Scenario 2: Father's Day

90 13 5
                                    

Matahari baru saja muncul di balik jendela, tapi Mix sudah sibuk sejak pagi. Rambutnya masih basah, kaos belel yang ia pakai tampak kusut, dan celana pendek yang belum sempat diganti membuatnya terlihat seperti baru bangun tidur. Semua ini gara-gara Phuwin yang mendadak memberitahunya tadi malam bahwa hari ini ada perayaan Hari Ayah di sekolah. Dadakan, tentu saja.

Mix tidak sempat berpikir panjang setelah membaca selembar kertas pengumuman yang ia temukan dari tas sekolah Phuwin semalam. Katanya Phuwin lupa memberikannya dari dua hari lalu. Tidak sempat mengomel, ia langsung menuju pasar, yang saat itu hampir tutup. Dengan bahan seadanya, ia berhasil membawa pulang daging, roti tawar, dan beberapa sayur—cukup untuk membuat tumis daging sederhana dan empat potong sandwich yang diisi dengan apa saja yang bisa ditemukannya. Bukan yang paling spesial, tapi setidaknya cukup untuk mengisi perut satu pria dewasa dan satu anak lima tahun.

"Papa, jangan lupa saus dipisah, ya," perintah Phuwin dari atas kursi meja makan. Dia nampak santai menikmati sarapan paginya tanpa rasa bersalah. 

"Iya," jawab Mix masih kalem.

"Bawa dagingnya yang banyaaakk!" Phuwin berbicara lagi, nyaris menyemburkan nasi dari mulutnya. "Seragam olahraga Phuwin juga harus wangi."

Mix tidak menjawab. Sibuk menata bekal dengan cantik ke dalam kotak bekal—si perfeksionis.

Tumis daging masuk ke kotak makan, sandwich sudah dibungkus rapi, dan Mix meletakkan potongan buah di wadah kecil untuk cemilan.

"Papa..."

"Satu hal dalam satu waktu, Phuwin!" seru Mix sambil bergegas mendekatinya. Dia langsung mengeringkan rambut Phuwin dengan cepat menggunakan handuk yang tergantung di punggung kursi. "Kita harus cepat atau nanti kita telat."

Sambil mengeringkan rambut keponakannya, Mix melirik jam dinding—waktu sudah semakin sempit. Setelah itu, ia membantu Phuwin memakai seragam olahrga, dan mengencangkan tali sepatu. 

Mix memastikan sekali lagi kalau semuanya sudah siap. Bekal, baju ganti, handuk, dan kotak obat—untuk jaga-jaga kalau salah satu dari mereka terluka. 

"Tunggu sebentar, papa ganti baju dulu."

Mix berlari ke kamar, membuka lemari dengan tergesa-gesa. Ia meraih kaos pertama yang ada ditumpukan paling atas dan celana training yang berada ditumpukan paling bawah karena ia -ekhem- jarang berolahraga.

"Papa! Ayo cepat!" suara Phuwin terdengar dari ruang tamu, memanggil dengan penuh semangat.

"Sebentar lagi, sayang!" Mix menjawab sambil buru-buru mengikat tali celananya dan meraih jaket. Dia lalu menggandeng tangan Phuwin yang sudah menunggu di depan pintu dengan wajah cerah dan tas kecil menggantung di punggungnya.

Perjalanan ke sekolah hanya butuh waktu lima belas menit. Lima menit jalan kaki ke halte dan sepuluh menit dengan bus. Di sepanjang jalan Phuwin berceloteh panjang lebar, misanya seperti dia yang akan jadi perwakilan cerdas-cermat untuk kelasnya. Phuwin memang pintar, bukan anak yang nakal juga dan Mix mau menyombongkan diri kalau dirinya berhasil mendidik anak kakaknya itu menjadi anak yang baik. Duh, rasanya hidung Mix jadi tambah lima senti karena kesombongannya.

Sedari turun dari bus, tangan mereka bergandengan erat. Phuwin dengan riangnya menyapa guru-guru yang menyambut mereka di gerbang. Begitu Phuwin mendekati kelasnya dan melihat teman-temannya sedang berkumpul, anak kecil itu melepas tautan tangan mereka dan berlari menyusul teman-temannya. 

Energi anak kecil umur lima tahun tuh, seberapa banyak, sih?

Mix duduk di pinggir lapangan supaya bisa tetap mengawasi Phuwin. Memilih tempat di bawah pohon karena matahari pagi ini terlalu bersahabat untuk acara hari ayah hari ini. Di sebelahnya sudah ada pria lain—wali murid lain yang sudah duduk dengan tegap, tangannya terlipat di depan dada dan wajahnya tidak ada keramahan. Di balik kacamata hitam pria itu, Mix tidak bisa memastikan apakah orang itu tidur atau terjaga.

[EarthMix] Our ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang