Menjelang bulan Ramadan biasanya keluarga Dhananjaya akan pergi nyekar ke makam leluhur mereka. Kebetulan Bapak dan Ibu Dhananjaya adalah orang asli Semarang. Jadi, mereka bergantian ke makam orang tua masing-masing.
"Kita ke mana dulu, nih, Pa?" tanya Idan. Pemuda jangkung itu telah lama meninggalkan tradisi keluarga semenjak ia pindah ke Papua.
"Ungaran lah, ke makam Eyang Kakung sama Eyang Putri. Lanjut ke makam Simbah Roko dan Simbah Putri seperti biasanya," terang Izan. Putra kedua keluarga Dhananjaya itu datang jauh-jauh dari Salatiga untuk ikut nyekar ke makam kakek neneknya.
"Pulangnya kita bablas ke Johar, anak-anak mau lihat dugderan. Kamu ngapain aja di Papua, Dan, sampai lupa tradisi kita? Sibuk main sama cewek-cewek, ya?" tambah lelaki berwajah identik dengan Idan itu.
"Bukannya kamu seneng kalau aku jauh, Zan?" jawab Idan sinis.
"Seneng banget, aku ndak ada saingan," sahut Izan tak mau kalah.
"Udah, deh, udah. Kalian kalau ketemu mesti ribut melulu. Cepetan pada masuk mobil, keburu sore." Rianti yang baru saja keluar dari rumah memotong keributan putra-putranya. Melihat kedua lelaki kembar itu meributkan hal sepele, membuat perempuan lebih dari setengah abad itu mengelus dada. Begitulah si kembar, jika bersama alih-alih akur mereka justru sering bertengkar.
"Mbak Dina mana?" tanya Rumisah sambil celingukan mencari keberadaan nona mudanya, yang belum tampak di antara keluarga lain.
"Di sini," celetuk Dina. Kaca pintu depan Avanza hitam milik Zaki turun perlahan, menampakkan kepala Dina berbalut pasmina hitam.
"Ngopo kamu duduk di situ? Turun!" perintah Idan. "Itu kursi buat Papa."
"Papa semobil sama Abang aja, deh. Please! Aku mau bareng Kak Zaki. Kan, kangen." Dina merajuk.
Bukan tanpa alasan gadis yang biasa menempel pada abangnya itu, kini justru lebih sering menghindar. Dina ingin menyelamatkan jantungnya. Jika hanya duduk di mobil berdua saja dengan Idan seperti dahulu, apa yang akan terjadi dengan dirinya?
"Aneh mbanget kamu. Bukan Kak Zaki yang harus dikangeni, seminggu sekali kalian, kan, pasti ketemu. Yang harusnya dikangeni, tuh, Abang!" sambar Idan sedikit geram. Sejak kembali dari Papua, Dina selalu punya cara menghindari dirinya, bahkan saat bersama seluruh keluarga seperti sekarang.
"Muduno! Jatah kamu semobil sama Abang, kayak dulu. Sini!" perintah Idan lagi pada adik manjanya.
"Mbak Rum, temenin Dina, yuk!" ajak Dina.
"Eh, ndak bisa! Jatah Mbak Rum nemenin Mama. Mbak Cia, kan, ndak bisa ikut," sahut Rianti cepat. Biasanya ia duduk berdampingan dengan istri Zaki, sementara Rumisah duduk di jok belakang. Namun, kali ini sang menantu absen karena ada kegiatan menyambut Ramadan bersama kolega guru dan murid-murid di sekolahnya.
Idan melangkah mendekati mobil Zaki, sedangkan mamanya dan Rumisah sudah duduk manis di kursi penumpang. Izan beserta istri dan kedua anaknya pun memasuki mobil mereka. Zaki yang sedari tadi diam mengamati percakapan anggota keluarga lain, kini sudah menempati kursi sopir.
Tangan Idan memegang hendel pintu, hendak membuka dan menyuruh Dina turun dari mobil. Namun, sang papa yang sudah berdiri di samping mobil Idan mencegahnya.
"Uwes to, Dan, biar papa yang bareng kamu. Mreneo Cah Bagus, masuk mobil. Papa juga kangen, lho, sama jagoan Papa yang masih jomlo ini."
"Apaan, sih, Pa ...."
Melihat wajah memelas Dina, papanya mengalah. Cinta pertama putrinya itu seakan-akan tahu jika si bungsu ingin menjaga jarak dengan abangnya. Ia masuk begitu saja ke dalam Honda City milik Idan, tanpa memedulikan anak lelakinya yang masih ingin memprotes.
Sebenarnya bukan bermaksud mengalah dengan permintaan Dina, akhir-akhir ini sikap aneh putri satu-satunya itu membuat Dhananjaya merasa ganjil. Di mata sang papa, Dina bukan lagi adik kecil yang selalu menempel pada abangnya. Begitu pun sebaliknya, di mata pria tua itu tatapan anak lelakinya pada Dina lebih dari tatapan penuh kasih seorang kakak pada adiknya. Itu yang tertangkap mata jeli seorang kepala keluarga.
***
Selesai berziarah di makam orang tuanya, Rianti mengajak Idan duduk bercengkrama di angkringan sekitar Masjid Agung Kauman Semarang. Sudah enam tahun putra sulungnya tidak pulang, tentunya ibu empat orang anak itu teramat rindu pada putranya.
Sementara itu, anggota keluarga lain sedang melihat kirab budaya dugderan; festival khas kota Semarang yang menandai dimulainya ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Tradisi dugderan ini telah diselenggarakan sejak tahun 1881 pada masa Bupati Raden Mas Tumenggung Ario Purbaningrat.
Dugderan merupakan onomatope dari suara letusan. Dug yang berarti suara bedug yang ditabuh, sedangkan der adalah suara meriam yang ditembakkan. Keduanya digabungkan membentuk istilah dugderan sebagai penanda dimulainya puasa Ramadan.
Dugderan dimulai dengan dibukanya pasar rakyat di area pasar Johar, dan puncak perayaan ini diakhiri dengan kirab budaya; dimulai dari Balai Kota Semarang menuju Alun-Alun Masjid Agung Kauman.
Maskot dari kirab budaya dugderan adalah Warak Ngendog. Warak berasal dari bahasa Arab wara'a yang berarti suci atau menjauhkan diri dari hawa nafsu dan perbuatan dosa. Sedangkan pahala dari perbuatan ini disimbolkan dengan telur; dalam bahasa Jawa disebut endog. Maka, jadilah Warak Ngendog.
Warak Ngendog disebut-sebut sebagai binatang mitologis yang mempersatukan etnis di Semarang. Makhluk rekaan ini merupakan akulturasi dari tiga golongan: kepalanya menyerupai naga khas etnis Cina; tubuh layaknya unta khas etnis Arab; keempat kakinya menyerupai kaki kambing khas etnis Jawa.
Rianti sering menyamakan ketiga putranya seperti Warak Ngendog, karena perbedaan sifat mereka: Idan pekerja keras seperti Cina, Izan taat beribadah layaknya keturunan Arab, dan Zaki yang memiliki sifat kalem khas orang jawa.
"Awakmu sama Dina ono masalah opo, to, Dan?" todong Rianti setelah menyeruput teh panasnya. Wanita itu begitu penasaran dengan sikap Dina yang akhir-akhir ini berubah.
"Idan nggih kirang paham, Ma. Setelah Idan pindah ke Papua, kami jarang ngobrol. Setahun terakhir setelah Dina mengunjungi Idan di Papua, kami malah semakin berjarak. Mature Dina sibuk kuliah. Mungkin Dina mau balas dendam ke Idan, Ma. Dulu Idan yang beralasan sibuk kerja, sekarang Dina yang sibuk kuliah. Jadi, Idan kena batunya," terang Idan sembari tertawa.
Rianti menghela napas lesu. Tidak biasanya si bungsu bertingkah seperti sekarang. Dibandingkan dua saudara lelakinya, Idan lebih dominan. Gadis kecil yang dibesarkan Rianti itu selalu menempel pada si sulung. Bahkan, saat terserang demam, Dina setia menempel seperti baby koala di gendongan Idan, hingga demamnya turun. Baru setelah Idan memutuskan mutasi kerja di ujung negeri ini, Dina mulai dekat dengan Zaki, sebab anak ketiga keluarga Dhananjaya itu masih tinggal serumah. Sementara Izan berdomisili di Salatiga setelah ia menikah.
Wanita yang masih tampak muda di usia tuanya itu berharap anak-anaknya kembali dekat seperti dahulu. Suasana rumah terasa tegang, dan Rianti kurang menikmati hal itu.
"Kalau Mama ndak salah ingat, Dina ada acara buka bersama di hari ketiga puasa. Dina sudah izin sama Mama. Kamu antarin saja, Dan. Ajak dia bicara berdua di luar," usul Rianti pada sulungnya.
Idan mendengar usul mamanya dengan mata berbinar. Setelah menelan potongan terakhir mendoan, lelaki itu bersuara, "Boleh juga ide Mama. Tapi nopo Dina purun?" tanyanya.
"Nanti Mama yang atur. Kamu luangkan saja waktumu."
"Siap Ma!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[RWM] AKTA - Antara Aku, Kamu. dan Takdir Allah : Dian Adnan
RomanceOleh : @Syaadd88 Seperti konsep rezeki; min haitsu laa yahtasib, Idan juga percaya bahwa cinta akan datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Siapa yang tahu, hanya dari kata-kata nasihat adiknya yang begitu sederhana, Idan bisa jatuh cinta. Gayu...