Sasha itu matahari.
Aku yakin semua teman sekelasku satu suara akan hal itu. Tak sepertiku yang lebih senang menyendiri di sudut kelas. Sasha tidak akan pernah tahan berlama-lama di kursinya ketika jam kosong atau guru mata pelajaran berikutnya tak kunjung masuk. Dari yang kuingat hanya 5 menit ia bertahan duduk di kursi, sebelum melipir ke meja anak lain. Entah membicarakan buku, drama ataupun permainan ponsel yang sedang banyak dimainkan. Ia tak pernah kehabisan topik pembicaraan. Itulah mengapa memiliki Sasha sebagai teman bicara selama 3 tahun di masa putih abu adalah anugerah yang tak pernah berhenti ku syukuri.
Pertama kali bertemu dengan Sasha, aku yakin bahwa takkan ada hari dimana kami menjadi teman dekat. Kami terlalu berbeda. Jika dia bisa saling bertukar rahasia kecil dengan teman kelas lain sejak hari pertama. Aku butuh waktu sekitar 2 minggu, untuk sekedar bisa bertukar sapa layaknya teman sekelas.
"Oh ensiklopedia laut."
Seruan penuh antusias itu membuatku mendongakkan kepala, mendapati Sasha sudah bersandar di mejaku dengan pandangan berbinar. Tatapannya tertuju lurus pada ensiklopedia laut ku yang terbuka di bagian tentang Whale 52. Tanpa aba-aba Sasha langsung mendudukkan diri di kursi tepat di depanku. Rambut panjangnya yang semula tergerai, dengan cekatan ia ikat menjadi satu. Dari hasil pengamatanku, itu berarti Sasha sedang sangat antusias dan siap mendengar apapun tentang topik yang sedang disuguhkan. "Gue juga punya buku ini, tapi yang edisi mitos-mitos di seluruh dunia."
"Lo baca ensiklopedia juga?" Aku langsung merutuki diri dalam hati, kala menyadari pertanyaanku barusan terkesan merendahkan. Namun, temanku itu justru mengerjapkan mata beberapa kali sebelum mengangguk. Nampak tak ambil pusing akan ucapanku tadi, atau memang hanya aku yang berpikiran seperti itu? "Mau baca bareng?"
"Mau, gue sempat dengar sih soal Whale 52 soalnya pernah masuk di video klip lagu EXO tapi nggak tau detailnya." Buku tersebut ku miringkan, membuat kami berdua bisa sama-sama membaca meski harus sedikit mendekatkan kepala masing-masing untuk bisa membaca kalimat demi kalimat dengan lebih jelas.
"Whale 52 itu sebutan untuk paus biru yang sempat terdeteksi oleh seorang biota laut di tahun 1989. Umumnya paus biru berkomunikasi dengan sesamanya di frekuensi 10-39 Hz, tapi paus ini malah terdeteksi di frekuensi 52 Hz," jelasku sembari sesekali melirik ekspresi Sasha, takut-takut kalau anak itu bosan dengan caraku menjelaskan. Namun, perempuan itu masih terfokus pada ensiklopedia dengan binar matanya yang tak kunjung lenyap.
"Sebentar kalau dia terdeteksi di frekuensi 52 Hz, berarti paus lain nggak ada yang sadar sama keberadaan dia dong?" Kini tatapan itu berganti menjadi penuh rasa penasaran yang dilayangkan padaku.
"Iya, nggak ada. Makanya dia suka disebut paus kesepian dan jadi simbol dari kesepian dan ketiadaan itu. Jadi yah dia berkelana sepanjang lautan sendirian tanpa menyadari dan bisa berkomunikasi dengan paus lainnya."
"Kok sedih?"
Aku terdiam sekarang. Bukan karena perubahan ekspresi Sasha yang begitu cepat dari penasaran ke sedih. Namun darah yang mendadak mengalir dari hidungnya membuatku terkejut bukan main. Sasha bahkan tak menyadari hingga melempar tatapan penuh tanya, sampai aku memberi tau bahwa ia sedang mimisan. Segera ia meraih sebungkus tisu dari dalam saku almamaternya lantas menyeka darah yang keluar sembari mendongakkan kepala.
"Kepalanya jangan mendongak gitu, nggak bagus. Lebih baik nunduk aja, biarin darahnya keluar dulu," ucapku entah kenapa mendadak teringat informasi yang pernah ku baca di salah satu buku. Sasha memberikan jempol, melirik sekitar sebelum menundukkan kepala persis seperti apa yang ku katakan. "Lo sakit ya? Mau ke UKS aja?"
"Nggak, ini bukan sakit." Tangan Sasha serta merta menunjuk pendingin ruangan yang aliran udaranya mengarah tepat pada kami. "Gue kalau kena angin AC langsung bisa mimisan nggak tau kenapa, padahal nggak kedinginan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Summary Of Unrequited Love
Teen FictionBerisi trilogi cerpen tentang cinta tak berbalas antara Sasha dan Eka.