"Mau diantar ke mana?" Alfi menoleh sekilas pada gadis yang duduk di sebelahnya. Kedua tangannya sedang mengemudikan setir.
Aqilla tidak menjawab, masih menghadap lurus ke jalan. Sejujurnya, dia enggan pulang. Ke mana saja Alfi menurunkannya, dia tidak peduli, asalkan jangan pulang.
"Aqilla ..." Alfi menjentikkan jari untuk memberi perhatian gadis itu karena pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban.
"Kamu mau pulang?" Bukannya mejawab, Aqilla balas bertanya.
Kebingungan Alfi menjawab, "Aku mau mampir ke rumah sakit dulu."
"Siapa yang sakit?" Aqilla penasaran.
"Nenekku." Tanpa menghadap pada gadis di sebelahnya, Alfi memberi tahu, "Beliau sedang dirawat di rumah sakit."
"Sakit apa nenekmu?" tanya Aqilla serius.
"Sudah tua." Alfi menekan klakson untuk menegur sepeda motor di depannya yang belum juga melaju padahal lampu lalu lintas sudah berganti hijau sejak lima detik lalu. "Gula darahnya tinggi, tensinya tinggi, kakinya susah jalan."
"Ya, Allah." Aqilla prihatin.
Setelah membelokkan setir ke jalan Airlangga, Alfi kembali menatap sekilas gadis berhidung mancung di sebelahnya. "Kamu mau diantar ke mana? Balik kampus atau ke rumahmu?"
Aqilla sontak menggeleng saat mendengar kata rumah disebut. Gadis berkulit putih itu memberanikan diri menjawab, "Boleh aku ikut menjenguk nenekmu?"
"Hah?" Alfi tidak mengerti. "Kenapa?"
"Nggak boleh, ya?" Aqilla memberikan tatapan memelas pada Alfi.
"B--bukannya nggak boleh." Alfi menggaruk kepala, bingung harus menjawab apa. "Boleh, sih. Tapi ..."
"Aneh, ya?" Aqilla menebak keengganan Alfi menerima permintaannya. "Kita baru ketemu, aku udah minta jenguk nenekmu."
Sejujurnya, iya. Itu yang jadi alasan utama Alfi enggan menerima permintaan gadis asing di sebelahnya. Tapi, tidak mungkin dia mengatakannya. Takut Aqilla tersinggung.
"Ya ... nggak juga." Alfi menyangkal tebakan Aqilla. "Aku cuma bingung kalau nanti ditanyai nenek siapa kamu. Aku harus jawab apa? Soalnya selama ini, aku nggak pernah ngajak cewek menemui Beliau." Dia tidak bohong. Itu juga yang menjadi pertimbangannya enggan menerima permintaan Aqilla.
"Temen, kan, bisa." Aqilla menjawab enteng.
Alfi kembali menggaruk kepala. Dia membayangkan akan seperti apa reaksi neneknya saat melihat Aqilla datang nanti.
"Atau gini, deh." Aqilla memberi ide lain. "Aku nunggu di parkiran selama kamu jenguk nenekmu di rumah sakit. Gimana?"
Alfi semakin tidak mengerti. Mengapa gadis ini bersikeras mengikutinya ke rumah sakit?
"Nggak boleh juga, ya?" Tatapan memelas Aqilla kembali menusuk hati nurani Alfi.
Di persimpangan yang menghubungkan jalan kampus dengan rumah sakit, Alfi memutuskan untuk menepi dan menghentikan mobilnya.
Setelah menarik tuas handrem, pemuda bercambang tipis itu menghadap gadis lugu di sebelahnya. "Sejujurnya, aku nggak keberatan membawamu ke rumah sakit. Kamu juga boleh menjenguk Nenekku. Tapi masalahnya, ini udah sore."
Alfi melihat jam digital di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul 16.00. "Apa kamu nggak takut padaku?"
Tanpa ragu, Aqilla menggeleng.
Alfi keheranan menanggapi sifat polos gadis berwajah molek. Dia kembali bertanya, "Gimana kalau aku ternyata orang jahat yang akan membawamu ke tempat sepi, lalu memperkosamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely Letting You Go
RomancePerjodohan di kalangan warga Arab keturunan merupakan hal lumrah. Apalagi bagi seorang Syarifah yang harus tunduk pada aturan kafa'ah. Agar nasabnya terhadap Rasulullah tidak terputus, mereka harus rela dijodohkan dengan seorang Habib. Begitu pula A...