01

32 4 0
                                    

SEPATU

Berkedip saat akhirnya mataku lelah menelaah wajah orang di depanku dan tak kunjung menemukan namanya dikepala sekeras apapun ku mencoba. Sebelumnya ia menyuruhku menatapnya baik-baik saat aku bilang ku tak mengenalnya.

Lelaki jangkung itu tersenyum hambar saat aku menggelengkan kepala lalu ia mendekat ke arahku. Oh, sedikit membungkuk padaku yang jauh lebih pendek darinya.

"Fiki UN1TY, pernah denger nama itu gak?" Tanyanya.

Dahiku mengekerut saat aku mencoba mengingat nama yang sepertinya beberapa kali kudengar itu. "Mmm, grup vocal itu bukan sih?"

Ia bernapas lega dan kembali menegakkan badannya lalu berkacak pinggang. "Bagus. Berarti kamu tau sekarang lagi berurusan sama siapa."

Nada bicaranya yang angkuh bikin aku menatapnya dengan jijik. Padahal maaf saja ya, aku tak merasa takut sama sekali karena telah tak sengaja menumpahkan kopi ku ke sepatunya barusan. Toh aku sudah meminta maaf dan dengan tulus menyesali kelalaian ku. "Terus apa? Aku udah minta maaf kan, tadi."

"Bentar lagi gue harus ngisi acara, tuh dibawah. Terus gimana kalo sepatunya basah kayak gini?" Jelasnya dengan sedikit berteriak. Mengundang perhatian orang-orang yang melewati kami.

Dilantai dasar mal ini memang sedang diadakan sebuah acara dari salah satu brand pasta gigi yang sempat ku tengok saat naik ke lantai dua untuk membeli kopi.

Kalau begitu ceritanya aku bingung juga. Setelah menggaruk kepalaku yang tak gatal, ku beranikan diri menatapnya lagi. "Kamu gak ada sepatu ganti?"

"Kalo ada, ngapain gue marah-marah?"

Benar. Semua yang dia lakukan jadi terasa wajar, sedikit menyesal karena telah mengatainya angkuh. Kalau jadi dia, aku juga pasti akan marah.

"Fiki!!" Seseorang memanggilnya, aku menoleh dan mendapati seorang lelaki yang mengenakan kemeja sama persis seperti Fiki berlari kecil ke arah kami. Rambutnya yang gondrong bergerak lucu.

"Ayo, lama banget sih beli kopi doang?" Katanya, sembari menarik lengan kemeja yang Fiki kenakan.

"Liat, sepatu gue basah bang," adu Fiki sembari menggoyang-goyangkan sepatunya yang putih itu tak cuma basah tapi juga jadi berwarna krem. Ku lihat ia juga memanyunkan bibirnya, persis seperti seorang adik yang merengek pada kakaknya.

Sebelum abangnya itu sempat menjawab, aku sedikit menjelaskan kenapa ini bisa terjadi dan berinisiatif untuk membelikan sepatu baru untuknya. Uangku yang tak banyak itu memang sulit bisa bertahan lama di dompet. Tapi tak apa, aku harus bertanggung jawab. "Sekarang kamu balik aja ke bawah, nanti aku antar kesana."

"Duh masa gak sengaja numpahin kopi gantinya mesti mahal banget gitu. Gak usah lah," kata orang yang Fiki panggil Abang itu terdengar jauh lebih dewasa dengan bersikap objektif dengan masalah ini. "Lu sih kesiangan jadi siap-siapnya gak bener. Biasanya juga bawa cadangan." Kini ia bahkan menyalahkan Fiki. "Pinjem yang lain aja dulu."

Nah iya, kalau tidak salah ingat anggota grup mereka cukup banyak tuh.

"Gak ada yang seukuran sama gue bang, kemaren mau coba sepatu Fajri aja gak muat."  Fiki semakin merengut. Ku tengok lagi sepatunya yang memang terlihat lebih besar dari ukuran orang pada umumnya. Sangat besar, apalagi jika dibandingkan dengan kakiku.

Bersamaan dengan itu, ponsel si rambut gondrong berdering. "Iya, bentar lagi balik." Ia lantas menutup telepon yang entah Dari siapa. Dugaanku sih dari staf yang mungkin sedang mencari artis-artisnya ini.

"Gak papa, aku beliin aja," kataku. Karena tak ingin masalah ini jadi berkepanjangan, lagipula mereka juga sudah mencoba cari jalan keluar. "Ukuran kaki kamu berapa?"

Fiki lantas menyebutkan ukurannya dengan ketus, mungkin masih kesal padaku. Lalu setelah mengucap terimakasih, lelaki rambut gondrong itu segera membawa Fiki pergi, aku pun segera berlalu mencari toko sepatu.

Tak mau pusing dengan model sepatunya, aku hanya mencari yang berwarna putih karena harus cepat-cepat ku antarkan. Namun ukuran sepatu yang Fiki sebut ternyata cukup sulit untuk mendapatkannya sehingga cukup memakan waktu walau akhirnya aku menemukannya dengan harga yang lumayan, bahkan lebih mahal dari sepatu yang ku punya.

Cepat-cepat aku berlari ke lantai dasar, dan menghampiri sisi panggung dengan susah payah karena disini banyak sekali orang walau acara belum di mulai. Namun aku bingung bagaimana caranya memberikan sepatu ini, pastinya tidak mudah untukku masuk ke belakang panggung. Akhirnya aku menarik ujung baju seseorang yang bertuliskan staff. "Saya perlu ketemu Fiki UN1TY, mas," kataku saat ia menoleh.

"Iya mbak, saya tau kalian pengen ketemu mereka." Aduh, dia pasti mengira aku salah satu dari penggemar.

"Mas, saya harus kasih sepatu ini ke dia," jelasku. Namun orang itu justru berlalu dan mengabaikanku setelah mendapat instruksi dari seseorang lewat ear monitor yang ia pakai. Sial sekali, kenapa juga aku harus rela melakukan ini, padahal bisa saja sekarang aku kabur dan tak usah peduli dengan nasib si artis.

Tak lama orang-orang menjadi riuh saat pembawa acara menyuruh penonton memanggil-manggil UN1TY untuk segera naik keatas panggung. Semakin kacau saat idola mereka benar-benar naik ke atas sana satu persatu kemudian aku pun melihat Fiki.

"FIKI!!" Teriakku yang tentunya kalah dengan suara orang-orang di sekitarku yang memang jauh lebih lantang karena antusias, terutama gadis yang berdiri tepat di sampingku, badannya kecil tapi suaranya benar-benar mengagumkan sampai membuat telingaku berdengung.

Ku lihat ke atas panggung, ke tujuh member grup itu sekarang sedang melambai-lambai tangan sembari menyapa. Mataku tertuju pada kaki Fiki, ia masih memakai sepatunya yang kotor, aku benar-benar merasa bersalah. Selain penampilan adalah hal yang paling penting untuknya sebagai seorang idola, ia pasti merasa sangat tidak nyaman karena kopi yang ku tumpahkan cukup banyak mengenai sepatunya. Aku jadi mengulang ingatan saat itu terjadi.

Hari ini sebenarnya hari terbahagia ku karena kemarin aku mendapat upah pertamaku dari hasil menjadi buruh di sebuah pabrik, jadi aku melakukan self reward untuk merayakannya dengan pergi ke pusat perbelanjaan sendirian. Tujuan pertamaku adalah membeli minuman yang sudah lama ingin ku coba setelah sering kali ku lihat gambarnya di media sosial, setelah itu mungkin aku akan membeli pewarna bibir atau beberapa potong pakaian.

Namun, setelah kopi impian berada dalam genggaman, aku malah bertabrakan dengan pria tinggi saat berjalan keluar dari kedai. Hampir semua isinya meluncur tepat ke sepatunya dalam sekejap dan aku pun hanya menganga, kopi itu bahkan belum ku icip.

Dengan kesal aku mendongak demi melihat wajah si penabrak yang justru ekspresinya jauh lebih kesal dibanding aku.

"Kalo jalan liat-liat dong!" Katanya dengan dadanya yang naik turun karena menahan kesal.

Aku jadi gelagapan. Bukannya dia juga salah? Tadi dia yang jalan buru-buru kan? Kok aku yang disalahin?

"Eh, kamu ya yang tadi lari-lari." Aku tak mau kalah, karena aku juga merasa dirugikan. Karena gagal minum kopi yang ku idamkan dari sebulan lalu.

"Loh kok malah balik nyalahin?" Sewotnya. Ia menunjuk wajahnya sendiri. "Gak kenal gue, ya?"

Alisku bertaut, bingung.

"Liat muka gue baik-baik," titahnya sembari menggerakkan wajahnya ke kiri dan ke kanan. "Aneh banget kalo Lo gak kenal gue."

✨🧸✨

• Kam, 30 Maret 2023 •

FIKI, MIKI.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang