something no one else had ever found a way to do

23 5 0
                                    

Februari, 2017.

"Ah, aku lupa harus bawa Undang-Undang Ketenagakerjaan yang itu, Deb!" seru Dinda saat mengobrak-abrik isi tasnya. "Aduh, boleh aku pinjam dulu enggak buat kelas nanti? Kelasku lima belas menit lagi, kalau balik--"

"Nih, enggak usah banyak alesan ini-itu deh," Debra langsung menyodorkan undang-undang yang dibawanya. Dia sudah selesai kelas itu tadi, sementara Dinda baru akan masuk kelas ketenagakerjaan di jam satu siang ini. "Aku mau ke perpus dulu sih habis ini."

"Mau nungguin aku sampai selesai kelas, Deb?" tanya Dinda.

"Ya ampun, kelasmu masih selesai jam tiga nanti, Dindong! Bisa kayak ikan teri kering kalau aku lama-lama di perpus luntang-lantung."

"Tidak ada yang menyuruhmu untuk luntang-lantung di perpus juga, Deb! Kau bisa mengerjakan waris tadi pagi..."

Debra langsung mendengus sebal. "Hidupmu apa enggak ada kerjaan lain selain tugas, tugas dan tugas, Din?" Keluhan yang dilontarkan Debra, hanya dibalas senyuman tipis dari Dinda. "Pantas hidupmu monoton terus. Kapan berwarnanya dong? Kalo Hans pulang?"

Dinda harus mengakui hal yang dielaknya berminggu-minggu ini. Setidaknya, dalam hatinya sendiri, dia memang sangat merindukan sosok Hans.

Kadang laki-laki itu senang mengganggunya di kelas saat mereka kebetulan mengambil kelas yang sama.

Terkadang juga laki-laki itu mengajaknya untuk bolos kelas, dan mengajak Dinda untuk berdiskusi mengenai materi seputar perkuliahan.

Tak jarang juga, laki-laki itu menyodorkan buku kepada Dinda untuk dibaca, dan meminta Dinda untuk merangkum isinya per bab.

Setelah Dinda mengamuk karena kesal, biasanya laki-laki itu akan membelikan Dinda minuman. Hanya es teh manis. Kalau Dinda masih kesal juga, barulah laki-laki itu mengajak Dinda untuk mengambil helm, dan mereka akan pergi jalan-jalan ke Kopeng atau Magelang atau Semarang.

Memang Hans adalag alasan lain kenapa Dinda semangat untuk bangun pagi tiap hari dan berangkat kuliah. Entah kenapa, menghabiskan waktu dengan Hans tidak pernah terasa membosankan untuknya. Walaupun kegiatan yang dilakukan mereka mungkin membosankan.

"Kau merindukannya, kan?"

"Siapa yang rindu?"

"Dindong... Jelas-jelas raut kerinduan itu tergambar jelas di mukamu. Hans memang menyebalkan, tapi kalau tidak ada dirinya membosankan." Debra melihat jam di ponselnya, "Mendingan kau masuk kelas dulu. Biar aku bisa ke perpus. Kabari saja nanti kalau kelasmu sudah selesai ya."

Dinda berjalan menuju kelas dan duduk kursi barisan keempat dari depan. Kursi favoritnya adalah duduk di samping jendela. Dia bisa melihat pemandangan sepak bola kalau-kalau sudah bosan dengan ceramah dari dosennya.

Bu Titis, dosen matakuliah hukum ketenagakerjaan itu memang terkenal baik dan ramah. Namun, jangan sekali-kali mencoba meremehkan aturan mainnya di kelas. Kalau beliau bilang maksimal hanya 3 kali jatah bolos, ya memang hanya segitu.

Tapi, terkadang Bu Titis memberikan dispensasi juga satu kali untuk alasan yang benar-benar bisa diberikan toleransinya.

"Ada yang bisa menjelaskan macam-macam bentuk penyelesaian hubungan industrial?" Tanya Bu Titis pada mahasiswa di kelas.

Ini materinya beliau minggu lalu sebenarnya. Tapi, begitulah Bu Titis. Sukanya memberikan tes kecil-kecilan di kelas.

"Ya, Hans. Silahkan jelaskan."

Dinda segera mengangkat kelopak matanya, lehernya mencari-cari keberadaan Hans yang sudah disebut kehadirannya oleh dosen.

"Ada mediasi, bipartit, tripatit, sampai ke gugatan hubungan industrial, Bu."

Something About LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang