bab awal

497 47 1
                                    

Adilla memutar-mutar sendok pudding diatas mangkok kecil berukuran 4cm yang berada tepat didepannya tanpa tau harus berbuat apa saat dia memutuskan untuk menyetujui pertemuannya dengan Devan Gozales untuk kedua kalinya, dia bingung harus memulai semuanya dari mana?
Keduanya sudah berkenalan secara formal dipertemuan pertama mereka dan kini keduanya memilih untuk diam. Sesekali Devan memandang wajah Adilla, memastikan kembali keputusannya untuk melamar Adilla bukanlah keputusan yang salah. Tidak ada cacat diwajanya, bibir penuh yang mengundang selera dan mata bulat Adilla juga menunjang penampilan imut wanita itu.
Deheman Devan membuat Adilla mendongak menatap pria yang kini berada tepat didepannya sambil memandangnya dengan pandangan menyelidik. Jujur sebenarnya Adilla sedikit gugup dengan tatapan pria itu namun mau bagaimana lagi dia harus membiasakan diri untuk membalas tatapan pria yang kelak akan menjadi suaminya itu.
"Kamu benar menerimanya?"
Adilla mengerjapkan matanya berulang kali. Saat ini dia tengah dilanda gugup yang luar biasa, selain menyesali keputusannya yang gegabah dia juga mengerutuki dirinya sendiri yang begitu sangat gugup.
Devan kembali berdeham saat melihat kegugupan wanita itu. "Kamu yakin menerima lamaran yang aku ajukan kemarin?"
Sambil menunduk takut Adilla mengangguk. "Iya, saya sudah siap mas."
Devan mengangguk mendengar jawaban Adilla, berarti sekarang dia harus mempersiapkan semuanya sebelum sang ayah menemukan wanita yang tidak dia inginkan untuk menjadi calon istri berikutnya. "Kamu yakin Dilla?"

Adilla kembali mendongak menatap mata indah Devan,mata coklat terang yang selalu menarik perhatiannya, untuk pertama kalinya dia begitu mengagumi pria tampan namun dia masih akan tetap sama, sadar diri akan posisinya sebagai kalangan kelas bawah. "Saya yakin mas."

Devan menghela nafas panjang sebelum kembali mengungkapkan fakta tentang dirinya kepada Adilla yang akan menjadi istrinya kelak. "Sebenarnya saya sudah pernah menikah Dilla."

Seketika mata indah Adilla membulat sempurna saat mendengar fakta baru dari pria yang melamarnya beberapa waktu lalu ini. "Be—benarkah?" Tenggorokan Adilla tercekat seketika mendengar fakta yang membingungkan ini. Kali ini Adilla benar-benar harus berfikir kembali tentang keputusannya menikah diusia muda. Bukan karena patokan umur mereka tetapi karena status Devan yang ternyata sudah menyandang status duda diusia muda jadi sepertinya tidak menutup kemungkinan dirinya juga akan terbuang suatu saat nanti.
"Pernikahan yang tidak terdaftar dinegara dan juga pernikahan yang tidak diketahui orang banyak." Jelas Devan dengan nada santainya sembari menyesap cangkir kopinya miliknya, tanpa membuang pandangannya dari wajah cantik Adilla. 
"Ah." Adilla mengangguk mengetahui fakta baru lagi, jika pria itu menikah dibawah tangan dengan kata lain menikah siri. "Jadi nikah siri?"
"Ehm." Angguk Devan mengiyakan. "Bagaimana? Kamu masih mau atau enggak?" devan kembali menghela nafas panjang sembari meyakinkan kembali Adilla sebelum semuanya hancur setelah semuanya berjalan, "sekali lagi saya tegaskan! jika saya tidak akan memaksa." 
"Saya mau mas, saya sudah membulatkan tekat saya." mungkin terdengar bodoh saat menerima keputusan dalam waktu yang sangat singkat namun Adilla punya alasan besar untuk menerima lamaran pria yang baru beberapa waktu lalu dia kenal. 

Persetan dengan pendapat orang lain tentang dirinya, yang terpenting sekarang adalah Adilla ingin terbebas dari kata hutang budi.
Devan mengulas senyumnya. "Baiklah jika begitu, saya hanya tidak ingin kamu menyesal dengan keputusan singkat ini."
Adilla hanya tersenyum kecil sambil menyendokkan pudding kedalam mulutnya, puding dengan toping fla mangga yang begitu berhasil memanjakan mulutnya, puding yang baru pertama kali dia rasakan, puding orang kaya yang selalu akan menjadi kenangan terindah bagi dirinya.
"Oh iya, kalau boleh saya tau berapa umur kamu?" Tanya Devan dengan kening berkerut.
"Sembilan belas tahun mas dan mau jalan ke dua puluh tahun, nunggu beberapa minggu lagi." jawabnya dengan bibir yang masih penuh dengan sisa fla mangga. 

Risih? tentu saja, siapa yang nyaman jika melihat wanita yang begitu buruk dalam hal table manner saat melakukan dinner? astaga! bahkan sempat ingin Devan segera mengahiri perbincangan tidak bermutu ini sekarang juga. 
"Baru lulus SMA?" Suara Devan terdengar kaget bukan main, meski pandangannya masih tetap tertuju pada bibir penuh bersimbah fla mangga.
"Lebih tepatnya baru saja masuk kuliah. Sempat tertunda setahun mas karena biaya."
Devan mengangguk paham meski sebenarnya dia benar-benar sangat terkejut dengan umur Adilla. Umur yang hampir sama dengan umur adik perempuannya. Sekilas Devan nampak menerawang sebelum ahirnya kembali menatap Adilla. "Maaf saya agak terkejut dengan umur kamu, tapi maaf ya saya kembali bertanya,"
Adilla mengangguk.
"Kenapa kamu menerima lamaran saya padahal kita baru saja kenal dan kamu juga baru tau saya."
"Saya tidak punya pilihan mas, dan lagi saya sudah tau mas dari lama. Mas kan sering berkunjung ketempat saya bekerja." ucapnya lagi sambil meraih tisu yang berada tepat disamping tangan Devan. 
Devan mengangkat kedua alisnya lalu kembali berkata. "Benarkah? Lalu kenapa saya tidak pernah tau kamu?" Devan mengambil selembar tisu lalu menyerahkannya kepada wanita itu. 
Adilla tersenyum malu. "Pantas mas enggak tau, saya tugasnya didapur bantuin para cheff dan lagi mana mungkin mas Devan tau saya yang hanya remahan debu."
"Ah." Devan hanya mengangguk tanpa menggubris candaan Adilla, eneg rasanya jika melihat reaksi wanita yang berlebihan seperti Adilla, senyum yang terlihat dibuat-buat membuatnya muak. 
"saya tau karena teman-teman saya sering membicarakan mas Devan yang katanya sangat tampan." sambung Adilla dengan senyum malu-malu.
Devan mencibik, terkesan geli. "Saya yang tampan apa mobil saya yang kalian lihat tampan."
Adilla mengeryitkan keningnya. "Memangnya Mas Devan naik mobil apa? Kok Dilla enggak tau." Bohongnya. 
"Pening ya?"
Adilla menggeleng. "Enggak sih mas."
"memangnya kamu enggak ingin tau sekaya apa calon suami kamu?" dengan nada sengaknya, Devan berkata setengah mengejek. 

Devan seolah tau sekelas apa wanita yang kini duduk didepannya, wanita miskin yang hanya ingin merubah nasibnya, tidak jauh beda dengan wanita yang selalu dia temui sebelumnya, namun itu semua tidak berlaku kepada wanita idamannya yang berhasil mencuri hatinya namun sayang wanita itu tidak dapat mencuri hati keluarga besarnya. 

Adilla kembali menggeleng dengan disertai keryitan bibir. "Saya menikahi mas bukan harta mas." Bohongnya, meski sebenarnya dia juga butuh penyokong hidupnya untuk membalas budi kepada keluarga angkatnya. Tapi maaf Adilla bukan termasuk dalam duta sertifikat rumah, dia hanya ingin ada yang membantu memenuhi kebutuhannya sehari-hari, selagi dia mengumpulkan uang hasil kerjanya untuk mengembalikan biaya hidupnya sejak kecil hingga dewasa kepada orang tua angkatnya yang merupakan pamannya sendiri.
"Ah begitukah? Lalu?"
"jujur." Adilla sengaja memberi jeda untuk membasahi kerongkongannya yang mulai terasa mengering dengan seteguk air mineral. "Saya menerima lamaran mas Devan hanya ingin mencari pendamping yang bisa memberi saya support setiap harinya dan selain itu saya juga ingin terlepas dari keluarga saya."
"Dengan tujuan?"
"Tujuan?" Ulang Adilla.
"Jadi tujuan kamu ingin menjadikan saya pelarian?"
Adilla menggeleng. "Kalau saya ingin menjadikan mas pelarian untuk apa? Enggak pengaruh juga mas, saya hanya ingin menikah dan pergi dari rumah. Saya janji enggak akan menyusahkan mas Devan."
Devan menanggapi penjelasan Adilla dengan keryitan kening, sedikit ada rasa tidak percaya namun dia memilih untuk mengangguk mengiyakan.
"Saya akan tetap bekerja paruh waktu sambil kuliah, saya tidak akan menuntut mas ini itu." Adilla mengulas senyumnya. "Bagaimana."
Devan mengangguk. "Oke! Tetapi asal kamu ingat, aku tidak ingin ada kata perceraian, selagi saya tidak ingin dan keputusan terbesar mutlat dari saya sendiri bukan dari kamu."
Adilla mengherdikkan bahunya. "Saya tidak berani berjanji mas. Kita enggak tau bagaimana kedepannya apalagi mas dan saya baru saja mengenal."
Devan memilih untuk mengiyakan saja, sepertinya pertemuannya sudah cukup dan penjelasan wanita itu juga sudah cukup untuk dirinya memantapkan diri mengenalkan sosok wanita pilihannya didepan keluarga besarnya, termasuk kakeknya yang Devan rasa terlalu kolot dalam memilih pasangan.
"Oke deal." Devan mengulurkan tangannya kearah Adilla. "Saya sudah siap dan besok saya akan menjemput kamu dirumah orang tua kamu, selain untuk berkenalan saya juga ingin meminta ijin kepada keluarga kamu untuk mengajakmu berkenalan dengan keluarga besar saya."
Adilla mengangguk dan segera membalas uluran tangan Devan. "jangan kerumah saya mas." 

Devan kembali menarik tangannya mendengar jawaban Adilla. "why?" 

Adilla hanya membalas dengan gelengan dan senyum getir, "Nanti mas juga akan tau kenapa, sebaiknya kita ketemu lagi saja disini sebelum semuanya berjalan sesuai rencana awal." 

"Baiklah saya pergi dulu." Devan segera melangkah pergi meninggalkan caffe deAngel tempat Adilla bekerja tanpa ada keinginan untuk kembali bertanya.

"Dillaa!" teriak sahabatnya saat melihat Devan yang sudah berlalu dari tempat kerjan mereka.
"Bagaimana?" Tanya Anya sahabat dekat Adilla yang merupakan teman Steven sahabat dekat Devan, dan Anyalah yang memperkenalkan Devan dengan Adilla. 

Anya adalah wanita anggun dan baik hati menurut Adilla namun tidak ada yang tau bagaimana sebenarnya sifat Anya karena wanita itu sangat pandai menyembunyikan jati dirinya. 

wanita sexy itu mantan istrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang