05

11 1 0
                                    

Belum selesai

Semalam aku tiba di kamar pukul satu dini hari, beruntung kostan tidak memberlakukan jam malam jadi aku masih bisa masuk walau dengan badan pegal-pegal dan mata yang mengantuk berat.

Paginya, aku hampir kesiangan jadi aku bersiap dengan terburu-buru sampai melewatkan sarapanku. Perkataan A Bintang mengenai pekerjaanku yang akan banyak hari ini terus terngiang, jadi aku harus cepat-cepat tiba di ruang produksi agar tidak kewalahan.

Benar saja, pekerjaanku hari ini berkali-kali lipat lebih banyak dari kemarin-kemarin. Aku sampai tidak ada waktu melirik kanan-kiri. Belum lagi tiba-tiba aku merasa mual dan sedikit pusing karena belum makan dan kurang tidur.

Saat jam makan siang akan tiba, A Bintang akhirnya datang untuk membantu. "Gimana, gimana?" Ia menanyakan keadaanku.

"Mau pingsan," kataku-hiperbolis, sambari terus bekerja, waktuku tidak ada yang boleh terbuang percuma.

A Bintang malah adu nasib dengan mengatakan kalau sedari pagi pekerjaannya juga banyak dan baru sempat membantuku. "Semalem pulang jam berapa?"

"Jam 1."

"Weh ngapain aja, bukannya acara selesai jam sebelas ya?"

Benar, acaranya berakhir sekitar jam sebelas malam. Namun aku harus menunggu lagi setelah Abang gondrong memanggil Fiki. Entah apa yang terjadi di dalam tenda mereka saat itu, sampai membuatku hampir tertidur di kursi saking lamanya menunggu. Akhirnya Fiki keluar dari tenda dengan pakaian yang berbeda dengan yang ia gunakan saat tampil. Beruntung Fiki berbaik hati menambah uangnya beberapa ratus ribu. Ia juga mengucapkan maaf karena membuatku menunggunya lama sekali.

Tiba-tiba, pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi sampai aku berpegangan pada lengan A Bintang karena tidak sanggup berdiri. Ia sendiri panik melihatku. "Eh, eh. Kenapa Lo?"

🐻

Tembok serba putih yang pertama kali ku lihat saat akhirnya membuka mata. Badanku berbaring disebuah tempat tidur dengan selimut menutupi tubuhku sebatas pinggang.

"Eh, udah bangun, Ki?"

Aku menoleh, ada mbak Nina yang sedang mendorong tirai pembatas. Dia adalah admin departemenku.

Ia membantuku untuk duduk dan memberi segelas teh hangat. "Kata Bintang, Lo pulang aja. Udah gue bikinin surat izinnya, udah di tanda tangan juga sama pak Rizal."

Ternyata tadi aku tumbang ya? Kurang tidur, tidak sarapan dan pekerjaan yang banyak. Lengkap.

"Panik banget lho si Bintang," katanya lagi sembari menyentuh lenganku. Wajar dong, kan A Bintang atasanku.

🐻

Diantar oleh supir pribadinya pak Rizal membuatku merasa kalau pabrik tempatku bekerja ternyata tak seburuk yang ku bayangkan. Mereka masih punya hati untuk tidak membiarkanku pulang sendirian.

Setelah mengucap terimakasih, aku akhirnya masuk ke area kostan dan menemukan Anne di ruang tengah.

"Kamu gak papa, Ki?" Ia menghampiriku, membantuku duduk di sofa. "Tadi Bintang bilang kalo kamu pingsan di pabrik."

Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Masih sangat lemas untuk banyak bicara.

"Semalem pulang malem banget ya, kamu?" Anne berjalan ke area dapur bersama kami yang sesekali ku gunakan untuk merebus mie atau menggoreng telur. Kini ia memasak air di panci kecil, lalu menuang beberapa sendok gula ke gelas dan menaruh sakantung teh. "Udah makan belum?" Ia membalik badan.

Aku menggeleng, aku benar-benar belum makan apapun dari kemarin malam. Belum sempat.

"Lagi pengen makan apa? Aku pesenin." Anne mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

"Gak usah, Ne. Aku mau tidur dulu aja deh kayaknya," kataku dengan lemas.

"Makan dulu aja. Itu aku juga bikinin teh, di minum dulu," jelas Anne. "Bubur depan SD itu aja ya?" Sambungnya lalu mengetikkan sesuatu di ponselnya.

Anne baik sekali, kita bahkan tidak terlalu saling mengenal. Cocok lah dengan Bintang yang juga terkenal baik.

"Ya ampun, makasih ya, Ne."

"Gak papa," balasnya sembari menuang air yang sudah mendidih ke gelas. Ia membawanya padaku setelah selesai di aduk. "Aku tuh udah lama gak tinggal sama orang tua, kalo pas sakit tuh berasa banget sengsaranya."

Dia benar, kalau tidak ada dia mungkin sekarang aku sedang mendrama di kamar. Ibu bapakku mungkin sekarang sedang sibuk ditempat kerja kalau pun aku menelpon mereka.

"Kamu pertama kali keluar dari rumah umur berapa?"

Anne nampak sedikit berpikir lalu meletakkan gelas berisi teh panas itu di meja dan duduk di sebelahku. "Pas umur 19 kayaknya, abis lulus SMA nganggur beberapa bulan dan langsung kerja di luar kota."

Aku mengangguk paham. "Kamu tuh dari Bandung juga ya?" Mengingat Bintang juga asli sana, makanya dia akrab di panggil A Bintang.

"Iya aku aslinya dari Bandung."

Aku mengecek ponselku yang sedari tadi berdering. Ada rentetan pesan dari satu akun yang yang sama. Fiki? Bukannya urusanku dengan dia sudah selesai, semalam?

- kamu nipu gue apa gimana sih?
- masa isinya bukan sepatu?
<Fiki_un1ty send a picture>

Mulutku menganga melihat foto yang dia kirimkan. Kotak sepatu yang isinya berbungkus-bungkus mie instan.

- balikin duit gue.

Aku benar-benar merasa sangat bodoh sekarang ini. Ku pukul-pukul dahi ku. Bisa-bisanya aku malah memberikan kotak itu padanya.

Itu adalah kotak sepatuku yang kualih fungsikan jadi tempat penyimpanan.

"Eh, kenapa, Ki?" Anne panik melihatku. "Pusing ya, kepalanya?"

Aku menggeleng. "Oh nggak, Ne."

Kotaknya ketuker ternyata -
Maaf banget -
Kamu kirim aja alamat kantor kamu, entar aku - kirim

- dikira gue bakal percaya?
- bisa-bisanya kemarin gue nambahin duitnya.


Mau ketemu lagi aja? -
Sekalian aku balikin uang lebihannya -

✨🧸✨

•Sen, 03 April 2023•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Sen, 03 April 2023•

FIKI, MIKI.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang