masih segar dan masih bisa diselamatkan, "Oh halo teman kecil, ternyata ada sebagian kecil darimu yang masih hidup."
Aku mengambil gunting tanaman untuk memotong bagian yang mati dari katus itu dan menyisakan bagian yang masih hidup. Melihat ini aku jadi membayangkan bagaimana kalau kaktus ini bisa berbicara kepadaku dan memaki diriku karena tidak becus dalam merawatnya?
Memikirkan itu saja aku mulai mempertanyakan kewarasanku sendiri. Dengan cepat aku membuang pemikiran aneh itu dan meyelesaikan urusanku dengan kaktus ini, aku berpikir untuk meletakkan kaktus di dalam kamarku saja agar tidak mati lagi karena tidak kuperhatikan.
Aku membawa kaktus itu ke dalam kamarku dan meletakkannya di atas meja, hitung-hitung sebagai hiasan di sana. Aku menyemprotkan air pada kaktus itu agar tetap hidup, lama aku memandangi tumbuhan berduri itu sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan selanjutnya agar bukuku bisa naik cetak.
Aku terhanyut dalam pikiranku sendiri sampai akhirnya mataku tertuju pada buku dongeng anak-anak pemberian ibuku lima belas tahun lalu, di sampulnya terdapat gambar seorang gadis kecil terduduk di atas rumput seorang diri.
Ada satu pemikiran di kepalaku saat ini, bagaimana jika anak di dalam cerita dongeng itu berteman dengan tumbuhan saja kaktus milikku ini misalnya. Bukan ide yang buruk karena dunia terlalu kejam untuk mempercayakan manusia sekarang ini.
Aku menggelengkan kepalaku sendiri karena skenario aneh yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku. "Urusanmu saja belum bisa kau selesaikan, kau malah memikirkan nasib gadis kecil di buku dongeng itu." Gumamku, yang benar saja? Tak ambil pusing aku memilih untuk tidur, berdoa permasalahanku ini bisa kuselesaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caroline: The Cactus and the Way to the Empyrean
FantasyBagaimana jika di kehidupan kita yang sekarang ini, kita mengetahui bahwa kita tidak hidup sendirian, bahwa ada kehidupan lain yang jauh sekali di luar sana? Bagaimana jika kita mengetahui, bahwa kita memiliki kehidupan lain di masalalu, bahwa kita...