Suara tuts keyboard mengisi ruangan pribadi Karel, dia benar-benar membawa Haidar ke rumahnya. Terlepas dari siapa yang akan kemari, ini rumah pribadi Karel, jadi memperbolehkan Haidar menginap di sini adalah hak Karel. Cukup tahu saja, rumah ini warisan ibundanya.
"Aish, salah lagi!" gerutu Karel frustrasi, jemari lentik laki-laki itu meremas udara usai keliru menekan tuts.
Malam yang sedikit membuat Karel bimbang akan perubahan sikap Haidar akhir-akhir ini. Tidak mungkin karena jadwal yang semakin padat, Haidar seperti bunglon jika bicara soal itu. Karel tidak pernah tahu, apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan seorang Haidar Aksa Ananta, sahabatnya.
"Bokap lo dateng kayaknya, Rel," celetuk Haidar, dia baru saja keluar dari kamar mandi. Masih lengkap dengan rambutnya yang basah.
Atensi Karel beralih pada Haidar, berdiri santai menatap luar jendela dengan ekspresi cuek seperti biasa. Tidak berlangsung lama, Haidar sadar Karel menatapnya terus terang.
"Nggak keluar?" tanya Haidar, menoleh membalas tatapan dingin Karel.
Balasan Karel hanya kedikan bahu tidak acuh, dia kembali menyibukkan diri dengan keyboard dan kertas notasi. Menganggap apa yang Haidar kabarkan barusan hanyalah angin lewat saja. Tidak berarti apa-apa, walau keberadaannya nyata.
Respons Karel cukup dimengerti, hubungan anak-ayah sahabatnya ini benar-benar berubah seperti sebuah formalitas setelah kematian sang Ibunda. Haidar tahu persis bagaimana sebuah peristiwa mengubah Karel yang semula periang, cerewet, dan tukang ngegas, menjadi Karel yang cenderung dingin dan tertutup. Haidar tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.
Kaki panjang Haidar melangkah menuju ranjang putih Karel. Duduk di sana tanpa berniat menyingkirkan handuk kecil di kepalanya. Laki-laki itu menunduk, menatap jemari tangan yang tertaut satu sama lain dengan pikiran menerawang jauh entah sampai mana.
"Rel," panggil Haidar pelan.
Karel melepas ponselnya, dia selesai dengan permainan keyboard karena kesal salah terus. Memutar arah kursi menghadap Haidar yang duduk bungkuk tertunduk. Karel yakin malam ini akan diisi benang kusut lagi.
"Kenapa, Dar?"
Haidar menghela napas pelan. "Kalo gue ke psikolog, didiagnosis delusi nggak, ya? Atau malah skizofrenia?" ucapnya, terkekeh getir.
Dalam diam Karel memperhatikan Haidar yang membisu usai kalimat terakhirnya. Ekspresi itu lagi, lengkungan samar di bibir mungil Haidar yang terkesan menyakitkan.
"Lo coba aja dulu," balas Karel.
Kekehan Haidar kembali terdengar. "Kalo iya, berarti gue gangguan jiwa, dong?" ucap Haidar, mendongak menatap Karel, nada bicaranya meledek.
"Cih!" Karel melengos, menyerah akan kelakuan Haidar.
Bukan sehari-dua hari Karel mengenal Haidar. Orang pertama yang menawarkan diri ke kantin bersama di bangku kelas 2 SMP, saat Karel masih menyandang gelar sebagai murid baru. Sudah selama itu, dan Karel masih belum mampu memahami seperti apa isi kepala Haidar. Semua yang berhubungan dengannya selalu di luar kepala.
Sementara sunyi mengisi ruangan pribadi Karel. Haidar kembali hanyut pada pikiran semrawutnya. Terlepas dari perkara organisasi, hubungan Randy-Rafka yang semakin berjarak, keluarganya, persahabatan mereka, menjadi tanggung jawab Haidar sebagai pemimpin. Walau dari awal tidak ada perjanjian akan siapa yang memimpin, Haidar-lah yang menyatukan mereka semua, pertemanan ini ada karenanya.
Helaan napas gusar kembali Haidar embuskan. Sudah yang kesekian kali, dan lega yang didamba belum juga datang menghampiri. Kebahagiaan yang selalu Haidar cari membuat ambisinya akan terus bertahan sedikit menguap. Terlebih saat Keenan mengabari bahwa kakaknya menghubungi mereka lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radio Romance FM
Ficção AdolescenteBagaimana rasanya hidup dalam permainan semesta? Sakit bukan? Begitulah dunia yang kata mereka tidak adil. Setiap hati yang tersakiti dalam perjuangan memiliki alasan masing-masing untuk bertahan. Dan dia, Haidar, dengan segala bentuk pelampiasannya...