Tiga tahun kemudian...
Matahari bersinar terik di atas sana, koridor sepi, pintu-pintu kelas tertutup. Gawat, Keenan menahan nafas saat berjalan rendah melewati setiap kelas, bersembunyi di balik pilar saat merasa ada seseorang yang lewat. Keenan bukan anak rajin, tapi kalau telat tetap saja Ia panik.
Tepat lima belas menit lalu pelajaran pertama dilaksanakan, saat Keenan mengintip sedikit dari jendela, semua sedang serius memperhatikan papan tulis dan seorang pria perut buncit berceloteh sambil memegang penggaris panjang, tidak ada kesempatan untuk masuk.
"Shit! Ada pak Bambang lagi," gerutu Keenan, mengusap rambutnya kasar.
Kepala Keenan berpikir keras bagaimana caranya agar ia bisa masuk ke dalam dengan mulus, tanpa di hukum. Kalau ketauan gawat sekali, hukuman Pak Bambang tidak kira-kira, sampai-sampai pengajar kimia itu di cap sebagai guru killer oleh penduduk sekolah.
"Ayo Keenan berpikir. Gue tau lo nggak pinter amat, tapi berpikir, pake otaknya!" Keenan mencoba tenang. Sayangnya tidak bisa, Keenan benar-benar pusing, bingung harus bagaimana.
"Apa kabur aja ya?" Cowok itu menjentikkan jari. "Bolos sekali-sekali, buat nambah pengalaman."
Keenan tertawa senang, merasa ia sudah menemukan jalan keluar yang tepat atas permasalahannya. Saat ini otak Keenan tengah menjunjung tinggi penyataan 'guru terbaik adalah pengalaman'. Baru saja tubuhnya berbalik, hendak kabur, sebuah suara menggelegar, terdengar seram.
"KEENAN! MAU KEMANA KAMU?"
Kedua kaki Keenan membeku, matanya terbelalak. "Abis gue!"
Wajah Pak Bambang merah padam, tangannya mengepal, penggaris setia teracung tinggi-tinggi, matanya melotot. Keenan menelan ludah dengan susah payah, ia kembali berbalik, perlahan mendekati Pak Bambang.
"Ohh mau kabur ya? Pinter, ikut saya sekarang!"
Kepala Keenan menggeleng panik, "Pak--"
"Tidak ada alesan!"
Mulut Keenan tertutup rapat. Keributan mereka mengundang siswa lain untuk melihat keluar, satu dua tertawa puas, ada yang geleng-geleng. Saat itu tatapan Keenan mendapati Alleza yang tengah berdiri diantara kerumunan. Keenan menatap Alleza dengan mata berlinang, giginya bergemeletuk.
"Tunggu apa lagi? Ayo cepat!"
Terpaksa Keenan mengikuti Pak Bambang dari belakang. Wajah Alleza terlihat datar saat mereka berpapasan, berbanding terbalik dengan Keenan yang sudah memerah padam.
***
Disinilah Keenan, berurusan dengan rumput taman di bawah terik matahari pagi. Sedikit demi sedikit Keenan mencabut rumput itu dengan perasaan kesal, menggerutu tiada henti. Keringat bercucuran, seragamnya basah, sedangkan waktu hukumannya masih tersisa lima menit lagi.
Keenan menyeka peluh di dahi kasar.
"Sial banget gue hari ini!"
Lelah, panas, tubuh Keenan terkapar diatas tanah. Matanya terpejam menghindari cahaya matahari. Ia tidak peduli seragamnya yang kotor sekalipun, Keenan hanya ingin hukumannya selesai lantas kembali ke kelas untuk beristirahat.
Tiba-tiba cahaya matahari tidak lagi menyoroti wajahnya, sesuatu menghalangi Keenan. Saat Keenan membuka mata, wajah Alleza tepat di atasnya, menatap Keenan dari atas. Beberapa helai rambut jatuh hampir mengenai wajah Keenan.
"Leza!" Keenan terperanjat, dengan cepat ia beranjak duduk.
"Hukumannya udah selesai dari lima menit lalu. Kenapa nggak ke kelas lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY
Teen FictionKeenan pikir ia hanya menganggap Alleza sebagai teman serumahnya, tidak lebih. Tapi... "BALIKIN LEZA GUE!" *** Dalam beberapa menit semuanya lenyap. Alleza menangis menyeret tubuhnya yang bersimbah darah, menjerit tertahan meminta tolong. Tragedi m...