[33] Kencan milik Tio. 2

140 41 3
                                    


"Jangan pasang muka cemberut gitu, Anna." Tio mematikan mesin mobilnya. sedan yang ia kendarai sudah terparkir cantik bin mulus di pelataran parkir basement yang ada di Senayan City. Aslinya, kalau ingat mengenai Senayan, kepalanya refleks ingat pada Rindu. Tunggu. Enggak ingat dalam mode untuk menggoda, kok.

Tio sudah malas untuk berurusan dengan Rindu. Bahaya.

Lagian kalau dirinya kembali berulah, bukan enggak mungkin kalau Leony makin jauh, kan? yang seperti ini saja sudah membuatnya ketar ketir. Jantungan enggak wajar. Enggak, ya. Tio enggak mau cari penyakit lainnya yang berkaitan dengan Leony. Ibunya saja sudah ia larang demi memperlancar niatnya menaklukan hati Leony.

"Harusnya kamu tau kenapa aku seperti ini." Leony mendesah pelan. Diambilnya ponsel serta dompet yang ia butuhkan. Memasukkannya dalam tas tenteng yang jauh lebih kecil. Tas kerjanya banyak berisi agenda yang bisa membuat bahunya cukup nyeri. Meski ia terbiasa tapi karena tujuan kali ini jauh lebih santai, ia bisa meninggalkan barang yang enggak berguna.

Mana ada nonton bioskop tapi mengerjakan pendingan pekerjaan?

"Ya sesekali aku berdua kamu memangnya salah?"

Tio, kalau lagi mode merajuk buat Leony kepusingan. Jauh lebih manja ketimbang Naina. Enggak tau sejak kapan Tio selalu berulah seperti ini tiap kali dirinya enggak memenuhi apa yang diinginkan. Bagaimana Leony enggak kesal saat Tio yang seenaknya mengajak nonton, oke lah Leony setuju. Dia juga enggak protes saat Tio bilang, enggak akan mengantarkannya pulang ke rumah. Tapi memintanya untuk kembali menginap di rumah besarnya.

Kalau dipikir, Leony ini macam enggak punya rumah aja. Selalu ada di sekitar Tio. segala alasan dinas dipergunakan demi agar dirinya enggak mendapatkan gangguan dari kedua adiknya. meskipun begitu, Leony enggak pernah membiarkan kedua adiknya lepas dari pengawasannya. Termasuk keadaan sang ibu.

Walau hati Leony dipenuhi rasa kecewa juga kesal, tapi enggak bisa menutup hatinya yang memang tulus terutama pada ibunya. ia juga enggak ingin kondisi ibunya seperti ini.

Tapi yang membuatnya geram, saat Naina ingin menyusulnya. Malah dilarang sama Tio! astaga, Tuhan! Kenapa juga dilarang?! Toh yang ditonton juga Naina bisa menikmati. Masih dalam range usianya. Lantas kenapa Tio membuatnya merengek? Kalau nanti dirinya pulang ke rumah, apa bukan Leony yang kelabakan membujuk Naina?

Leony sudah melepas seat belt-nya. "Mau di sini terus?" Ia tau, Tio belum membuka kunci otomatis mobilnya.

"Kalau kamu cemberut gitu, lebih baik aku putar balik."

Leony memutar bola matanya kesal. Tangannya bersidekap. "Yang buat aku cemberut siapa?"

Tio menghela pelan. tangannya terjulur untuk sedikit saja menggenggam tangan Leony, tapi enggak jadi. ada ragu yang mendadak datang dan membuatnya mengurungkan niat. "Aku ingin habiskan waktu bersama kamu berdua, Anna."

"Biasanya juga berdua, kan?"

"Dengan panggilan Bapak?" Tio berdecih tak suka. "Aku bukan bapak kamu, kan, Anna."

"Memang bukan," Leony mengurai dekapan tangannya. Ia tau, Tio enggak jadi mengarahkan tangan padanya. Entah kenapa sikap Tio kali ini membuat hatinya menghangat. Enggak. Leony enggak berpikiran aneh mengenai cara pandang Tio terhadap dirinya. Apa karena ia yang enggak menarik di mata Tio, yang mana membuat sang pria enggak mau menyentuhnya.

Bukan seperti itu pemikirannya.

Di mata Leony, Tio ini tengah bergumul dengan hatinya sendiri. Dengan keinginan terbesarnya untuk berkuasa atas dirinya. Serta membuktikan kalau ia memang pantas diperhitungkan mengenai apa pun yang Tio katakan akhir-akhir ini. pada akhirnya, jemari yang enggak berpemulas apa pun itu lah yang lebih dulu menyentuh Tio. hal yang paling ia sukai, menyusuri lembut kepala Tio dengan ujung jemarinya.

Enggak ada penolakan. Enggak ada juga tatapan tak suka yang Tio beri. yang ada malah terpejam pelan seperti meresapi apa yang Leony lakukan. "Lain kali kalau Naina mau nyusul, jangan dilarang. Kasihan juga dia, kan?"

"Oke." Tio masih terpejam. Malah yang ada agak sedikit mencondongkan dirinya. Menjatuhkan dengan sengaja kepalanya pada bahu Leony. Berusaha menyamankan diri karena Leony mendadak kaku akan kedekatan mereka kali ini. "Daddy juga mau berduaan sama Mami Ony, kan? Masa digangguin mulu sama anaknya."

"Jangan ngawur!" Leony sedikit menjambak rambut Tio. membuat pria itu meringis kesakitan tapi lantas tertawa.

"Sadar enggak, sih? Kamu itu enggak layak aku anggap asisten lagi. mana ada asisten bermalam di rumah bosnya. Kenal akrab sama keluarga sang bos bahkan sampai ke anaknya pula." Tio belum mau beranjak dari posisinya. "Usap lagi. kepala aku mendadak sakit kamu tarik tadi."

"Aku enggak tarik kencang, lho." Ada rasa bersalah meski secuil karena tindakannya barusan. inginnya, sih, segera memberi jarak sama Tio karena jantung Leony makin lama makin enggak benar berdetaknya. Sudah gitu ditambah ucapan Tio yang menciptakan jutaan pembenaran di benaknya. "Yang kamu bilang benar juga, ya." Leony menghentikan usapannya. "Kalau gitu, aku harusnya bersikap seperti apa?"

Tio tertawa. Lamat ia hidu aroma parfum lembut yang Leony kenakan. Helai rambut Leony juga kadang mengenai wajahnya. "Seperti biasanya, lah. Kamu kan asisten aku yang paling spesial." Tio sedikit bergeliat karena merasa posisinya kurang nyaman. "Kamu kurus banget, Anna. Banyak makan bisa, kan?"

"Tuhan ciptakan aku susah naik berat badannya, Tio. kapan aku enggak makan banyak? Sebelum makanan yang kamu makan, pasti aku coba dulu. Aku rasakan enak atau enggak. sesuai sama selera kamu apa enggak. belum lagi kalau perkara camilan baru. Semuanya aku yang cicipi," dengkus Leony tapi setelahnya ia tertawa. "Aku sendiri bingung kenapa enggak naik secara signifikan."

"Kamu terlalu banyak pikiran, Anna."

Leony berdecak jadinya. "Terutama laporan yang kamu minta, Tio. itu bikin kepala aku berdenyut terus."

"Masa, sih?" Atas hal ini, Tio menjauh. Matanya menatap Leony tak percaya. "Aku enggak sadar soalnya memang kerjaan kita banyak."

Gadis berkacamata itu tertawa. "Ayo, katanya mau berdua. Enggak jadi?"

"Jadi dong!" Tio larut dalam tawa yang tercipta. "Susah payah lho aku cari tiket hari ini."

"Tapi janji satu hal." Leony menggeleng heran. Mana ada susah payah dalam diri Tio? Zaman sekarang sudah banyak hal dipermudah. Klik sana, bisa dapat barang yang diantar jasa pengiriman. Klik di sini, bisa mendapatkan diskon besar-besaran. Ingin nonton seperti kehendak Tio malam ini, pastinya enggak akan sulit. Lagian judul film pilihan Tio bukan premiere, kok.

Hanya saja, pemilihan tempatnya memang premium. Itu saja bedanya.

"Janji apa?"

"Aku selalu suka bersama kamu, Tio. Tapi lebih suka lagi ada Naina."

Agak lama Tio berpikir mengenai ucapan Leony kali ini sebelum akhirnya ia mengangguk. Mengalah serta mencoba untuk memahami keinginan sederhana Leony. "Oke."

"Kalian berdua aja, kan? masa iya saling meninggalkan? Naina enggak terlalu betah sama Oma-nya. Baik Tante Yesy atau Tante Suny. Masa kamu tega?"

"Iya, Anna." Tio menyerah kalah.

"Toh ... kapan aku mengabaikan kamu?"

"Heeemmm." Tio memeriksa sekali lagi dompet serta ponselnya di saku. "Ayo, keburu mulai nanti."

"Jangan terpaksa gitu, Tio." Leony masih belum puas dengan jawaban yang Tio beri.

"Iya, Mami Ony. Daddy pasti sertakan Naina di tiap kencan kita."

HANDLE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang