Sepertinya hari ini semesta tidak mendukung hari Mingguku karena sejak tadi pagi matahari belum juga muncul dari peraduannya. Menciptakan udara yang kuat sampai berhasil membuatku bergelung dengan selimut sampai pukul tujuh pagi ini. Aku tidak mau terlalu menyalahkan semesta karena dampak positifnya udara tidak terlalu panas untuk hawa-hawa puasa seperti ini.
"Letsya ayo turun! Masih pagi jangan tidur, ya! Letsya!"
Baru saja aku membuka laptop akan maraton drama, suara Mama lebih dulu memekan telinga. Aish Mama, tidak bisakah biarkan aku bersantai? ini kan hari libur.
Dengan malas aku akhirnya bangun, bisa mengamuk Mama kalau tahu aku masih belum bergerak.
"Letsya!"
"Iya, Ma, ini udah jalan." Aku berdecak. Mama itu hobi sekali meneriakiku. "Nggak teriak pun suara Mama udah kenceng. Pengang kuping aku, Ma."
"Sya coba kesini, lihat Mama bawa apa?"
Aku berjalan keluar teras melihat Mama yang asyik menata bunga.
"Bagus, kan, bunganya?" kata Mama dengan semringah.
Aku mengangguk, mengamati bunga matahari yang dimaksud Mama. "Gede banget, Ma. Mama beli?"
Mama menggeleng. "Di kasih sama Tante Salva."
"Tante Salva punya bunga matahari? Kayanya nggak ada, deh, Ma." Seingatku, aku tidak pernah melihat bunga itu setiap kali aku datang ke rumah Tante Salva.
"Punya. Di kebun belakang rumah."
Oke, nanti kalau aku main kesana, aku akan memastikan sendiri.
Sementara Mama sibuk mengatur bunga-bunganya, aku duduk di teras memperhatikan saja. Mama tampak semangat melakukanya.
"Tolong ambil air di belakang, ya?"
Aku baru beranjak saat Mama memerintah, sebenarnya tubuhku ini lemas. Tapi kalau aku tolak, yang ada akan makin panjang omelan Mama.
"Ma, aku mau tanya dong." Aku menaruh ember disebelah Mama.
"Tanya apa?"
"Eung ... yang Mama omongin sama Tante Salva kemarin itu, Mas Zidan? Yang aku mau berangkat ke kampus."
"Iya. Kenapa?"
"Aku denger Mama sama Tante Salva bilang soal calonnya Mas Zidan. Maksudnya Mas Zidan udah punya calon, Ma?" Aku ingin tahu soal ini, tapi aku tidak punya informan.
Mama belum menjawab, kali ini mengambil ember yang lalu aku ambil dan menyirami bunganya. Aku berdecak. "Ma!"
"Kamu nggak usah kepo, ya? Itu, kan bukan urusanmu."
Aish Mama. Nyebelin banget, sih, ditanya malah jawab gitu. Coba kalau aku yang tanya, sudah keluar suara merdu Mama sepuluh oktaf itu.
"Mama! Aku tanya baik-baik, loh."Mama malah tertawa, kini beralih menyiangi rumput yang ada disebelah garasi. Sedangkan aku masih mengekori nya.
"Emangnya kalau memang Zidan sudah punya calon, kamu siap?"
Kini aku mematung. Serasa ada yang terlonjak dadaku. Bagaimana aku menjawabnya?
****
Kali ini kekhawatiranku terjawab sudah. Mendung yang terus menyelimuti langit hingga sore akhirnya tumpah juga menjadi buliran air yang sangat deras, hingga suara alirannya bisa aku dengar dari lantai dua kamarku.
Karena hujan yang turun lebat, pencahayaan jalan menjadi sedikit kabur terbawa angin dan air yang berembus bersamaan.
Aku masih bergeming memandangi runtuhan hujan dan sedikit menyesali perkataan Mama.
Beberapa menit yang lalu, Mama menyuruhku segera berangkat Tarawih tapi aku mengacuh. Akibatnya aku harus terima tertinggal di rumah sedang satu-satunya payung sudah diangkut Mama.
Akhirnya aku melepas mukena dan kembali memandangi hujan berharap segara reda. Andai aku setuju ajakan Mama, mungkin aku sudah duduk di masjid.
Saat hendak berbalik, mataku menangkap sosok yang begitu familiar. "Mas Zidan!!"
Dan orang yang aku teriaki berhenti seketika. Secepat kilat aku memakai mukena dan berlari turun.
"Mas, aku nebeng payung, ya!" Aku terengah begitu sampai di teras. Aku berteriak tadibkatena suara hujan yang masih deras. Mas Zidan menoleh, lantas berjalan ke arahku.
Ya Allah, jatungku serasa diguyur ribuan bunga.
"Apa?" Mas Zidan bertanya.
"Mas mau ke masjid, kan? Aku nebeng payung, ya? Soalnya payungku cuma satu udah dibawa Mama duluan."
Mas Zidan mengangguk, lantas aku menyusulnya berada di bawah payung. Selama berjalan, rasanya aku tidak bisa hanya diam saja, kalau aku boleh lancang, sudah pasti aku gandeng tangannya itu. Ya Rabbi, wangi parfum Mas Zidan, baju dan sarung yang dipakainya, dan suasana hujan ini seolah mendukung akununtyk terus berhalu.
"Makasih, ya, Mas," kataku padanya.
Mas Zidan hanya bergumam.
"Mas katanya mau ngajarin aku bikin karya ilmiah? Kapan? Setiap aku ke rumah, Mas nggak ada," protesku padanya.
Oh iya, aku, kan punya nomor hape Mas Zidan. Kenapa aku nggak menerornya saja?
"Udah siap bahan-bahannya?"
Aku mengangguk. "Udah dari kemarin, Mas."
"Kapan, ya? Gue lagi sibuk."
"Tapi Mas yang janji sendiri loh."
Mas Zidan tampak berpikir. Sesekali mataku mengarah ke jalan saat jalan yang kamu lalui bergelombang.
"Oke, deh. Besok atau lusa gue usahain," katanya akhirnya.
Aku mengangguk. "Beneran, ya? Aku tagih loh!"
Mas Zidan tidak menjawab lagi. Langkahnya bertambah cepat, aku pun berusaha menyamai. Tapi ada yang aneh dari langkah Mas Zidan. Bukannya berjalan ke arah masjid, dia justru berbelok ke rumah Mas Langit.
"Mas, kok kesini, sih? Masjidnya disana."
Aku tidak mengerti apa maksud laki-laki ini, dia juga tidak berniat menjawab ucapanku. "Mas!" pekikku.
"Gue nggak lagi mau ke Masjid. Lo kesana sendiri aja."
Aku terperangah dengan penjelasannya. Ya Rabbi, jadi tujuannya kesini? Tapi kok penampilannya kaya mau ke masjid?
Sebelum masuk ke rumah Mas Langit, Mas Zidan menoleh ke arahku. "Bawa dulu payungnya, tapi jangan lupa bawa balik. Gue nggak mau kena marah Mama."
Setelahnya dia benar-benar menghilang di balik pintu. Aku menghentakkan kaki ku kesal. Aish Mas Zidan! Ganteng tapi nyebelin!.
.
.853 kata, done 🙌
Selasa, 28 Maret 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall In You
Spiritual"Aku terlalu buru-buru menjatuhkan hati padanya, sampai aku tidak tahu sudah ada hati lain yang harus dia jaga." . . . MEVELO 20 DAYS Sassie Project x Book Office Official Genre : Romance-Spiritual Start: 23 Maret 2023 Finish: