Lembaran 4. Berbuka dengan yang Manis

10 4 2
                                    

Dina menuruti kemauan Idan untuk berbuka dengannya di restoran, setelah sebelumnya membatalkan janji berbuka puasa bersama teman-teman kajian Islam dari IKAMABA.

Setelah berputar-putar di jalan, mobil yang Idan kendarai berhenti di kawasan Simpang Lima–salah satu tempat ngabuburit pilihan warga. Disebut Simpang Lima karena menghubungkan lima jalur sekaligus, yakni Jalan Pahlawan, Jalan Gajah Mada, Jalan Ahmad Yani, Jalan Ahmad Dahlan, dan Jalan Pangandaran–arah Idan dan Dina datang sore ini.

Di tengah-tengah Simpang Lima terdapat sebuah lapangan besar nan asri bernama Lapangan Pancasila. Menurut sejarah lapangan ini telah dibangun pada masa pemerintahan presiden Ir. Soekarno.

Lapangan Pancasila kini dijadikan sebagai alun-alun kota Semarang, sebab alun-alun lama yang berada di daerah Kauman sudah beralih fungsi menjadi pusat perbelanjaan. Lapangan luas ini menjadi pusat keramaian dengan banyaknya warga Semarang maupun wisatawan yang berdatangan,  terlebih di bulan Ramadan.

Seperti sore ini, saat Idan dan Dina sampai di Simpang Lima yang juga dikenal sebagai landmark kota Semarang, keadaan sudah ramai. Banyak warga melakukan beragam aktivitas; ada yang berolahraga atau sekadar jalan-jalan. Ada pula yang menaiki wahana becak lampu, mencoba menggowes sepeda hias, ataupun naik odong-odong. Banyak anak muda mengabuburit dengan nongkrong bersama sembari menunggu waktu berbuka.

Setelah memarkirkan Mobil, tak lama azan magrib berkumandang, pertanda waktu berbuka puasa telah tiba. Idan dan Dina berencana menggugurkan puasa di Masjid Raya Baiturrahman, lalu mengikuti salat jamaah Magrib.

Di bulan Ramadan, Masjid Raya Baiturrahman menyediakan paket takjil gratis bagi jemaah, musafir, dan masyarakat umum setiap harinya. Idan dan Dina menerima satu paket takjil berupa minuman dan camilan, tetapi menolak makanan utama karena rencananya si abang akan mengajak adiknya makan berdua.

Setelah menuntaskan kewajiban salat, Idan kembali mengarahkan mobilnya menuju rumah makan yang ditunjuk Dina. Demi menghormati pilihan gadis itu, Idan membatalkan niat awalnya mengajak pujaan hati ke sebuah restoran mewah.

Sesampainya di rumah makan, Idan turun terlebih dahulu, disusul Dina yang masih berusaha merapikan gamisnya. Sejenak, Dina berdiri mematung, matanya menyorot punggung lebar lelaki yang melangkah di depannya, seiring debar yang tiba-tiba saja menggila.

Untuk beberapa saat Dina bisa bernapas dengan lega setelah terkurung satu mobil bersama abangnya. Badan mobil itu terasa sempit dan mengimpit, seolah-olah tidak ada udara untuk ia hirup. Saat ini, Dina berusaha meraup udara sepuasnya, sebelum masuk ke rumah makan dan duduk bersama Idan–lelaki gila yang menodai dirinya dengan menghadiahi ciuman pertama, satu tahun lalu.

***

Orak ilok diemin Abang begitu, Dina!”

Selesai menyantap hidangan berbuka puasa dalam diam, kini Idan mulai membuka obrolan. Kenangan yang Idan rindukan selama enam tahun memisahkan diri dari keluarga; duduk berdua dengan si bungsu lalu berkisah tentang banyak hal.

“Salah sendiri,” sewot Dina seraya memalingkan wajah pada keramaian di sudut lain.

Idan memilih meja di sudut ruangan dekat jendela; meja yang lebih kecil dengan empat kursi, dan cukup sepi. Sedangkan di meja-meja lain di seberang tempat duduk mereka, orang-orang sedang berbuka puasa bersama keluarga atau teman-temannya.

“Memangnya Abang salah opo? Cuma cium ini. Dulu saja kalau nggak dicium malah minta.”

“Astaghfirullah, Abang! Pelan-pelan ngomongnya!” pekik Dina seraya kembali menoleh pada lelaki di seberang meja. Matanya memelotot.

“Kenopo? Isin?”

“Dulu Dina masih kecil, masih lugu, masih bodoh. Dulu Abang ciumnya di pipi, nggak di ….”

“Di mana?” pancing Idan, senyumnya yang tampak menggoda membuat Dina malu dan salah tingkah.

“Ah, udahlah lupain. Ngapa, sih, Abang pulang? Sudah bagus tinggal jauh di sana,” elak Dina mengalihkan obrolan tentang hal tabu menurutnya, di tempat umum pula.

“Heh!? Kan, kamu yang minta Abang pulang. Abang sudah bilang sama kamu, kan, kalau kontrak Abang masih setahun lagi. Abang bakal mulih nek kontrak Abang uwis bar. Iki wis setahun. Memange kamu lebih suka Abang tinggal jauh? Orak kangen Abang?”

Orak ik,” jawab Dina cepat sambil melengos.

Ngapusi.”

“Kok, rak ngandel.”

“Lihat Abang, Dina!” Kedua tangan Idan terulur, berusaha menangkup wajah adiknya. Spontan Dina memundurkan badan, ketika ujung maniknya menangkap kelebat tangan besar milik abangnya terangkat.

“Jangan sentuh!” geramnya.

“Memange kenopo?” Idan terkaget, lalu menarik tangannya kembali.

“Abang sama aku bukan mahram,” desisnya sembari menegakkan tubuh, berusaha angkuh.

Dina sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lemah dan manja lagi, terlebih di hadapan abangnya. Dahulu, Dina adalah gadis cengeng yang selalu meminta perlindungan semua saudara lelakinya. Sebagai bungsu, mama papanya sangat memanjakan, apalagi dia anak perempuan satu-satunya.

“Jadi, akhirnya kamu mengakui, kan, kalau kita nggak sedarah. Lalu, apa salah kalau Abang menaruh rasa padamu? Bukankah itu sah?” desak Idan. “Abang akan terus mencintai kamu tanpa perlu meminta persetujuan. Mengerti?”

“Lha, kok, mekso! Abang kayak bukan Bang Idan yang Dina kenal dulu.”

“Makanya mulai sekarang jangan jauhin Abang. Jangan menghindar. Abang cuma pengen lebih kenal kamu sebagai Dina. Sebagai wanita, bukan sebagai adik manjanya Abang.”

Pada Sang Pemilik Hati, Dina mengakui kalau hatinya berdebar ketika dekat dengan lelaki berwajah tampan di hadapannya. Saat sepertiga malam, ia selalu bersimpuh mengadukan segala kegundahan, meminta jalan terbaik bagi dirinya.

Namun, saat pagi tiba, lalu Dina turun dari kamarnya, di kursi meja makan telah duduk dua orang yang Dina cinta: papa dan mama. Pada hati kedua malaikat di hidupnya itu, Dina tidak ingin menggoreskan kecewa.

Bagaimana jika orang tuanya tahu bahwa alasan Idan meninggalkan rumah, dan enggan menikah hingga sekarang adalah dirinya?

Nek aku mboten purun, piye jal?”

Di luar dugaan, Idan mencondongkan badannya, dekat sekali hingga membuat Dina terkesiap. Idan berkata lirih, “Yo, tak ambung terus sampai kamu manut,” candanya.

Plaaakk

Tanpa Idan duga, ada benda padat yang menghampiri sisi wajahnya. Lelaki itu meringis menerima satu hadiah manis dari Dina. Tangan ringkih itu mendarat di pipi kanan abangnya, meninggalkan jejak panas di sana.

[RWM] AKTA - Antara Aku, Kamu. dan Takdir Allah : Dian AdnanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang