Kedatangan di Akhir Pekan

1 0 0
                                    

Penghujung Minggu, sesuai janjinya, Gus Miftah mengajak paman, ibu, dan adiknya ke rumah Tya. Mereka bersiap-siap seperti mau lamaran saja. Sepanjang jalan Gus Miftah berkeringat dingin menantikan reaksi dari keluarga Tya. Semoga saja mereka memberikan respon positif dan mengizinkannya untuk mengenal gadis itu lebih dekat.

Sang ibu dengan lembutnya menyentuh tangan anak pertamanya yang gemetar. Ini pertama kalinya bagi Gus Miftah menemui keluarga wanita lebih dulu. Setahu wanita paruh baya itu, ada beberapa wanita yang berkunjung ke rumah untuk melaksanakan perjodohan. Kali ini anak pertamanya melakukan sebaliknya.

Sekitar satu jam waktu yang ditempuh dari kampung halaman keluarga Gus Miftah. Mereka tiba di salah satu rumah bertingkat dan memiliki halaman rumah yang luas. Lantainya dilapisi marmer putih layaknya istana. Keluarga Gus Miftah sedikit terintimidasi melihat tampilan rumah gadis itu sebelum dipersilakan masuk oleh salah satu pelayan.

Keluarga Gus Miftah mengucapkan salam. Di dalam rumah sudah terkumpul keluarga besar, termasuk ada Ustadz Ilham dan Bu Zaenab. Semua orang saling bersalaman dan diberikan jamuan untuk tamu rumah itu. Keluarga Mas Deni dan Mbak Lesti menyambut ramah kedatangan keluarga Gus Miftah. Mas Zafran dan orang tua Tya merasa pangling melihat tamu yang berpenampilan sederhana.

“Ngomong-ngomong, kedatangan keluarga bapak ini sangat mengejutkan kami. Saya sampai terkejut kalau anak bungsu saya tiba-tiba dilamar oleh pria yang baru dia kenal,” kilah Pak Tejo merasa sangsi. Penampilan keluarga Gus Miftah juah dibawah standar keluarga Tya.

“Yang mau melamar anak bungsu saya yang mana, ya? Dia?” Bu Mirna menunjuk Gus Fajri. “Atau dia?” Lalu beralih menunjuk Gus Miftah.

“Maksud kedatangan kami bukan untuk melamar, Pak, Bu. Keponakan saya ini baru mengenal putri Bapak yang paling bungsu. Kami ingin melihat keseriusannya dari keponakan dan anak Bapak,” jawab Ustadz Rohman meenepukk bahu Gus Miftah.

Mbak Lesti tersenyum penuh arti ketua bertemu pria pilihan adiknya. Hebat sekali adiknyaa ini bisa menarik pria berkumis tipis itu ke rumah dengan memboyong keluarganya. Tya menutupi rona merah di pipinya. Di acara keluarga ini, dia sungkan menatap Gus Miftah. Dia kelihatan lebih gagah dengan memakai sorbannya. Begitu juga dengan pria itu yang juga menundukkan wajah.

“Sebelum saya memberi restu untuk mengizinkanmu lebih dekat dengan anak saya, saya ingin bertanya beberapa hal padamu.” Pak Tejo memandang Gus Miftah. “Apa pekerjaaanmu dan peenghasilan berapa?”

Kalau sangkut pautnya dengan pasangan anaknya, Paak Tejo begiitu selektif memilih pria yang tepat. Dia ingin Tya menemukan pasangan seperti kakak ketiganya, Mas Zafran. Tidak seperti Mbak  Lesti yang memilih pasangan akibat pergaulan bebas dan pernah gagal berumah tangga. Lalu Mas Deni yang memilih gadis sederhana yang merupakan sekertarisnya. Ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi agar bisa dekat dengan anaknya. Harus punya penghasilan di atas UMR dan dari keluarga terpandang.

“Saya bekerja sebagai supir ekspedisi bagian malam dan punya sambilan mengajar di sebuah pesantren setiap libur kerja. Penghasilan saya, kalau digabung tembus UMR,” jawab Gus Miftah.

Pak Tejo jadi ragu setelah tahu penghasilan Gus Miftah. Dia kira seorang guru PNS atau tidak bagian di dalam kantor. Ternyata pekerja lapangan yang saban hari mengantarkan kiriman paket dari kantor A ke kantor B dan sebaliknya. Lalu kerja sampingannya, paling tidak dia hanya diupah seperti guru honorer pada umumnya.

“Kamu lulusan apa, Nak?” tanya Pak Tejo..

“Saya lulusan dari Ponpes Darussalam Gontor sekitar tujuh tahun lalu, Pak.” Gus Miftah menjawab dan menatap ayah dari gadis yang dekat dengannya.

Mendengar nama pesantren terkenal itu diucapkan, mulut Pak Tejo menganga lebar. Apa-apaan ini? Mengapa lulusan dari pesantren terkenal tidak meneruskan pendidikan kuliah dan memilih menjadi supir ekspedisi? Sangat disayangkan, Gus Miftah menyia-nyiakan ilmu yang dipelajarinya dan melanjutkan pendidikan sebagai guru.

“Mengapa kamu tidak menjadi guru saja, Nak? Kamu punya kemampuan mengajar,” keluh Pak Tejo.

“Tadinya saya mau meneruskan pendidikan guru juga di sana. Hanya saja terbentur masalah biaya. Ambil test CPNS juga gagal. Jadi saya mengambil pekerjaan sebagai supir ekspedisi. Berhubung Paman Sofyan yang pertama kali mengajarkan saya mengemudikan mobil-mobil besar dan mendapatkan SIM B,” jawab pria itu.

“Kamu punya tanggungan?”

“Ada, ibu dan adik saya. Saya ingin membantu adik saya, Fajri untuk mewujudkan cita-citanya sebagai ahli geologi. Sekarang dia kuliah di Fakultas MIPA di kota besar lewat jalur beasiswa.”

Pak Tejo mengangguk paham. Hanya itu saja pertanyaan yang ingin disampaikannya. Pria itu punya latar belakang pendidikan yang bagus. Hanya saja pekerjaannya tidak menjamin untuk keberlangsungan hidup Tya di masa depan. Belum lagi Gus Miftah sebagai tulang punggung keluarga.

Ning Salimah yaitu ibunya Gus Miftah bergantian menanyakan tentang siapa sosok Tya yang sebenarnya. Seperti Pak Tejo, dia ingin mengenal calon menantunya lebih dekat. Dia tidak mempertanyakan hal-hal yang sulit untuk dijawab oleh Tya. Mengenai keseharian Tya, aktivitasnya ketika menjadi bagian dari irema As-Salam. Lalu bagaimana pergaulan gadis itu dari masa-masa sekolah sampai sekarang. Tya menjawab dengan sejujur-jujurnya, seperti yang dilakukan oleh Gus Miftah.

Sejumlah pertanyaan yang diajukan calon besan sangat bertolak belakang. Pak Tejo lebih berfokus pada pekerjaan Gus Miftah. Sedangkan Ning Salimah lebih mengutamakan karakter Tya yang sebenarnya. Lalu juga mereka saling bertukar pengalaman hidup. Pak Tejo tampak membanggakan perusahaan yang dia rintis dari zaman kakeknya. Lalu Ning Salimah dan Ustadz Rohman yang menceritakan tentang kehidupan mereka sehari-hari.

“Untuk pertemuan selanjutnya, apakah kami boleh mengajak Tya bertemu di lain waktu dan saling bertukar CV agar putra-putri kami bisa mengenal lebih dekat sebelum adanya lamaran pernikahan?” tanya Ustadz Rohman.

“Sebentar, Pak. Saya harus diskusi dulu dengan Tya dan istri saya.” Pak Tejo meminta waktu sebentar.

Tya dan ibunya ikut Pak Tejo meninggalkan acara kumpul keluarga. Keluarga Gus Miftah menanti dengan penuh kesabaran. Di dalam hatinya, Gus Miftah berdoa agar proses ta’aruf yang dijalani bersama Tya bisa berjalan dengan lancar. Keluarga kakak-kakak Tya ikut ke belakang, ingin berdiskusi mengenai kelanjutan hubungan Tya dan Gus Miftah.

“Ma, Papa nggak yakin kalau perkenalan ini diteruskan dan ternyata menemukan ketidakcocokan yang lebih banyak lagi.” Pak Tejo mengungkapkan pendapatnya. “Papa kira kamu bakalan dapat pria yang lebih dari pilihan papa dan mamamu. Ternyata kamu memilih supir itu untuk dijadikan calon suamimu.”

“Tapi dia tipikal pria yang sholeh, Papa. Dia nggak neko-neko. Dia bela-belain dari kampung halamannya loh buat menemui kita. Anak kenalan papa sama Mama  apa sih? Meskipun papa dan mama kenal orang tuanya, tapi kan mereka tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Terakhir kali kalian menjodohkanku malah makin mengecewakanku.” Tya mengungkapkan isi hatinya.

“Iya, Papa tahu. Tapi kamu harus perhatikan bagaimana masa depanmu, Tya! Jangan sampai kamu seperti mbakmu yang salah pilih tujuan. Jadikan kesalahannya sebagai pelajaran untukmu di masa kini. Pada akhirnya pria pilihan mbakmu itu mengecewakan dan pergi me meninggalkannya.”

“Tapi, Mama setuju kalau kamu melanjutkan ta’aruf bersama anak itu, Tya. Dari sikap dan tutur katanya, dia anak yang baik. Bisa mengajar di pesantren lagi.” Dari pertama kali bertemu, Bu Mirna mulai menyukai Gus Miftah.

“Itu belum seberapa, Ma. Yang sebelumnya juga guru, PNS pula,” kilah Pak Tejo.

“Setidaknya dia lulusan dari pesantren Gontor. Mama yakin, dia bisa membimbing anak kita dunia dan akhirat.”

Dibalik sikap tegas sang ayah, dia tak bisa menolak permintaan istrinya meskipun tidak suka. Pak Tejo menghela napas panjang, dengan berat hati dia meminta Tya meneruskan ta’aruf bersama Gus Miftah. “Tapi janji loh sama Papa. Kalau dia berani menduakanmu dan membuat kamu kecewa, lebih baik kamu jangan meneruskan ta’aruf dengan anak itu,” pesannya sebelum kembali menemui keluarga Gus Miftah.

Cinta Tak Selamanya Indah, Dik!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang