"Dulu, gue kira bahagia itu sesederhana kumpul keluarga di rumah. Quality time bareng, tuker cerita, liburan, atau justru nonton tv sambil makan biskuit."
Dia Karelio Vanders, mengutarakan kalimatnya dengan nada datar. Duduk di salah satu kursi kantor ruang siaran kampus yang beralih fungsi menjadi ruang meeting. Kemeja kotak-kotak membalut kaus putih menggambarkan Karel yang santai. Begitulah, diamnya sedikit memangkas kesabaran pendengar lain.
"Lanjut, Rel!" perintah laki-laki berjaket denim di kursi seberang. Singkat dan tak terbantahkan.
Karel membenarkan posisi duduk bersandar, sepertinya sekarang sedikit lebih serius. "Gue salah, Dar."
Karel membuang napas berat. "Ketika harapan gue akan definisi bahagia waktu itu bener-bener terkabul, gue ngerasa jadi orang paling jahat di dunia," lanjutnya, memanyunkan bibit sejenak.
"Walau entah gimana awalnya bisa berakhir begitu, yang jelas dunia gue justru makin hancur."
Tatap mata Karel mengedar memandangi temannya satu per satu. Laki-laki itu terkekeh pelan, sadar dia menjadi pusat perhatian. Yah, situasinya terasa sedikit konyol bagi Karel.
"Soal Bunda lagi?" Haidar menyeletuk, berucap sembari membenarkan posisi duduk.
Sunyi ruang spontan terisi desisan kesal, bukan tidak suka dengan topik pembicaraan yang Karel mulai. Hanya saja, mereka bertanya-tanya kenapa harus genre ini lagi yang dibahas? Apakah sepayah itu kehidupan mereka sampai momen bahagia pun seperti lenyap entah ke mana?
Tidak usai begitu saja, mereka larut dalam suasana aneh dunia mereka sendiri. Perasaan yang hanya akan dimengerti satu sama lain. Bertahan dan saling menguatkan, walau mungkin caranya akan membuat yang baru tahu meringis heran. Mereka sudah sampai di titik ini, jadi tidak banyak yang paham.
"Haidar, kemarin lo sama Rafka dipanggil Pak Direktur. Rapat Besar?" celetuk Keenan, memulai kembali percakapan dengan topik baru.
Keenan, satu-satunya yang cuek dengan pembahasan Karel soal "Bunda" dan desisan napas mereka sebagai respons lelah. Berbicara dengan Haidar pun tanpa bertatap mata. Dia seperti batang dari ketujuh pemuda di ruangan. Tanpa Keenan sebagai Kakak Tertua, mungkin mereka akan kacau balau.
"Rafka," sahut Haidar, melempar kesempatan menjawab pada wakil kesayangannya.
"Aish! Gue lagi?!" Rafka protes, tergelak merespons ucapan Haidar yang duduk santai menunggu perintah tidak langsungnya dijalani.
Tawa ringan menyatu menjadi menu nikmat ketujuh pemuda di ruang siaran. Tidak heran jika mereka terkejut saat hasil voting menunjukkan Haidar sebagai penerus posisi Ketua BEM setelah Keenan. Walau bakat berorganisasi dan kemampuan sosialisasnya di atas rata-rata, Haidar tetap orang yang kurang vokal bagi mereka.
Yah, walau begitu, wibawa dominan Rafka yang menjanjikan sebagai pemimpin sepertinya tidak mampu menyaingi anggapan orang-orang akan pribadi Haidar yang selalu di luar kotak. Seakan, definisi kesempurnaan benar-benar melekat padanya. Nama belakang Haidar justru tidak berarti apa-apa. Lihat saja bagaimana dia menunjuk Rafka sebagai wakilnya, padahal dunia pun tahu mereka berdua saingan berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radio Romance FM
Teen FictionBagaimana rasanya hidup dalam permainan semesta? Sakit bukan? Begitulah dunia yang kata mereka tidak adil. Setiap hati yang tersakiti dalam perjuangan memiliki alasan masing-masing untuk bertahan. Dan dia, Haidar, dengan segala bentuk pelampiasannya...