3: [ He cannot be real ]

8 1 0
                                    

L I L Y

"Itu Will." Mace menunjuk kearah laki-laki paling tinggi dan bentuk tubuh paling proporsional dari yang lain. Aku belum melihat wajahnya secara jelas sampai ketika Ia berbalik menatapku.

God! Sepertinya Tuhan sedang tersenyum bahagia ketika sedang menciptakannya.

Aku memang sudah melihat William sebelumnya, tapi malam ini Ia benar-benar tampan dan akhirnya aku menyadari betapa sempurnanya setiap seluk-beluk di wajahnya. Hidung yang mancung dan rahang yang benar-benar terpahat dengan rapi. Rambut cokelatnya lurus tersisir dan mengkilap. Mata birunya yang agak kelabu memancarkan tatapan dingin yang membuat hatiku sedikit menyusut.

"Dia sangat tampan. Bukankah begitu, Emery?" Mace berbisik disebelahku.

Kakiku hampir saja lemas ketika Ia melangkah mendekat. "Emery? Right?" tanya William dengan suara beratnya dan aku mengangguk. Ia beralih pada Mace, "You may go home, Mace."

"Selamat Malam, Mr. Miller." Mace pamit dan memberikan senyumannya padaku. Oh, mungkin itu adalah senyum terakhirnya yang bisa kulihat. Aku mengikuti William yang berjalan dengan tenang menuju Ballroom. Sial. Terlebih terlihat seperti kencan, aku lebih mirip seperti sedang mengekornya.

Tiba-tiba Ia berhenti, "Aku menyewamu untuk kencan, bukan pembantu."

Aku menelan air ludah dan menyesuaikan langkah kakiku dengannya. Kakinya panjang sekali rupanya.

Mataku menyapu semua ruangan. Orang-orang disini sepertinya berusia seperti Ayah dan Ibuku. Bagaimana bisa William bergabung dengan acara seperti ini? Mereka semua adalah pengusaha sukses yang wajahnya sering lalu-lalang di sampul majalah bisnis.

Ia berhenti di sebuah meja bundar. Otomatis, aku juga mengikutinya.

"William! Akhirnya kau datang juga." Seseorang yang kuyakini adalah pemilik pesta ini menyapa. Kenapa aku tahu? Karena wajahnya berada di banner yang dipasang begitu banyak disini.

"Aku pasti datang Mr. Orlando. Selamat untuk peluncuran produk terbaru kalian. Aku yakin ini akan laris manis di pasaran." ia tersenyum lalu beralih pada laki-laki yang mungkin seumuran dengannya, "You did it, I'm so proud of you."

"Terimakasih, jika kau tidak menendang bokongku untuk meneruskan perusahaan ini. Aku mungkin masih berandal yang bersembunyi dibalik ketiak ayahku."

Mereka berdua tertawa, kedua laki-laki ini sepertinya sedang adu penampilan. Mereka berdua sempurna dan benar-benar seperti kawan baik. Akhirnya aku menyadari jika ; pria tampan hanya akan berteman dengan pria tampan.

"Dan siapa gadis cantik yang kau bawa ini, Will?" laki-laki itu menyadari keberadanku.

"Dia Emery. Kencanku." jawab William.

"Senang bertemu denganmu, Emery. Aku Johnny."

"Nice to meet you too." aku memberikan senyuman terbaikku.

"Well, nikmati pestanya." Mr. Orlando menepuk punggung William dan berlalu bersama Johnny untuk menyambut tamu penting lainnya, akhirnya mempersilahkan aku dan William untuk duduk.

Kelima orang dimeja itu membicarakan tentang bisnisnya dengan William yang mana itu tidak ku mengerti sama sekali. Itu bisnis mereka dan itu bukan urusanku. Jadi yang kulakukan hanyalah melihati kuku tanganku yang catnya sudah mulai terkoyak.

Tidak lama kemudian sajian makan malam yang mewah datang dan itu berlangsung cepat. Orang-orang kaya makan makanan ini hanya sekedar nengisi perut. Berbeda denganku yang benar-benar menikmatinya sebelum makanan lezat itu turun ke perutku. Setelahnya pasangan-pasangan mulai menuju ke lantai dansa. Meninggalkanku dan William berdua. Aku dapat merasakan matanya menatapku dengan tajam dan aku gagal untuk berusaha mengabaikannya.

"Kau bisa berdansa?"

"Aku payah akan itu." jawabku menatap mata birunya dengan seksama.

"Kalau begitu kau harus melakukannya."

"Berdansa?"

"Memancing," Ia memutar bola matanya. "Tentu saja berdansa, Emery."

Aku tertawa. Itu adalah lelucon yang tidak berpotongan dengan image seorang pengusaha.

Kamu berdua menuju lantai dansa. William meletakkan tangan kanannya di pinggangku, dan aku bersumpah bahwa ada aliran listrik yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Kemudian dengan ragu meletakkan tangan kiriku dibahunya. Tangan kami yang lain bertaut satu sama lain.

Lagi, aku harus mengagumi betapa sempurnanya Ia.

"Aku pikir kau akan menolak tawaran dari Catherine." Ia mulai bergerak dan aku berusaha mengikutinya.

"Awalnya...ya. Tapi ternyata tidak seburuk yang aku pikirkan."

"Aku?"

"Pestanya." aku mengoreksi. Ia mengangguk dan aku mati-matian berusaha agar heels ku tidak menginjak sepatu kulitnya yang mahal.

"Kau sendiri yang memilih nama Emery?"

"Uhm---tidak."

"Well, karena Emery tidak cocok denganmu."

"Kenapa?"

"Emery lebih cocok untuk gadis pirang. Bukan Brunette sepertimu." tukasnya ironi. Tapi, entah bagaimana itu terdengar lucu untukku.

"Sejak kapan warna rambut menentukan itu?"

"Itu adalah sudut pandang ku." Ia mengangkat bahu.

Ini percakapan teringanku dengannya. Lagipula, kami tidak akan bertemu lagi. William melepaskan tangannya dari pinggangku dan mengangkat tanganku yang masih digenggamnya. Aku berputar sebelum Ia kembali meraih pinggangku.

"Apa ini pertemuan terakhir?" Ia bersuara lagi.

"Karena kau tidak mungkin menyewa teman kencan yang sama lagi."

"Mungkin saja. Aku selalu bisa melakukannya."

"Benarkah?" aku mengangkat sebelah alis. "Kalau begitu kenapa kau tidak melakukan ini sebelum-sebelumnya?"

"Ada banyak alasan."

"Seperti?"

"Media sangat suka menulis omong kosong di headline daily," Ia tersenyum masam, berpikir untuk jawaban lainnya dan, "Ini adalah pesta pertama yang mengharuskan untuk membawa kencan."

"Kenapa kau tidak melakukan apapun pada media?" aku benar-benar penasaran akan hal ini.

"Aku tidak bisa menghentikan asumsi buruk orang-orang diluar sana, Lily."

Lily. Bukan Emery. Aku berusaha untuk menyembunyikan senyum tapi gagal. Kuharap William tidak mempedulikannya. Bersyukur alunan musik berhenti dan orang-orang bertepuk tangan untuk diri mereka sendiri. Itu juga artinya ; pesta sudah selesai.

Aku mengamati orang-orang yang mulai meninggalkan ruangan. Begitupun kami berjalan beriringan keluar dari Ballroom.

"Kau pulang?" William bertanya ketika kami sampai di lobby.

"Tentu."

"Baiklah, kalau begitu." Ia mengangguk dan tidak ada yang terjadi setelahnya. Ia masih menatap kosong padaku dan yang bisa kulakukan hanyalah melempar pandangan kesana kemari.

"Aku harus pulang." kataku setelah sekian lama. Ia menggelengkan kepalanya. Aku tahu ada sesuatu yang Ia pikirkan dan gagal Ia katakan.

"Supirku yang bernama Fred akan mengantarmu pulang, Lily. Selamat Malam."

*

*

*

Before Atlantic [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang