Setiap manusia terbentuk dari setumpuk penyesalan. Adakalanya penyesalan tersebut bisa direlakan lantas menjadi sebuah kenangan, namun ada pula penyesalan yang membuat seseorang tak bisa bergerak kemana-mana. Seolah-olah penyesalan itu membatasi segala gerak dan keputusan yang diambil untuk maju menjadi lebih baik. Atau bahkan menerima orang baru dalam hidup.
Delapan tahun telah berlalu sejak kelulusan putih abu, namun ada sebuah penyesalan yang bertahan di sudut hati Sasha. Penyesalan itu mengakar, menggerogoti, dan menyiksa. Sasha sadar, ketika langkahnya bergerak menjauh dari Eka hari itu semuanya sudah usai. Termasuk tali pertemanan mereka.
Sasha tak begitu terkejut kala Eka semakin jarang membalas pesan dan bertukar kabar. Ia juga tau kepulangan sang pemuda ke Jakarta yang semakin jarang dengan alasan kuliah, hanyalah sebuah alasan yang digunakan untuk menjauhinya. Eka membentuk jarak dan tembok yang sangat tinggi di antara mereka. Atau, sebenarnya tembok itu sudah ada sedari awal?
Sebenarnya apa yang salah? Fakta bahwa dia akhirnya berakhir menyukai sang pemuda, atau dicintai oleh dirinya bagaikan sebuah hukuman untuk sang pemuda? Pertanyaan- pertanyaan itu terus berputar di dalam kepala bagaikan kaset rusak, seolah menghakimi dan menghardik perasaan Sasha yang sesungguhnya sudah koyak.
"Perasaan itu nggak pernah salah Sha." Ucapan itu menyadarkan Sasha dari lamunan, mendapati salah satu dokter spesialisnya baru saja usai memeriksa laporan miliknya. Azam kini memusatkan pandang pada sang puan. "Yang salah cuman bagaimana seseorang bereaksi akan perasaan tersebut."
Azam punya julukan khusus di rumah sakit tempat Sasha menjalani masa residensinya ini. Love Conselor. Sudah menjadi rahasia umum, jika kamu mengalami masalah percintaan maka Azam adalah jawabannya. Pria yang berbeda 6 tahun dari Sasha tersebut, diakui oleh banyak pekerja di rumah sakit akan nasihat dan sarannya mengenai percintaan yang selalu tepat sasaran. Mungkin itu jugalah yang membuat Sasha akhirnya memberanikan diri menceritakan cinta tak berbalasnya bertahun-tahun lalu.
"Kenapa reaksinya begitu ya Dok?" Sasha kini meletakkan wajahnya lesu di atas meja kantin, menatap bulir-bulir jeruk yang bergerak di dalam gelas miliknya dengan pandangan merana. "Sesalah itukah perasaan saya? Atau dia malu kalau orang-orang tau saya suka sama dia?"
"Sebenarnya saya punya satu dugaan di dalam kepala, tapi saya rasa cuman dia yang bisa jawab pertanyaan kamu itu." Tangan Azam mencomot satu buah tahu isi, lantas menatap juniornya itu serius. "Perasaan kamu itu masih ada sampai sekarang?"
Sebuah helaan napas berat terdengar, bersamaan dengan kepala Sasha yang kini terangkat dari atas meja. Namun, sepenuhnya menunduk. Dari posisinya, Azam menyadari segelisah apa sang puan terlihat dari bagaimana ia tak berhenti memainkan kukunya. "Masih."
"Alasan kamu nemuin saya untuk bertanya bagaimana merelakan perasaan kamu kan?" Azam nampak berpikir untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mendekatkan wajah pada Sasha yang masih tampak gelisah. "Nyatakan. Nyatakan dengan benar kali ini."
"Kenapa-"
"Alasan kenapa perasaanmu nggak kunjung selesai, karena kamu nggak diberi kesempatan untuk menyatakan dengan benar." Sasha dibuat terdiam akan ucapan Azam barusan. "Nyatain Dek, lalu lupakanlah."
"Sudah seharusnya kamu berhenti terjebak akan perasaan di masa lalu."
***
Jam makan siang selalu menjadi waktu favorit setiap pekerja. Termasuk bagi seorang Risa Natasya. Tepat ketika jam menunjukkan jam 12 tepat, ia bergegas mengeluarkan kotak bekalnya dan sebuah novel yang masih terbungkus rapi. Matanya berbinar-binar kala novel tersebut kini lepas dari sampul. Akhirnya setelah sekian lama menunggu, novel yang ia tunggu kini tiba di tangan. Dia sudah siap untuk membacanya sekali duduk, hingga sebuah chatime pearl roasted milk tea dengan ukuran besar diletakkan seseorang ke atas mejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summary Of Unrequited Love
Teen FictionBerisi trilogi cerpen tentang cinta tak berbalas antara Sasha dan Eka.