8. Selamat Datang

8 3 0
                                    

Sinar matahari mulai meredup, hewan malam serupa tonggeret mau pun jangkrik berbunyi di balik semak belukar. Indira menenteng satu sisi tali tas besar dan sisi lain oleh Mika, keduanya berjalan beringinan sambil memperhatikan sekeliling.

“Ini serius kek begini jalanannya?” keluh Mika menapaki jalan beralas tanah bebatuan. “Kalau hujan bahaya ini dilalui kendaraan. Licin.”

“Mungkin itu alasannya tidak ada jasa ojek yang berkeliaran,” timpah Indira.

“Gue rasanya nggak deh, Ra. Mungkin mereka tidak berkeliaran malem karena siapa yang mau ngojek jam segini? Gue aja takut. Tuh liat pohon-pohonnya tinggi dan gede banget.” Mika menunjuk ke segala arah. “Bayangin kalau pohon-pohon ini hidup.”

Indira memberi isyarat untuk bertukar posisi, tangan kirinya pegal. Tali tas dipindah ke tangan kanan, begitu juga posisi Mika.

“Nggak usah membayangkan hal-hal yang bikin lu takut sendiri. Dari dulu sampe sekarang nggak ada sejarahnya mahluk-mahluk halus membunuh manusia.”

“Hush! Jangan ngomong gitu, ih. Kalau mereka denger terus lu dideketin gimana?” tegur Mika. “Mereka mungkin nggak bisa membunuh secara langsung. Tapi mereka bisa merasuki manusia.”

“Dan manusia yang membunuh,” timpal Indira lagi.

“Lu ngapain?” Indira mempertanyakan kelakuan Mika mengangkat satu tangannya yang bebas ke udara dengan jempol teracung.

“Ya kan barang kali ada kendaraan lewat, biar mereka tahu kita butuh tumpangan. Rambut merah lalu lintas lu nggak cukup untuk membuat mereka berhenti.”

Indira tidak ingin mendebat tentang tidak akan ada kendaraan lewat dj jam segini. Kalau pun ada, kemungkinan mereka tidak memahami isyarat tangannya.

“Gue pernah baca, katanya kalau di jalan begini kita ketemu yang hajatan atau denger ada suara gamelan, kita nggak boleh mampir. Terus aja jalan.”

Orang gila mana memang yang mengadakan acara hajatan di hutan. Indira bukan tidak percaya pada hal mistis seperti itu, tapi jika manusia menggunakan logikannya sudah pasti tidak ada yang tertipu oleh setan. Kalau pun melihat yang hajatan, kalau nggak diundang seharusnya emang tidak usah datang.

“Ra ... perut gue laper nih.”

“Di sini mana ada yang jualan, Mika. Tunggu kita sampe di desanya aja. Barang kali ada warung atau nanti kita bikin mie instan. Gue bawa.” Sejujurnya Indira juga lapar.

“Tapi kapan sampenya?"

“Lu tanya gue, gue tanya siapa?”

Entah keberuntungan dari mana, dua orang bermotor menghampiri mereka dari arah belakang.

“Mau pada ke mana?” Salah satunya bertanya. Indira menilai penampilan mereka dengan seksama. Insting untuk waspada segera menyala, terlebih di daerah yang tidak diketahui.

Kedua bapak-bapak ini mungkin seumuran. Satu menumpangi motor bebek, satunya motor matic berwarna biru. Yang satu menggunakan jaket parasut, sementara satu lainnya menggunakan hodie yang Indira duga milik anak lelakinya melihat sablon yang terpampang di depan bergambar abstrak metal. Keduanya sama-sama tidak mengenakan helm sebagai pengaman saat berkendara.

Mika tersenyum ramah. “Mau ke desa depan, Pak. Bapak tahu desa Mamelik?”

“Oh, tahu dong.”

“Kebetulan kita warga sana. Neng-neng mau ke sana? Ayo kami anterin.”

Mika sudah tersenyum senang baru seperti mendapatkan hadiah. Namun, satu tangan Indira menahannya. “Berapa ongkos ke sana, Pak?”

Kedua orang tersebut berpandangan. “delapan puluh ribu doang Neng.”

Mika sudah bersiap protes, tapi Indira menimpali lebih dulu.

“Saya kasih 200 ribu berdua tapi saya bawa motor matic di belakang. Bapak berdua satu motor di depan sebegai penunjuk jalan.”

“Mana bisa begitu Neng. Kalau Neng bawa kabur motor saya gimana?”

“Saya tambahin 300 ribu.” Indira merogoh kocek dan membayar setengahnya. “Sisanya saya bayar kalau kita udah sampe.”

Setelah saling berbisik beberapa lama. Hingga akhirnya menyetujui hal tersebut dengan syarat tas ada di motor mereka. Indira tidak keberatan.  Toh isinya hanya baju-baju.

“Oke, setuju. Tapi neng-neng jangan jauh-jauh jaraknya ya!”

“Udah magrib juga. Jangan sampai nyasar.”

“Emang kalau nyasar kenapa, Pak?” tanya Mika penasaran.

“Baliknya lama.”

“Itu juga kalau bisa balik.”

Indira menagih kunci motor dan Mika menjadi penumpang. Bapak berhodie metal pemilik motor matic yang dibawa Indira duduk di salah satu temannya dengan menghadap ke belakang. Lebih tepatnya memantau Indira selama perjalanan.

“Creepy banget anjiiirr.” Mika bersembunyi di balik badan Indira. Karena setiap melihat ke depan, pandangan utamanya adalah pemilik motor yang menghadap mereka dengan wajah tanpa ekspresi.

“Lu sih, ngapain pake nawar-nawar beginian. Mahal banget tahu naik ojek aja 300 ribu. Bisa kebeli baso berapa mangkok coba?” bisik Mika. Maklum ia masih lapar, jadi pikirannya masih sering mengingat makanan.

“Ya lu juga jangan polos-polos amat lah. 300 ribu demi keselamatan itu murah. Gimana kalau ternyata di jalan lu ma gue dipisahin. Berani lu lawan mereka?”

“Tapi dengan lu iming-imingin duit segitu bisa aja mereka juga bawa kita nyasar terus diculik karena mikir kita orang kaya. Padahal kan elu doang yang kaya.”

“Gimana caranya mereka nyulik kita, orang kita beda motor? Gue nggak bakal turun kalau belum sampe. Lagian lu tenang aja. Gue udah foto mereka berdua, udah share lokasi juga ke temen gue si Jason. Bahkan udah foto plat motor yang kita tumpangi ini  kalau nanti malam gue nggak kasih kabar atau gue nggak bisa dihubungi sampe besok pagi. Jason bakal lapor polisi,” tutur Indira meski ia sendiri tidak terlalu yakin karena kendala sinyal yang tidak stabil dan Jason mungkin masih asik bersama pacarnya.

Ketika langit sudah menggelap sepenuhnya dan malam benar-benar melingkupi mereka setelah hampir empat puluh menit waktu perjalanan. Indira bisa melihat sebuah tugu berompal sebagian sisinya terukir pertanda Perbatasan Desa Mamelik dan juga gapura usang bertuliskan Selamat Datang yang samar-samar terlihat melalui cahaya bulan purnama.

“Wah ... sampe juga kita. Keren lu, Ra. Bisa nemuin tempat ini.”

“Loh, kan elo yang ngasih tahu gue tempat tinggal Karina kemarin.”

“Masa iya? Sejak kapan gue sepinter itu?”

*****

Halo pembaca!!
Jangan lupa dukung story ini tap bintang dan komen.
Buat kamu yang pengen baca lebih cepat, bisa mampir ke Karyakasa dengan judul yang sama. Gratis juga koq ^^
Tenang, story akan tetap di tamatkan di wattpad

Pengantin Malaikat MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang