12. Kebenaran

589 83 14
                                    

Happy Reading!



































Setelah pertemuan di restoran itu Widya mengajak Bima untuk ikut dengannya sebentar. Bima hanya menurut. Lagipula dalam hati ia senang tiap kali berduaan dengan Widya dan kali ini sahabatnya itu yang mengajaknya lebih dulu.

Motor Bima berhenti pada sebuah taman di pinggir jalan. Widya melangkah lebih dulu sedangkan Bima ingin membeli minuman dulu. Haus katanya.

"Tumben banget ngajak gue jalan-jalan?"

Widya menoleh, Bima sudah berada di hadapannya sambil menyodorkan sebotol minuman dingin.

"Thanks," balas Widya seraya mengambil minuman tersebut. "ya sekali-kali lah, Bim, gue bosen dari kemarin ngurusin masalah kak Steve sama kak Gi," tuturnya kemudian.

"Oh," hanya itu reaksi Bima, mengambil duduk di sebelah Widya.

Pemandangan malam itu cukup cerah, Widya dapat melihat indahnya langit yang dihiasi bintang-bintang. "Bim," panggilnya.

"Ya?"

"Lo lagi suka sama siapa?"

Bima terheran. "Tiba-tiba banget?" kerongkongannya terasa kering tiba-tiba. Ia meneguk minumannya, mencoba menghilangkan rasa gugupnya akibat pertanyaan Widya.

"Ya nggak papa, penasaran aja. Pacar lo terakhir kan pas kita semester satu tuh.. gue penasaran aja kenapa lo belum punya pacar sampai sekarang?" Widya mengingat sosok mantan Bima kala itu, kalau ia tidak salah namanya Angel, anak ekonomi seangkatan mereka. Setahu Widya Bima dan cewek itu cukup lama berpacaran, mungkin ada hampir setahun sebelum akhirnya ia mendengar kabar bahwa mereka putus. Kata Bima sih karena nggak cocok aja.

"Lo mau gue jujur?" tanya Bima setelah terjadi keheningan cukup lama.

Widya mengangguk sembari meneguk minumannya.

Bima tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya berkata, "Lo, Wid. Orang yang gue suka itu elo."

Widya terdiam. Minuman yang hendak ia teguk terhenti begitu saja di depan bibirnya. Sebenarnya ia sudah menyadari bahwa sahabatnya itu menaruh perasaan lebih padanya. Ingat, Widya itu paling cerdas dari saudara-saudarinya. Gelagat Bima padanya terlalu jelas.

"Maaf kalau gue bikin lo shock."

Kepala Widya tertoleh pada Bima. "Bim, lo tahukan lo itu sahabat gue yang paling berarti?"

Bima menghela nafasnya. Ia sudah tahu ini akan terjadi kalau ia menyatakan perasaannya. "I know. Gue ngerti banget soal itu, Wid. Tapi gue nggak bisa maksain perasaan gue juga. Gue nggak mau nyembunyiin ini lagi dari lo." Ia menatap netra Widya, tampak serius. "Waktu itu gue pikir gue bakal bisa ngelupain lo dengan pacaran sama cewek lain tapi ternyata nggak bisa, Wid. Waktu lo curhat tentang cowok yang lo suka, itu bikin hati gue keiris tahu nggak?"

Widya hanya terdiam. Sepertinya ia membiarkan Bima mengeluarkan uneg-unegnya.

"Gue kira perasaan gue selama ini cuman sekedar rasa khawatir gue karena takut kehilangan lo sebagai sahabat, tapi semakin kesini gue sadar kalo gue nggak hanya nganggep lo sebagai sahabat, Wid. I'm sorry that i love you." Bima kemudian meneguk kembali minumannya. Jantungnya berdegup kencang setelah membuat pernyataan panjang itu.

Widya sendiri masih diam tak memberi reaksi. Kalau boleh jujur, ia sendiri juga tak suka saat Bima dekat dengan cewek lain. Rasanya seperti tempatnya diambil karena sejak kecilpun mereka selalu bersama, bahkan sekolah sampai kampus mereka juga sama. "Bim.. untuk saat ini gue nggak mau nolak ataupun nerima, tapi.. lo mau bikin janji sama gue nggak?"

The WidjacksonosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang