Lembaran 1. Pulang

49 15 28
                                    

"Paket!"

Suara bariton seorang lelaki mengalihkan atensi Dina dari sesendok nasi yang hendak ia suapkan ke mulut. Ia meletakkan kembali sendok yang dipegang ke atas piring.

"Pakeeet! Paket Mbaaak!?"

Dina bangkit dari tempat duduknya. Ia buru-buru melangkah dari ruang makan, setelah telinganya kembali menangkap suara dari arah pintu depan. Piring dan sendok dibiarkannya teronggok, meskipun masih penuh dengan nasi uduk kesukaannya.

Mas Kurir yang dua hari ini ditunggu akhirnya tiba tepat waktu, membawa barang pesanannya. Sudah dinanti dengan rasa was-was tinggi, takut bila yang menerima nanti bukan ia sendiri. Apa jadinya jika mamanya yang menerima lalu mengeluarkan isinya. Meski tanpa persetujuan Dina, mamanya pasti akan memeriksanya seperti biasa.

"Kersane kulo mawon Mbak Rum." Sopan Dina mencegah langkah Rumisah membuka pintu.

Tidak jadi beranjak, asisten rumah tangga itu kembali melanjutkan pekerjaannya, menyeduh kopi untuk sang Tuan Muda.

Gerak Dina dipercepat, khawatir orang lain akan melihat. Seperti pencuri, Dina berlari, menjinjing gamis yang menyapu lantai agar tidak terinjak. Cepat Dina membuka pintu sebelum ada orang lain yang tahu.

Maklum saja, sejak dahulu seisi rumah keluarga Dhananjaya Prambudi tidak pernah mempunyai rahasia. Semua saling terbuka dengan apa yang mereka punya, bahkan sering kali saling menukar barang.

Lihat saja ketiga jagoan mereka: Idan, Izan, dan Zaki, postur mereka sama tinggi. Baju, ukuran sepatu ataupun celana hampir tidak ada beda. Perawakan mereka bak model catwalk yang nyaris sempurna.

"Tanda tangan di sini Mbak," tunjuk mas kurir pada kertas yang dibawa.

"Matur suwun Mas."

"Sami-sami Mbak. Kalau begitu saya permisi."

"Eh, sebentar. Ini buat Mase." Dina merogoh saku gamis ungu yang ia kenakan, lalu mengulurkan satu lembar uang berwarna biru.

"Ndak usah Mbak. Saya ndak bisa menerima uang tip dari customer."

"Memangnya kenapa?"

"Ya, ndak boleh saja."

"Sinten seng matur?"

"Ya, itu ... bos saya lah, Mbak."

Simpul senyum terukir menghias bibir. Lembaran biru masih terulur, sebelum orangnya mengambil Dina pantang menariknya kembali.

"Kalau begitu jangan matur sama bosnya kalau saya kasih tip. Ini halal, kok, Mas, bukan uang korupsi." Gadis 22 tahun itu masih ngotot memberikan lembaran lima puluh ribu pada Mas Kurir yang mengantar barangnya. Sementara sang kurir masih ragu untuk menerima atau tidak uang tersebut.

Tidak habis akal, Dina langsung memasukkan uang tip itu ke dalam sling bag yang tersampir di bahu mas kurir. Betapa tidak sopannya gadis itu. Ia begitu gigih dengan kemauannya. Dina masa bodoh saja dengan ekspresi mas kurir yang terkaget dengan tingkahnya yang tiba-tiba.

"Kalau Mas ndak mau, ya, buat anaknya saja. Buat beli sosis bakar atau apalah," desaknya.

Mau tidak mau kurir berseragam oranye itu akhirnya menerima uang yang Dina berikan, "Matur suwun sanget Mbak, kalau begitu saya permisi. Semoga nanti Allah membalas dengan memberikan jodoh lelaki terbaik buat mbaknya."

"Aamiin. Hah!? Apa Mas?"

"Assalamu'alaikum."

"Wa ... wa'alaikumsalam," jawab Dina terbata. Dahi gadis itu mengernyit sembari terus memperhatikan langkah kurir yang semakin menjauh. "Doa yang aneh," gumamnya lirih. Bungsu keluarga Dhananjaya itu merasa janggal dengan ucapan doa yang mas kurir ucapkan untuk dirinya.

Biasanya kurir-kurir yang mengantarkan barang dan mendapat tip darinya akan mengatakan: semoga berkah, semoga rezekinya berlimpah, semoga sehat selalu, atau semoga Allah membalas kebaikan. Sementara kurir yang baru saja keluar dari gerbang rumahnya itu, mendoakan perihal jodoh, hal teraneh yang baru Dina dengar dari para pengantar paket-paket yang datang ke rumah mereka. Namun, apa pun itu Dina akan mengaminkan saja. Semoga Allah Yang Mahabaik mengabulkan segala doa baik untuknya.

Dina menutup pintu kembali. Detik kemudian fokus gadis manis itu tertuju pada benda di tangan. Ia begitu senang menimang-nimang paket yang baru diterima.

Sementara itu, dari arah tangga Idan memerhatikan polah adiknya. Lama tidak bertemu, gadis berjilbab itu ternyata masih memiliki sifat yang sama seperti dahulu; pemaksa dan keras kepala.

Sebaris senyum hadir di bibir tebal Idan. Lelaki berperawakan gagah itu perlahan menuruni tangga seraya ikut mengaminkan apa yang samar ia dengar. Tidak lupa, Idan menambahkan dalam aminnya, semoga dirinya lah yang ada dalam doa mas kurir tadi. Semoga dirinya yang nanti berjodoh dengan gadis bergamis ungu di depan sana.

"Kopinya Mas," tawar Rumisah begitu Idan tiba di area dapur. Idan menyunggingkan senyum dan mengangguk, lalu mengulurkan kedua tangan.

"Matur suwun Mbak Rum," ucap Idan sembari menerima secangkir kopi dari tangan Rumisah. Kopi ketiga yang Idan terima dari asisten rumah tangganya, setelah sekian lama tidak menginjakkan kaki di tempat kelahirannya. Kopi yang akan ia nikmati selama seminggu ke depan sebagai sarapan, sebab tidak lama lagi Ramadan akan menyambut kepulangannya.

Sambil menyeruput kopi hitamnya, dari meja bar dapur Idan masih memusatkan pandangan ke arah Dina yang melangkah menuju tangga. Gadis periang itu hendak menaruh paket ke kamarnya. Dina belum menyadari jika sedang diamati.

Bagai kopi luwak yang tercipta bersama kotoran, lalu menjadi mahal setelah disajikan. Begitu pun dengan Dina, kata orang bungsu dari empat bersaudara itu terlahir dari hal kotor. Akan tetapi, semakin dewasa Dina terlihat seindah rembulan. Bagi banyak lelaki, cinta gadis salihah itu pasti akan sulit didapatkan. Terlebih untuk seorang Idan yang bergelar 'abang' bagi Dina.

Kaki Dina berhenti melangkah di depan tangga setelah menyadari keberadaan abangnya. Sudah tiga hari ia berusaha menghindari lelaki itu. Gadis cantik itu berusaha menepis rasa rindu. Ia belum mampu menetralkan debar bila pandangannya dengan Idan saling bertemu. Nyatanya benar, jantungnya seperti ditabuh puluhan tangan ketika netra mereka saling bertatapan; menemukan kerinduan.

Pandangan hangat dari Idan tak lepas dari Dina. Setelah enam tahun meninggalkan rumah, ternyata lelaki berparas tampan itu pun masih memiliki debaran yang sama, kala pandangannya berserobok dengan manik bening milik gadis pujaannya.

Bukan Dina bodoh, tetapi berusaha bodoh untuk tidak mengerti arti dari tatapan lelaki berambut ikal yang sedang menikmati kopinya itu. Seperti yang dilakukan tadi pada mas kurir, Dina masa bodoh saja. Bukan pada tatapan abangnya, tetapi pada dirinya sendiri. Dina menanggapi dingin pada hatinya yang menggemakan rindu. Ia berusaha menahan diri, padahal sejujurnya ingin sekali menghambur pada pelukan lelaki itu, seperti dahulu.

Tidak lama dari adegan itu Dina memutus pandangan. Saat Idan hendak menghampiri, Dina buru-buru berlari menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Di balik pintu kamar gadis itu memegangi dadanya yang semakin berdebar.

[RWM] AKTA - Antara Aku, Kamu. dan Takdir Allah : Dian AdnanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang