Prologue: Barista

7 0 0
                                    

Pukul 20:45

Pria di belakang counter coffee shop mungil di pinggir kota meraba lengan nya dengan tidak sabar. Ia ingin menutup toko lebih cepat hari ini, flow pelanggan lebih baik dari biasanya dan ia tidak merasa perlu membuka coffee shop lebih lama lagi. Bosnya - anak kuliahan dengan bapak seorang DPR korup - juga sepertinya tidak akan terlalu keberatan bila ia curang sedikit dan pulang lebih awal. Apa pedulinya? Uang jajan seminggu si sialan itu sudah cukup untuk menghidupi keluarga kecil dengan empat anak di Indonesia. Lagipula si brengsek manja tidak pernah mengurus toko yang ia pinta pinta dari lama, jadi persetan saja dia. Sayangnya, ia masih menunggu beberapa pelanggan untuk selesai dan pergi, ia menahan keinginan untuk mengusir mereka, memilih untuk membereskan meja kotor sebagai distraksi.

Meja nomor 8 berisi sekelompok mahasiswa yang berisik membicarakan perihal suatu event. Tipikal. Pasti anak organisasi. Dananya juga datang dari memeras maba yang tidak tahu lebih baik dan masih naif, mereka berkicau menentukan nominal yang harus mereka minta pada para junior malang itu. Agak brengsek. Tak lama kemudian salah seorang diantara mereka menoleh ke arah barista yang terlihat makin tidak betah (gelagatnya yang mulai membereskan meja kotor serta utensil dengan buru-buru) dan seperti manusia ber-common sense, sekelompok mahasiswa tersebut menangkap sinyal si barista dan memutuskan untuk cabut, toh masih banyak tempat lain yang bersedia buka hingga larut malam tanpa barista menyebalkan yang terus terusan menatap mereka dengan semi tidak suka. Si Barista, sekaligus satu satunya pegawai disana, berusaha tersenyum sopan ketika mereka beranjak pergi. Senyuman nya disambut cibiran. Anjing.

Ia menghela nafas pendek, hendak benar-benar menutup toko kali ini. Tangan nya menggapai pintu ketika ia menyadari siluet seseorang dari pintu kaca berdebu, di ujung sana, dengan satu kaki terhimpit diantara dada dan meja, diantara jari puntung rokok yang baru setengah habis, tanpa pesanan makanan atau minum satupun, adalah seorang remaja yang tidak mungkin berumur lebih dari 17 tahun. Terhenyak dan kosong, adalah dua kata yang tepat untuk menggambarkan tatapan perempuan itu. Si barista menoleh ke kanan dan kiri, berusaha mengecek bila ada orang lain disana. Tidak ada. Ia menghela nafas panjang kali ini, menyahut pada remaja di seberang sana, "hey! Tempatnya udah mau tutup"

Perempuan tersebut menoleh perlahan, menatapnya dengan tajam, "ya terus?"

Bajingan. Wah dia ingin marah, tapi ia sedang tidak memiliki energi untuk itu. Sekalian saja ia bunuh dua burung dengan satu batu, agar coffee shop hasil uang rakyat ini cepat bangkrut dan si pelanggan cepat pergi. Hanya perlu satu tawaran.

"Gue kasih kopi gratis" - pemudi di sana menoleh dengan cepat, kata gratis memang trigger terbaik untuk manusia di bagian dunia manapun - "gue kasih, selama lo pergi setelah kopinya abis"

Perempuan berambut sepunggung mengangguk cepat, mengabaikan tawa renyah dan menyedihkan dari barista yang menyogoknya untuk pergi.

-

Barista nyentrik berambut biru tua urakan menyodorkan segelas kopi kesebrang counter, lekas balik badan untuk membereskan sisa utensil kotor di wastafel. Perempuan itu menerimanya tanpa banyak bicara, menghisap cairan pahit tanpa komplain. Sebenarnya ia lebih doyan kopi susu dibanding kopi hitam biasa, tapi tak apalah. Namanya gratisan, dan ia punya basic manners maka ia enggan banyak berkomentar.

"Kenapa?" - remaja itu mengangkat kepala - "kenapa pergi dari rumah?", lanjut si barista dengan santai.

Remaja tersebut mengangkat alis, antara kaget dan sedikit takjub, tanpa melepas pandangan dari punggung si barista ia mengangkat rokok ke mulut, menghisap sebentar sebelum membalas, "darimana lo tau gue pergi dari rumah?"

"Tau lah, keliatan soalnya", barista tersebut tidak menoleh, melanjutkan ucapan nya "jadi, kenapa lo pergi dari rumah?

"Kepo" gumam si perokok simpel, hisapan lagi - kopi lalu rokok kali ini.

Pria tersebut tertawa kecil, berputar untuk menghadap perempuan berambut panjang yang sedang menghakiminya, perempuan itu sama sekali tidak menyembunyikan tatapan yang agak merendahkan, seakan menantang. Keberadaan perempuan tersebut cukup menarik baginya, tanpa berhenti mengelap cangkir yang masih basah ia melangkah mendekat ke counter. Ia bertemu dengan bocah SMA nyaris setiap hari, mungkin setengah karirnya sebagai seorang barista dihabiskan membuat caramel macchiato untuk remaja berumur tanggung, namun tidak setiap hari ia bertemu anak SMA depresif macam ini. Tidak yang seperti ini maksudnya, kalau sekedar depresif sih, banyak. Depresif buat buat dan sok emo juga banyak. Tapi ini lain, yang ini depresif hidup enggan, mati gak mau.

"Emang" ujarnya ringan, "nama gue Andri"

Hening.

"Aren"

Andri mengangguk, menundukkan kepala dan kembali fokus pada gelas di tangan nya.

"Gue juga gatau"

"Hah?" ucap Andri spontan, mengangkat kepala, penasaran.

Aren menghela nafas panjang, apakah semua barista di dunia se intrusive Andri? Buat apa ia ingin tahu macam macam soal hidup orang lain? Namun bila ada hal lain yang lebih menyebalkan dari orang sok tau adalah orang yang banyak tanya, dan Aren yakin pria di hadapan nya bukan tipe yang mudah menyerah. Kelihatan dari mata Andri yang menyelidik dan menuduh - jangan jangan kau pecandu narkoba ya? Kabur dari polisi ya? - wah, sebal. Lebih baik ia jawab sekarang agar cepat selesai urusan nya dengan manusia satu ini.

"Gue gatau kenapa kabur dari rumah, kabur aja"

Andri menatap Aren lamat-lamat, mata coklatnya menusuk setiap zat di tubuh Aren, seakan sedang memproses jawaban Aren, seakan Aren baru saja mengucapkan nomor baru setelah sembilan. Ia pikir respon nya cukup jelas, tidak ada yang sulit dicerna dari kalimat yang ia lontarkan, tapi ternyata tidak untuk si lelucon di hadapan nya. Baru saja Aren akan mengatakan kalimat dengan intonasi agak (sangat) sinis, tawa Andri sudah duluan menghabisi atmosfer ruangan mungil tersebut. Tawanya keras sekali, nyaris puas malah, si barista sampai sedikit terbungkuk, tertawa dengan dilebih-lebihkan. Sialan.

Aren mengernyit, "apaan, kenapa malah ketawa? Emang lucu ya?"

"Mana ada orang kayak gitu? Kabur tanpa alasan? Yakali", tawanya kian nyaring, kian menyebalkan di telinga Aren.

"Ya kalau emang gitu, mau gimana?", sanggah Aren cepat, berusaha membela diri. Memang ada hukum yang mengatur kalau orang kabur dari rumah harus ada alasan pasti? Tercantum kah di UUD 1945? Sinting.

Andri nyengir lebar, biasanya ia tidak ingin mengetahui perihal intrinsik hidup orang lain, hidupnya saja sudah cukup memusingkan. Namun di kala bosan, memangnya salah kalau Andri mencari sedikit hiburan? Gadgetnya sudah lama tidak diisi kuota, keuangan nya sedang seret, wi-fi coffee shop juga mandet, jadi darimana lagi ia mencari hiburan pribadi kalau tidak di sini?

"Gini deh, gue kasih takeaway satu plus kopi tadi, gratis, asal lo cerita ke gue alasan lo kabur dari rumah"

"Lah aneh"

"Mau gak?", Andri sedikit memaksa sebenarnya, tapi ini kopi gratis dan tampaknya Aren sedang sedikit menimbang keputusannya. Agak aneh sih kalau ia setuju, Aren tidak tampak seperti orang yang sedang sulit uang kalau beli kopi doang harusnya punya.

Sebenarnya kalau sedang waras Aren pasti menolak, tidak mungkin ia bercerita macam - macam ke orang yang tidak ia kenal, tapi kali ini spesial, ini hari terakhirnya sebagai manusia yang bernafas jadi ia memilih, "oke, tapi gue mau kopsus, jangan yang pait pait"

Andri nyengir, menyodorkan tangan, "deal"

Aren terhenyak, di kepalanya ini agak gila, namun, "deal" tangan itu ia terima.

"Nah, mulai!" Sahut Andri yang sedikit terlalu antusias.

Ah gila, yasudahlah persetan, "gue mulai dari awal", Aren berkata dengan lemah.

MelancholiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang