١. تِيْدَكْ سَوْفَنْ

2.5K 165 21
                                    

April dan Aruna berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Setelah diberitahu di mana temannya itu berada, kedua gadis itu langsung menuju ruangan.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di ruangan Bobi—teman April, gadis itu langsung membuka pintu ruangan tanpa mengucapkan salam sama sekali atau bahkan mengetuk pintu.

"Bobi! Lo gak apa-apa?" tanya April begitu khawatir. Ia langsung memegang tangan Bobi dan terasa bahwa gadis itu gemetar.

"Motor lo—"

"Gak usah mentingin motor gue dulu. Yang penting lo gak apa-apa, 'kan, Bob?" sela April. Bisa-bisanya temannya satu itu malah mementingkan motor daripada keselamatannya.

"G-gue gak apa-apa, kok."

"Syukurlah."

April menghela napas lega. Aruna yang berdiri di sebelah gadis itu pun menatap satu orang yang ternyata berdiri di sebrang brankar. Pria tua dengan jubah putih yang dipakainya itu tersenyum kepadanya. Dari tampangnya, siapa pun pasti akan menilai bahwa pria tua itu adalah seorang kiai.

"Bapak ini yang bikin lo kayak gini, Bob?" tanya Aruna, membuat April yang tadinya fokus dengan Bobi mengalihkan perhatiannya.

Bobi menoleh ke arah pria tua itu. Lalu menatap Aruna. "Iya. Tapi gue udah gak apa-apa, kok. Gue yang salah karena nyalip, jadi keserempet dan ketabrak sama Pak Salman."

Pria yang diketahui bernama Salman itu mengatupkan kedua tangannya. "Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya juga salah, dan bikin teman kalian celaka. Tapi saya akan tanggung jawab sampai teman kalian sembuh. Saya janji."

"Bajingan," desis April emosi.

Gadis itu melepaskan genggaman tangannya dari Bobi. Ia melangkah mendekati Kiai Salman, dan memelototi pria yang usianya jauh dari dia. Bahkan, lebih tua dari kedua orang tua April.

Senyum smirk pun April tunjukkan, lalu tangannya menunjuk ke arah Bobi. Ada desis tak suka yang gadis itu lepaskan.

"Minta maaf lo bilang? Lo tahu gak kalau lo nyelakain teman gue? Kalau teman gue mati gimana? Lo mau tanggung jawab dengan gantiin nyawa lo gitu? Lain kali kalau gak bisa bawa mobil, gak usah bawa mobil! Jangan mentang-mentang lo kaya lo bisa seenaknya!" teriak April di depan bapak itu.

Kiai Salman hanya bisa mengelus dada melihat gadis yang tidak sopan ini. Di mana adabnya? Di mana adab ketika seorang yang lebih muda berbicara dengan yang lebih tua?

Miris.

Kiai Salman merasa miris dengan gadis ini.

"Sekali lagi saya minta maaf. Tapi teman kamu tadi sudah bilang, 'kan, kalau dia juga salah? Jalanan lagi ramai, dan teman kamu nyalip ke bahu kanan jalan khusus mobil. Ya, jangan salahkan saya kalau saya gak sengaja nabrak dia karena saya juga reflek kaget dia nyalip, Nduk," jelas Kiai Salman, berusaha tetap rendah suara walau April sudah menginjak-injak harga dirinya sebagai orang tua.

April masih dengan senyum smirk-nya. Menatap kiai itu dengan penuh intimidasi. Melihat penampilan pria tua itu dari bawah lalu ke atas, dan terus mengulanginya.

Benar-benar tidak sopan.

"Terus gue biarin lo gitu aja? Setelah lo bikin temen gue masuk rumah sakit, gue gak menjarain lo gitu? Nih! Gue telpon polisi sekarang!" April mulai mengambil ponselnya yang ada di saku, lalu mengetik nomor darurat polisi untuk melaporkan kejadian yang sebenarnya tidak April ketahui kebenarannya.

Ya, jika diteruskan yang ada April yang akan masuk penjara karena pencemaran nama baik.

Aruna yang melihat sahabatnya itu gegabah, langsung mengambil ponsel April yang sudah ditempelkan ke telinga gadis itu. April berbalik badan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bad Boy PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang