Feni semakin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerja miliknya. Menyamankan duduknya karena merasa terlampau lelah. Ia menatap jauh pada tembok putih dengan hiasan lukisan burung merak dalam ruang kerja miliknya. Ia menghela nafas panjang lagi, entah sudah yang ke berapa kali. Ia masih tenggelam dalam kilasan rasa sesal di tumpukan memori yang berputar selayaknya potongan potongan film yang kembali ditayangkan dalam layar perak ruang otaknya. Andai saja bisa, ia ingin memutar kembali waktu. Setidaknya ia ingin menghantamkan nampan kearah kepalanya sendiri agar ia melupakan ambisi tentang kebahagian dua sahabatnya dalam satu jalinan asmara kala itu.
"Kalau aja dulu gue ga sekeras itu deketin lo sama Gracia. Mungkin lo ga akan ngerasain sakit sampe segininya, Shan. Gue pengen yang terbaik buat kalian berdua. Tapi, obsesi gue itu justru bikin kalian jadi saling nyakitin begini. Maafin gue, Shan. Maaf.."
Pelupuk mata gadis geulis itu mengembun. Perasaan bersalah itu benar benar membungkus seluruh perasaan dan logikanya, meskipun bukan salahnya juga, namun ia tetap saja menyalahkan dirinya sendiri atas luka yang menganga dalam hati Shani.
Flash back
Akhirnya waktu yang Feni tunggu tiba juga. Saking excitednya, sejak pagi senyum Feni sama sekali tak luntur, memikirkan betapa manis dan lucunya nanti jika kelak Shani dan Gracia bersatu. Bahkan tingkah aneh yang disebabkan pikiran pikiran absurdnya itu membuat Shani merinding karena takut sahabatnya itu ketempelan makhluk tak kasat mata.
Beberapa kali, Shani harus menegur Feni yang lagi-lagi ketahuan senyum senyum sendiri. Shani bahkan menyuruh Feni untuk pulang dan mengambil libur istirahat. Mungkin Feni butuh waktu buat mendinginkan otaknya karena beberapa hari ini kerjaan yang harus di handle oleh nya, mendadak bertambah empat kali lipat banyaknya.
Bukan Feni namanya jika ia menurut begitu saja. Apalagi kalau dia sampai pulang, maka akan menjadi sia sia rencana yang ia susun berhari hari itu karena tak terlaksana. Perdebatan cukup sengit sempat terjadi antara bos dan asisten itu. Feni yang ngotot mau menemani Shani rapat, dan Shani yang tak ingin ditemani Feni menghadiri rapat guna mencari investor sebuah kawasan elit yang akan dibuka di pusat kota. Ia takut Feni justru akan kesurupan nanti di rapat itu.
Jelas, Feni dengan lantang mengatakan jika ia tak kesurupan atau tak sedang ketempelan makhluk halus. Ia sehat, ia waras, dan ia sadar. Tentu saja, Feni tidak akan jujur pada Shani perihal apa yang membuatnya bersemangat hari ini, karena sudah di pastikan Shani akan marah padanya. Terlebih lagi ia sudah menantikan momen ini, jadi ia harus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Pasalnya Feni tau jika Gracia diutus oleh papa Roger untuk menghadiri rapat tersebut. Kesempatan emas bagi Feni untuk mempertemukan Shani dan Gracia ditengah buntu bagaimana cara mempertemukan Shani dan Gracia.
Setelah perdebatan panjang, akhirnya Shani pasrah dan mengalah. Feni, sudah pasti bersorak bahagia dalam hatinya.
Di sebuah ballroom megah nan mewah, Shani yang datang dengan memakai setelan kantor berwarna hitam, dan Feni yang memakai setelan berwarna biru cerah, membuat para peserta rapat berdecak kagum.
Kagum pada sosoknya yang jelita, dan kagum pada kinerjanya.
Feni yang duduk disebelah kanan Shani tampak celingukan mencari seseorang yang menjadi target utamanya. Sosok mungil yang cukup sulit ditemukan diantara banyak orang dengan tinggi menjulang, besar dan tegap.
"Feni, kamu kenapa?" Bisik Shani penasaran dengan tingkah Feni aneh hari ini.
"Nyari sahabat aku. Katanya dia mau ketemu kamu." Tentu saja itu adalah akal akalan Feni. Karena Feni sama sekali tak memberitahukan apa apa pada Gracia, pun pada Shani.
KAMU SEDANG MEMBACA
KESEMPATAN KEDUA [GreShan]
Teen FictionPenyesalan akan selalu datang belakangan. Segala sesuatu yang menyakitkan, akan termaafkan. Tapi tak akan terlupakan. Terlebih, sebabnya adalah pengkhianatan. Seperti halnya kaca yang pecah berantakan, bagaimanapun usahanya, tak akan bisa kembali u...