"Siniin duit lo!"
"Pril, Pril, jangan! Cuma segitu yang gue punya! Lagian masih pagi belum ada yang beli."
"Ck, lama."
Dwi Aprilika Abimana, putri kedua dari keluarga Abimana yang memilih hidup di jalanan daripada rumahnya sendiri yang megah bak istana.
Kesehariannya seperti sekarang ini. Memalaki para pedagang asongan supaya dia bisa bertahan hidup. Ya, April tengah merebut penghasilan pedagang asongan itu. Namun, untuk pedagang asongan yang satu ini adalah sahabat April.
Setelah April mengambil uang milik Aruna--si pedagang asongan, gadis itu malah memberikan lembaran lain yang lebih banyak dari sakunya dan ditaruh di tangan Aruna.
"Buat sebulan. Jangan boros-boros jadi anak, kasihan orang tua lo," pesan April setelah memberikan uangnya kepada Aruna.
Tidak banyak, hanya cukup untuk makan sebulan.
"Ini serius buat gue?" tanya Aruna.
"Hm. Gue baru dapat kiriman dari bokap. Tapi, karena gue gak sudi pake duit dia, jadi mending gue malakin lo aja terus gue ganti pake duit dari bokap," ucap April dengan wajah sendu.
Aruna pun mengajak April untuk menepi, duduk di pinggir trotoar. Walau April dilahirkan dari keluarga serba ada, tetapi tetap saja dia lebih suka tinggal bersama Aruna dan keluarga Aruna. Ibu Aruna lebih baik daripada ibunya, dan ayah Aruna jauh lebih baik lagi daripada ayahnya.
Sekalipun sederhana, April lebih bersyukur bersama Aruna.
Namun, April tidak selalu tinggal di rumah Aruna karena merasa tidak enak dengan kedua orang tuanya. Jadi, gadis itu biasanya akan tidur di gubuk dekat hutan yang sewaktu-waktu akan digusur pasti.
Aruna mengelus bahu sahabatnya. "Gue ngerti. Tapi, duit yang lo kasih ini terlalu banyak buat gue. Diimpasin aja, ya?"
"Oh, jadi lo nolak pemberian dari gue?"
"Bukan gitu, Pril."
"Terus?"
April menatap tajam Aruna. Sahabat April itu pun menggelengkan kepala. Kalau sudah ditatap tajam oleh April, Aruna tidak bisa apa-apa. Tatapan tajam itu terlalu menusuk bagi Aruna.
"Gak, bukan apa-apa," balas Aruna. "Emm, kalau gitu lo ambil aja roti gue. Buat sarapan. Lo pasti belum sarapan, 'kan?" Aruna mengambil roti kepada April, yang seharusnya ia jual.
April tidak menolak. Ia menerimanya dengan senang hati. "Thanks, ya? Lo emang paling bisa ngertiin gue."
"Sama-sama."
Selagi April memakan rotinya, gadis berambut panjang yang dicepol asal itu bertanya kepada Aruna, "Lo jadi sekolah di SMANDA?"
"Jadi. Baru pendaftaran ulang kemarin."
"Wah, congrats."
"Kalau lo?"
April mengulas senyum tipis. Gadis itu menatap lurus ke depan, kosong. Ia merasa hidupnya terlalu diatur oleh kedua orang tuanya, padahal April yakin dia bukan anak yang diharapkan.
Jika memang April diharapkan, lantas mengapa gadis itu tidak boleh tinggal dengan kedua orang tuanya? Meminta orang tuanya untuk tidak bercerai, tetapi sepertinya dialah yang dibuang. Kakak laki-lakinya tinggal bersama ibunya, dan adik perempuannya tinggal bersama ayahnya.
Walau setiap bulan ayahnya selalu mengirimkan uang, April tidak pernah memakainya. Ia selalu memberikan uang itu kepada panti asuhan atau orang yang lebih membutuhkan. Kalau Aruna, sudah pasti gadis itu berikan.
April lebih suka memalak uang orang daripada memakai uang dari ayahnya. Bisa dibilang, dia anak jalanan dan preman.
"Gue dimasukin sekolah tata busana. Sekolah yang didonasiin sama bokap gue."
"Lo gak senang?"
"Gue pengen masuk teknik, Na. Gue gak suka ngedesain baju."
Aruna hanya bisa menatap iba April. Walau Aruna hidup sederhana, setidaknya orang tua dia tidak banyak menuntut. Sekalipun Aruna harus kerja keras untuk membantu ayahnya mencari nafkah.
Ketika mereka berdua hening, tiba-tiba dering ponsel April bunyi. Ia pun segera mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Bob? Kenapa?"
"M-motor lo, motor lo ancur, Pril! Ada aki-aki yang nabrak gue pas gue pake motor lo."
"Bangsat. Lo di mana sekarang?"
"Rumah sakit."
"Shareloc sekarang! Gue OTW!"
[Bersambung]
Halo, gimana prolognya? Biasa aja apa bikin penasaran? Hehe.
Semoga suka sama ceritanya dan bisa ngikutin sampe tamat, ya! Makasih udah mampir.
Jangan lupa votment dan follow ig author @_kabeyyyyy atau @author.ekanurfad_
Baibaii..
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Pesantren
SpiritualIni tentang Zein Fathurrahman, anak dari Kiai Salman yang dimasukkan ke pondok milik Kiai Sulaiman. Remaja 15 tahun yang selalu dibotaki oleh Ustaz Farhan karena sering melanggar aturan pesantren. Hingga dia bertemu seorang gadis di luar pesantren...