hari pertama di pondok.

2 0 0
                                    

"Weh, beli makanan yu" pinta seorang anak yang memakai koko abu. "Yuk! Tapi, siapa yang beli?". Anak ketiga diam. Lalu anak pertama berkata" ha! Bagaimana kalau Arif aja yang beli?". "Ih, gak mau lah!" Tolaknya tegas. Lalu anak pertama mengeluarkan uang dari sakunya lalu tersenyum sambil memegang uang 100.000"ya, ana teraktirin anta" katanya.
Anak kedua langsung mengambil uang tersebut "boleh, apa ini?"

Anak pertama tersenyum. Lalu memandang temannya yang lain. " telur gulung tiga, cilor 4 dan teh es 2" katanya. "Kalau buat arif.." anak pertama menoleh temannya yang ketiga "bakso super pedas dan bolu hijau 3" katanya serentak. "Hafalkan?" Tanya anak pertama "oh kalau makanan, udah pasti hafal" kata arif sambil ngetuk kepala dengan jari. "Apa coba?"

"Kak, telur gulung tiga, cilor 4, teh es2, bakso super pedas satu. Oh ya sama bolu 3" kata Arif. Akhi pelayan berkata." Ayyuha, limadza bil indunisia? Fii hadzal ma'had, labuddan an nahmil lughoh, ayu faslin anta? ( astaga, kenapa bahasa indonesia? Di pondok ini, kita harus pakai bahasa. Kelas berapa kamu?)." Lalu akhinya memegang papan nama arif.

" oh, faslu awwal? Sebentarya( oh kelas satu, bentar ya.)" Kta sang akhi sambil tersenyum

Ini dia, Arif neo damrin. Dia adalah angkatanku yang paling kekanak - kanakan dimataku. Anak pertama, Faris ibnu habib, angkatan ku paling dewasa. Sementara aku, Aziz fathih, anak paling kece diantara mereka (aseeek).

Ting... ting...

" Aziz,  Faris!" Panggil Arif. Ia ter engah- engah sambil memegang sebuah kertas ' ikut lomba nyanyi yok!" Kata Arif bersemangat. "Yakin? Kita kan bentar lagi murroja'ah" kataku tak begitu yakin Arif nekat meyakinkanku soal itu.

Kami masih meributkan tentang perlombaan itu. Aku bahkan membawanya ke kelas. Saat itulah, ustadzku lagi menerangkan, tidak ku perhatikan. Tanpa kusadar ustadz memanggilku.

"Aziz...Aziz...apa yang kamu tulis?" Kata ustafz seraya menghampiriku. Aku gugup, ustadz mengambil kertas ku." Apa ini?,lagu cinta?" Satu kelas menyorakiku.
"Lagu untuk.......lomba stadz...." kataku memberanikan diriku.

Ustadz tersebut berjalan. Lalu menghela nafas."seandainya ada guru yang menjelaskan, dengarkan! Jangan sibuk padahal yang lain." Katanya sambil menatap tajam Aziz " Aziz, terpaksa ini saya sita. Sekarang, kalian boleh istirahat.

Lalu Aziz berjalan menuju samping gedung aligarh. Disana ada arif dan faris. Mereka lanjut berlatih menyanyi. Tanpa terasa, waktu murajaah selesai.

Saat itu Aziz melihat nilainya rendah. Hati nya langsung sedih. Seolah teringat kembali saat ia diantar ayahnya.  "Belajar yang baik ya nak. Kamu harapan papa satu-satunya." .......

Mentalnya lebih jatuh lagi saat pak sahid, membagikan raport." Ini sekarang ditangan kalian adalah hasil perjuangan kalian selama ini. Bagi yang nilainya kecil, jangan berkecil hati. Dan nilainya besar, jangan sombong." Lalu ustadz terdiam seperti mencari seseorang. " Aziz, ba' da dzuhri, pergi ke hujrah ustadz. Fadlan lil mughodaroh".

Ba'da dzuhri......

"Aziz, saya lihat kualitas belajarmu menurun akhir-akhir ini. Dan, tidak salah, kamu ikut lomba. Itu bagus tapi, bedakan yang mana prioritas mana yang bukan" sang ustadz menasihati. "Ya ustadz. Afwan ustadz" kamu boleh pergi".

"Woi Aziz! Latihan lagi!" Teriak Arif. Aziz hanya melihat, lalu berkata pelan" ana gak jadi rif. Tadi ana dipanggil ustadz ana. Nilai kecil. Ana belajar aja...." mendengar itu, emosi Arif naik" KALAU BEGITU GAK CUMAN KAMU ZIZ!! AKU JUGA! SELAIN ITU KAMU MAU PERJUANGAN KITA SIA- SIA?" Aziz hanya pergi.

"WOI AZIZ!... AZIZ!!!!... AZII.." ibunya udah gak ada" tiba- tiba faris menyeletuk dari belakang. "Hah?" Arif terkejut. Wajahnya merah padam. "Aaaaarrrggghh!!!" Ia berseru kesal dan pergi.

Terlihat air mata jatuh, menimbulkan bercak pada foto seorang wanita yang tak lain adalah ibunya Aziz. Ia mengingat, sebelum ibunya wafat, menasihatinya
" Aziz, belajar yang baik ya nak....".

Solat Ashar pun tiba, dilaksanakan dengan tertib. Setelah itu, Aziz duduk sendiri di tangga mesjid. " Arif sudah menyesalinya Aziz, atas apa yang ia perbuat padamu." Faris tiba- tiba duduk di samping Aziz.
"Si Arif mau aja minta maaf. Tapi, dia mau intropeksi diri dahulu..." faris memeluk Aziz. Keduanya pecah dalam air mata

Anak rantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang