PROLOG

786 31 0
                                        

'Kedatanganmu dalam hidupku begitu tiba-tiba membutakan mataku akan arti cinta sejati. Tanpa kusadari, cinta itu telah tumbuh sejak kau bersumpah di hadapan Tuhan untuk bertanggung jawab dan mendampingiku sebagai imam. Namun, keputusanku untuk menikah denganmu terlalu gegabah, tanpa mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi. Aku begitu berani mempercayakan seluruh hidupku kepadamu.'
-Putri Enola Radiska-

'Menikahimu hanyalah alat untuk mencapai tujuanku. Aku tak menyangka kau begitu mudah terperangkap dan begitu percaya kepadaku. Terima kasih atas kepercayaanmu, namun keputusanmu untuk menikah denganku adalah awal dari semua penderitaan yang akan kuberikan kepadamu.'

-Armagan Naushad-

🍂🍂🍂

Suara monitor memenuhi ruangan. Seorang gadis terbaring lemah di brankar rumah sakit, berbagai alat medis terpasang di dadanya, masker oksigen menutupi mulutnya. Matanya terpejam, wajahnya pucat pasi, tubuhnya kurus kering seperti mayat. Kondisi gadis itu terlihat sangat mengenaskan dan memprihatinkan.

Tiga bulan perawatan intensif di rumah sakit telah menguras seluruh tenaga dan semangat hidupnya. Beberapa kali ia hampir menyerah pada takdir, ingin mengakhiri hidupnya yang menderita. Namun, berkat kegigihan para dokter dan perawatan medis yang intensif, nyawanya masih dapat dipertahankan hingga saat ini. Kondisi fisiknya yang sangat lemah membuat ia bergantung sepenuhnya pada alat-alat medis untuk bertahan hidup.

Malam semakin larut, gerimis mulai turun di luar gedung rumah sakit. Sepasang suami istri duduk di kursi dekat ranjang putri mereka, wajah mereka tampak lesu dan penuh keprihatinan, menatap putri mereka dengan tatapan sendu. Keheningan menyelimuti ruangan itu hingga sang istri memecahnya.

"Ayah, mau Ibu buatkan kopi?" tanya sang istri dengan lembut.

"Nggak usah, Bu. Ayah mau keluar sebentar, cari udara segar." Jawab sang ayah, lalu bangkit dari kursi dan melangkah keluar ruangan.

Setelah suaminya pergi, sang ibu berjalan ke jendela dan menutup tirai yang masih terbuka. Di luar, gerimis kecil tiba-tiba berubah menjadi hujan deras. Ibu buru-buru menutup tirai dan kembali ke samping putrinya, menyelimuti tubuh mungil putrinya yang tampak kedinginan. Air mata kembali menetes membasahi pipinya. Dengan lembut, ia menepuk puncak kepala putrinya yang tertutup kain. Melihat kondisi putrinya yang belum membaik, hatinya kembali dipenuhi rasa sakit dan keprihatinan.

Selama bulan pertama perawatan di rumah sakit, Ibu selalu berpikir positif dan tegar. Ia tak pernah mengeluh dan selalu yakin putrinya akan sembuh. Ia bersemangat mencari pendonor darah dan bahkan rela menjual semua perhiasannya demi biaya pengobatan dan kesembuhan putrinya.

Namun, semuanya berubah setelah dokter memberi tahu bahwa jika mereka tidak segera menemukan pendonor yang cocok, kemungkinan putrinya untuk hidup sangat kecil. Kondisi putrinya yang tak kunjung membaik telah memupus harapannya. Kini, ia telah ikhlas menerima apapun takdir putrinya, menerima kemungkinan terburuk sekalipun. Ia merasa tak ada lagi harapan bagi putrinya untuk hidup karena kondisinya semakin memburuk.

"Maafin Ibu, Nak. Ibu nggak tahu harus berbuat apa lagi untuk menyembuhkan Nola." Ucap sang Ibu, suaranya tercekat isak tangis.

"Bu..." lirih Nola, hampir tak terdengar. Matanya yang terpejam perlahan terbuka, tatapannya sayu menatap sang Ibu yang ada di sampingnya. Sentuhan hangat sang Ibu membangunkannya dari tidurnya. "Sa...kit," bisiknya lemah.

Sang Ibu tak mampu lagi menahan isak tangisnya. Kepalanya tertunduk, pundaknya bergetar hebat menahan kesedihan yang begitu mendalam. Kata-kata seolah hilang ditelan kesedihan. Melihat putrinya sekarat di depannya, ia merasakan sakit yang sama seperti putrinya, bukan hanya sakit fisik, tetapi juga sakit hati yang begitu menusuk, mencekik dadanya hingga sesak napas.

Di tengah kesedihan yang begitu mendalam, suara riuh rendah terdengar dari luar ruangan. Langkah kaki beberapa orang terdengar semakin dekat di koridor, diikuti oleh suara isak tangis dan rintihan yang menyayat hati. Sang ibu menyeka air matanya, mencoba menenangkan diri dan memaksakan senyum untuk putrinya.

Dengan suara yang dibuat tegar, ia berkata, "Ibu tahu, Nola. Jangan khawatir, sebentar lagi semuanya akan berakhir, kamu nggak akan merasa sakit lagi." Ucapannya diiringi oleh tatapan penuh kasih sayang dan keyakinan.

Mendengar kata-kata ibunya-kata-kata yang lebih terdengar seperti penghiburan semata, tanpa harapan-mata Nola kembali terpejam lemas. Ia tertidur pulas, berusaha melupakan dan meredam rasa sakit yang begitu menyesakkan di dadanya. Rasa sakit yang tak tertahankan itu hanya mampu diungkapkan melalui buliran air mata yang satu demi satu menetes dari balik kelopak matanya yang terpejam.

Sekitar setengah jam kemudian, Nola tersentak bangun dari tidurnya. Sebuah bisikan lembut terdengar di telinganya, "Nak, Nola akan sembuh. Penyelamat Nola sudah datang." Bisikan itu begitu lembut, memberikan secercah harapan di tengah keputusasaan. Namun, setelah mendengar bisikan itu, kesadaran Nola perlahan memudar, dan ia kembali tertidur dalam keadaan yang lebih tenang.

****

Terimakasih yang sudah memasukkan cerita ini ke dalam list yang akan kalian baca, dan saya mau tahu dong kalian nemuin cerita ini pertama kali darimana? Beranda? Temen? Atau sengaja nyari sendiri? Ehehehe, tolong di komen ya, terimakasih!!

Kembalikan Cintaku S1 [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang