¹ : hilang arah

13 6 1
                                    

Jalan setapak yang rimbun dengan pepohonan hijau dilalui oleh gadis bernama Xiena Dawn - gadis desa yang hidup sebatang kara ditengah hutan belantara.

Seiring dengan langkah kakinya, ia melamun mendamba akan kehadiran sosok neneknya - yang kerap ia panggil 'nenek Dawn'.

Pandangan kosong, berjalan tanpa arah dengan kedua tangannya memeluk erat barang peninggalan sang nenek - berupa setumpuk pakaian dengan aroma khas dari tubuh neneknya yang masih melekat.

Kepergian sang nenek satu pekan yang lalu membuatnya hancur, hilang arah. Hanya satu kalimat yang ada dipikirannya saat ini, "aku rindu nenek."

Tanpa sadar, kedua kaki kecilnya terhenti di depan sebuah batu nisan yang masih menggunakan kayu yang terukir nama 'nenek Dawn' disana.

Gadis itu terus memandangi peristirahatan terakhir sang nenek dengan tatapan yang sulit diartikan. Rasa marah, sesak, rindu, tercampur didalam tubuh Xiena hinggga tanpa sadar ia menjatuhkan kain bungkus yang berisi tumpukan pakaian neneknya terjatuh disampingnya.

Satu bulir air menetes membasahi tanah gundukan makam, menjadi sebuah tanda bahwa cucu tersayangnya ini datang, menjenguknya.

"Nenek." Hanya satu kata saja saat ini yang mampu ia ucapkan. Xiena menunduk, air mata itu semakin banyak berjatuhan.

"Xiena ... rindu." Dua kata yang sulit terucap, ia paksakan. "Apa kabar disana, nek? Sudah bertemu dengan paman James? Putra kesayanganmu itu, hahaha."

Dengan susah payah ia mengeluarkan suara tawanya, membuat lelucon agar kesedihan ini cepat usai.

"Lihat, nek. Cucumu ini hilang arah, kemana lagi aku harus melangkah saat ini? Siapa yang akan menuntunku? Kenapa nenek dan paman malah meninggalkanku? Dimana hati nurani kalian? Apa kalian tidak mengasihani gadis bodoh ini, huh?"

Dirematnya pakaian putih lusuh itu, guna menegarkan hatinya. Xiena berusaha agar tidak rapuh saat ini, malu dengan sang nenek.

"Tetapi ... Xiena akan berusaha kuat, nek. Aku akan mencari jalan takdirku sendiri, benar 'kan, nek?" Dirinya saat ini sedang berusaha menampilkan senyuman terbaiknya.

'Xiena tidak boleh menjadi gadis yang lemah.' Satu kalimat yang tiba-tiba saja tengiang di dalam telinganya. Pesan itu sering kali di ucapkan sang nenek padanya saat ia akan menempuh masa pendidikan di desa sebelah yang tak jauh dari sini.

Tangan kurus itu mengusap dan mengelus nisan kayu sang nenek. "Nenek, Xiena pulang, ya? Hari sudah tampak sore. Jika ada waktu, Xiena akan kemari, memvawa bunga kesukaanmu. Dan sampaikan salam rinduku pada paman James, nek. Sampaikan salam maafku padanya juga, karena aku tidak bisa datang ke rumah terakhirnya, jauh hehehe."

"Selamat tinggal, nek." Sesak sekali rasanya tiap ia mengucapkan kalimat itu, mengingat bahwa dirinya dan sang nenek tidak bersemayam ditempat yang sama lagi.

Lalu, kemana ia akan pergi saat ini? Dimana arah pulangnya? Sedangkan orang yang selalu menjadi tempatnya berpulang kini telah pergi meninggalkannya.

Tentang kain bungkus yang berisi tumpukan pakaian sang nenek, Xiena selalu membawanya saat ia berpergian. Agar ia merasa akan kehadiran sang nenek disampingnya, membayangkan menggandeng tangan nenek seperti sebelum-sebelumnya.

Bukan karena tak ikhlas, tapi melepaskan butuh waktu yang lama agar menjadi terbiasa tanpa sosok hadirnya.

Kini, ia akan berusaha tegar dan menjalani sisa hidupnya tanpa nenek dan tanpa dukungannya. Dirinya berjanji, suatu saat nanti ia akan menjadi wanita yang sukses, hingga semua orang mengenalnya dan menatap takjub kearahnya, menjadikannya orang yang bermartabat dan bermanfaat untuk semua orang.

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

𝐇𝐄𝐋𝐏 𝐌𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang