6

220 20 4
                                    

CW//MPREG


Tama tahu, pilihan untuk kembali ke Indonesia tanpa sepengetahuan sang manager adalah kesalahan yang besar. Jika sang manager tahu, ia pasti langsung di semprot habis habisan. Tapi Tama tidak peduli, ia tidak peduli lagi ketika mendengar suara frustrasi dari sang suami. Maka kenekatan Tama kali ini benar benar ia jalankan.

Menempuh jarak kurang dari 7 jam lamanya di pesawat, Tama akhirnya sampai di Indonesia. Ia segera keluar dari bandara dan mencari taksi secepat mungkin. Perasaan tak enak ketika ia keluar dari pesawat tadi. Seperti ada sesuatu yang mengganjal.

"Pak tolong ke perumahan Graha Mandiri 2 ya.. Dan tolong di percepat laju mobilnya." kata Tama pada sang supir taksi.

"Baik, Pak."

Tama menghela napasnya pelan. Tubuhnya seakan remuk redam karena tidak ada persiapan apapun untuk pulang ke Indonesia. Notif dari sang manager yang mengiriminya pesan dan telepon tidak ia hiraukan. Tama hanya ingin segera sampai dan mengetahui keadaan rumah.

Memang salahnya karena ada kerjaan di luar negeri selama 1 bulan lebih. Ia juga merasa rindu sekali dengan sang anak, Aciel. Anak bungsunya yang begitu cantik dan menggemaskan. Anak itu menuruni gen dirinya.

"Rumahnya nomor berapa, Pak?"

Tama mendongak lalu melihat sekitar yang tidak jauh dari rumahnya.

"Nomor 37, Pak."

"Baik, Pak. Oh iya, tidak ada koper yang perlu di keluarkan? Saya tadi tidak melihat Bapak membawa koper setelah keluar dari bandara." tanya sang Supir dengan ragu.

Tama tersenyum tipis. "Saya memang nggak bawa koper, Pak. Ini aja saya benar benar langsung take off dari China ke Indonesia." jawabnya.

Supir itu tampak terkejut. "Loh tiketnya tidak menunggu dulu? Biasanya tidak bisa mendadak 'kan, Pak?"

"Iya, tapi ini sudah di urus suami saya. Jadi saya hanya tinggal pergi ke bandara dan take off." jawab Tama sambil menyengir.

"Oh begitu... Pak, sudah sampai."

"Ah, baik. Ini Pak uangnya." Tama mengulurkan uang merah 3 lembar.

"Loh kebanyakan, Pak."

"Nggak papa, Pak. Itung-itung bonus karena sudah ajak saya ngobrol."

"Ah, baik. Terimakasih sekali lagi."

Tama tersenyum lalu turun dari taksi dan langsung di suguhi rumahnya yang sudah 1 bulan lebih tidak ia tinggalli. Huh... rindu sekali dengan suasana rumah ini. Walaupun bukan bertahun-tahun, tapi itu tetap saja sangat lama.

Ya mesti, anak-anaknya tidak ada di rumah. Setidaknya, Tama bisa bersama Johanes lebih lama dan setiap hari di bandingkan seperti ini.

Langkahnya sedikit tergesa karena mengingat suara sang suami dari telpon beberapa jam yang lalu. Tama harus lebih cepat untuk bertemu dan tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Rumahnya sepi. Mungkin karena yang di rumah ini hanya ada ART, supir, Johanes dan dirinya. Anak sulungnya sudah menikah dan anak bungsunya memilih untuk tinggal di kostan karena katanya lebih dekat dari sekolahnya.

"Mbak?"

Art atau biasa di kenal sebagai Mbak Rani itu terkejut melihat tuan rumahnya pulang. Bukankah masih lama? Tiba-tiba dirinya cemas akan hal apa yang akan terjadi selanjutnya.

"B-bapak? Sudah lama pulangnya?" Mbak Rani mencoba untuk tidak gugup.

Tama mengernyitkan dahi bingung. "Baru saja. Jo ada di kamar? Oh iya, kok saya tadi lihat ada sepatu Acel di rak depan? Acel pulang?"

Salah KamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang