Day 7

1 1 0
                                    

Tidak terasa bulan puasa sudah masuk hari ke-7, rasanya baru kemarin aku bangun sahur untuk pertama kalinya di bulan ini. Ini artinya lebaran kurang tiga Minggu lagi.

Akkhh aku tidak sabar hari itu tiba, mudik, berkumpul dengan Kakek Nenek, Om Tanteku, dan para sepupuku.

Selesai sahur, aku mencoba mengerjakan kembali karya ilmiahku yang belum rampung ini. Aish tugas ini benar-benar menambah beban pikiranku. Kemarin aku tidak lagi memaksa Mas Zidan mengajariku, karena memang dia yang super sibuk belakangan ini. Tapi entah kenapa sahur tadi dia menyuruhku ke rumahnya sehabis magrib. Aku tentu tidak mungkin menyia-nyiakan itu.

"Yang ini, Ma, buat Tante Salva?" Aku berjalan menuju kolak pisang yang ada di meja makan.

"Iya," jawab Mama yang masih sibuk mengaduk sayur di depan kompor.

Tanpa ba-bi-bu lagi aku mengangkat mangkuk besar itu dan membawanya menuju rumah Mas Zidan.

Ah kehidupanku tidak jauh-jauh dari Mas Zidan. Setiap hari yang aku ceritakan selalu soal Mas Zidan. Ya mau bagaimana, ceritaku tidak seseru punya dia. Apalagi aku bukan siapa-siapa. Kalau Mas Zidan sudah jelas dia semesta, karena berhasil merebut seluruh atensiku. Jiakkhh.

Jika biasanya aku harus teriak dulu saat ke rumah Mas Zidan, kali ini aku tidak perlu repot-repot membuang tenagaku karena orangnya sudah ada di teras. Meski hanya memakai kaos dan celana pendek rumahannya laki-laki itu tetap terlihat sempurna di mataku. Nikmat mana yang kau dustakan, Letsya.

"Mas Zidan, ada kolak dari Mama," kataku sembari menaruh kolak itu di meja.

"Iya, makasih," kata Mas Zidan melirik sebentar ke arahku lalu kembali fokus ke laptop yang dia pangku.

Aku duduk di kursi seberangnya, memperhatikan dari samping. "Tumben Mas Zidan di rumah. Mas nggak ke kantor?"

"Nggak. Kan lo mau minta ajar bikin karya ilmiah."

Aku tidak tahan untuk diam saja, rasanya jantungku sudah loncat-loncat.  "Berarti Mas sengaja libur?"

"Iya."

Ya Rabbi, aku ingin berteriak sekarang. Sampai segitunya dia. "Demi aku?"

"Nggak juga."

Aku yang sudah melayang tinggi di awan serasa dijatuhkan tiba-tiba. Oke Letsya kamu harus ingat, orang yang ada didepanmu ini Mas Zidan. Jangan bersekspektasi terlalu tinggi. 

"Terus demi siapa?"

Mata Mas Zidan perlahan merambat ke arahku, meski begitu tatapannya terlihat tajam. "Nggak usah kepo, lo. Seneng banget sih, lo gangguin gue."

Aku mendengus kesal. Harusnya tanpa aku katakan Mas Zidan juga sudah tahu, aku ini suka padanya. Tatapanku berlari ke arah jalan yang lenggang dengan embusan angin sore yang lembut. "Tante Salva kemana, Mas?"

"Di dalam. Masak mungkin. Kenapa, lo mau bantuin?"

Aish Mas Zidan. Kenapa ini tadi nyebelin banget, sih.

"Ngapain masih diem, jadi nugas nggak, lo? Gue mumpung di rumah, nih."

"Sekarang?"

Sontak Mas Zidan menoleh dengan tatapan rendah, aku mundur untuk mengurangi jarak pandangnya, sungguh jantungku tidak berada di posisi aman.

"Nanti jam dua belas malem. Ya sekarang lah, Letsyaa...."

Akhirnya setelah sekian lama aku mendengar Mas Zidan memanggil namaku. "Mas Zidaan.... maksud aku tuh, apa nggak sekalian habis buka aja? nanggung bentar lagi mau buka."

"Buka disini."

"Boleh?"

"Ngapain pake nanya?"

Aku tersenyum seketika. Dengan cepat aku kembali ke rumah mengambil laptop dan buku-buku yang aku perlukan.

****

Buka puasa hari ini, aku tidak bersama Mama dan Papa seperti biasa, aku ikut bergabung bersama keluarga Mas Zidan. Sesuai perintahnya tadi aku berbuka disini. Meski aku sudah akrab dengan Tante Salva dan Om Angga, aku tetap merasa sungkan ikut makan bersama mereka.

"Ayo tambah lagi, Sya! Itu ayamnya masih banyak. Kamu juga suka sama capcay, kan?" Tante Salva menunjuk makanan itu.

Aku mengangguk. "Kenyang Tante, perut aku udah nggak muat." Aku tidak bohong soal itu, karena terus didorong Tante Salva aku jadi makan apa yang beliau ambilkan.

"Nggak usah merasa sungkan loh, ya?"

Aku menggeleng. Disampingku Mas Zidan makan tanpa bersuara, menikmati makanannya dengan kidmad. Detik kemudian dia beranjak. "Kalau udah selesai langsung ke ruang tengah," katanya. Aku mengangguk lalu membantu Tante Salva membereskan makanan yang masih ada ini.

"Nggak usah di cuci, Sya! Sudah taruh situ aja, kamu nyusul Zidan sana!" interupsi Tante Salva sambil mengambil tumpukan piring kosong dari tanganku. Aku menurut, lantas menyusul Mas Zidan di ruang tengah.

"Nih, coba ambil dari sini, udah gue tandai." Baru juga aku duduk Mas Zidan sudah menyerbuku dengan buku yang sudah dia tandai. Aku meraihnya, mencoba kembali fokus pada tugasku tadi. Sedangkan Mas Zidan juga kembali sibuk dengan laptopnya.

"Aku jadi pengen tahu deh, Mas. Mas Zidan belajarnya waktu di Sidney kaya gimana?"

"Ya belajar kaya bisa, cari gaya belajar yang disukai."

"Enak nggak, Mas kuliah di luar negeri?"

"Kenapa nggak lo coba sendiri?"

"Aku, kan, udah kuliah disini."

Mas Zidan menghela napas. "Enak nggaknya, tergantung kita nilainya kaya gimana. Yang jelas Sidney sama Jakarta itu beda dan nggak sepenuhnya culture yang ada disini paksa kita pake disana. Ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kalau lo pinter bawa diri ya, lo bakalan enjoy."

"Dulu aku punya keinginan kuliah di luar negeri juga, Mas. Di Korea. Tapi belum rezeki aja. Jadi buat nebus keinginan aku tadi, aku meu nyerap cara kerja belajarnya dari Mas Zidan aja, gimana? Mas nggak keberatan, kan?"

.
.
.

832 kata, done 🙌
Kamis, 30 Maret 2023

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fall In You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang